Manchester City v Chelsea FC - Premier LeagueGetty Images Sport

Voting UEFA: Akankah Israel Didepak Dari Kompetisi Sepakbola?

Debat sengit mengenai partisipasi Israel dalam kancah sepakbola internasional kini mencapai titik puncaknya. Berbagai laporan kredibel mengindikasikan bahwa badan pengatur sepakbola Eropa, UEFA, kemungkinan besar akan menggelar pemungutan suara (voting) yang menentukan nasib Israel secepatnya pada pekan depan.

Desakan ini menguat secara signifikan setelah komisi penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menyatakan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza. Hal ini memicu seruan terbuka dari berbagai pihak, termasuk negara anggota UEFA seperti Turki dan puluhan atlet profesional dunia, yang menuntut agar Israel segera ditangguhkan dari semua kompetisi.

Namun, isu ini tidak sesederhana itu. Di sisi lain, kekuatan politik besar seperti Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump telah bersumpah akan menentang dan menggagalkan setiap upaya untuk melarang Israel, terutama menjelang Piala Dunia 2026 yang sebagian besar akan digelar di tanah Amerika.

Situasi ini menempatkan sepakbola di persimpangan jalan yang penuh dengan intrik politik, tekanan moral, dan kepentingan komersial. Bagaimana mekanisme voting di UEFA bekerja? Siapa saja para pengambil keputusan kunci? Dan apa saja argumen dari kedua belah pihak yang saling bertentangan? GOAL coba menjelaskannya di sini!

  • FBL-WC-2026-EUR-QUALIFIER-ISR-ITAAFP

    Tekanan Memuncak: Seruan PBB, Turki, & Para Atlet

    Momentum untuk meninjau ulang partisipasi Israel di sepakbola dunia meningkat secara dramatis setelah komisi penyelidikan PBB merilis laporan resminya. Deklarasi bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza memberikan landasan hukum dan moral yang kuat bagi pihak-pihak yang selama ini menyerukan sanksi.

    Menindaklanjuti laporan tersebut, Federasi Sepakbola Turki (TFF) menjadi anggota UEFA pertama yang secara terbuka dan resmi menuntut agar Israel segera ditangguhkan. Langkah berani Turki ini memecah kebisuan di antara asosiasi-asosiasi sepakbola nasional Eropa dan membuka pintu bagi yang lain untuk menyuarakan sikap serupa.

    Tekanan semakin diperkuat oleh komunitas olahraga itu sendiri. Sebuah surat terbuka yang ditandatangani oleh 48 atlet terkemuka, termasuk juara dunia Paul Pogba dan mantan bintang Chelsea Hakim Ziyech, disebarkan ke publik. Mereka menuntut UEFA untuk segera bertindak dan menangguhkan Israel sampai negara itu mematuhi hukum internasional.

    Kombinasi tekanan dari tiga pilar — lembaga HAM internasional (PBB), negara anggota (Turki), dan para pelaku olahraga (atlet) — telah menciptakan sebuah "badai sempurna". Kondisi ini memaksa pimpinan UEFA untuk tidak lagi bisa tinggal diam dan harus segera mengambil sikap tegas.

  • Iklan
  • FBL-WC-2026-EUR-QUALIFIER-ISR-ITAAFP

    Mekanisme Sanksi: Bagaimana Voting UEFA Bekerja?

    Kewenangan untuk menangguhkan atau mengeluarkan sebuah negara anggota dari kompetisi Eropa berada di tangan Komite Eksekutif (ExCo) UEFA. Komite ini terdiri dari 20 pejabat tinggi yang merupakan badan pembuat keputusan utama untuk semua urusan tata kelola, keuangan, dan peraturan di sepakbola Eropa.

    Untuk meloloskan sebuah keputusan penting seperti penangguhan sebuah negara, diperlukan mayoritas sederhana. Artinya, setidaknya 11 dari 20 anggota Komite Eksekutif harus memberikan suara setuju. Proses pemungutan suara ini biasanya bersifat rahasia dan hasilnya tidak diungkapkan secara per individu.

    Sebuah detail penting dalam prosedur UEFA adalah mereka biasanya hanya akan melanjutkan ke tahap pemungutan suara resmi jika hasilnya sudah dapat diprediksi dengan jelas. Fakta bahwa wacana voting ini menguat mengindikasikan bahwa kemungkinan telah terjadi pergeseran dukungan yang signifikan di balik layar.

    Jika voting untuk menangguhkan Israel berhasil, keputusan tersebut akan berlaku dengan segera. Ini berarti Israel akan langsung dilarang berpartisipasi dalam semua kompetisi yang sedang berjalan di bawah naungan UEFA, termasuk kualifikasi Piala Dunia 2026, tanpa perlu menunggu akhir musim.

  • Aleksander Ceferin UEFAGetty

    Para Pengambil Keputusan: Siapa Saja di Komite Eksekutif UEFA?

    Komite Eksekutif UEFA yang beranggotakan 20 orang adalah sebuah kelompok dengan latar belakang yang beragam. Dipimpin oleh presiden Aleksandr Ceferin dari Slovenia, komite ini diisi oleh 16 anggota terpilih dari berbagai federasi nasional, ditambah dua perwakilan dari Asosiasi Klub Eropa (ECA) dan satu dari Liga-liga Eropa.

    Secara krusial, salah satu anggota yang terpilih tahun ini adalah Moshe Zuares, yang merupakan perwakilan dari Israel. Namun, di sisi lain, setidaknya empat anggota lainnya berasal dari negara-negara (Spanyol, Norwegia, Albania, Armenia) yang pemerintahnya telah secara terbuka menyuarakan pesan pro-Palestina.

    Salah satu figur paling berpengaruh di dalam komite ini adalah Nasser Al-Khelaifi, perwakilan dari ECA. Selain menjabat sebagai presiden Paris Saint-Germain dan ketua BeIN Media Group (mitra siaran utama UEFA), ia juga berasal dari Qatar, negara yang sangat kritis terhadap tindakan Israel. Namun, hingga kini ia belum memberikan komentar publik.

    Campuran kepentingan yang kompleks ini — mulai dari afiliasi politik nasional, kepentingan komersial klub dan media, hingga hubungan personal — membuat hasil dari voting ini sangat sulit diprediksi dan menjadi subjek lobi yang intens dari berbagai pihak.

  • US-POLITICSAFP

    Dinamika FIFA-UEFA & Pengaruh Amerika Serikat

    Keputusan UEFA untuk menangguhkan Israel bukanlah akhir dari segalanya. Agar sanksi tersebut berlaku secara global, terutama untuk partisipasi di Piala Dunia, keputusan tersebut perlu diratifikasi atau disetujui oleh badan sepakbola dunia, FIFA.

    Meski pada kasus pelarangan Rusia tahun 2022, FIFA dan UEFA bertindak serempak dan mengeluarkan pernyataan bersama, kali ini ada potensi perpecahan yang serius. Situasi politik yang melingkupi konflik Israel-Gaza jauh lebih kompleks dan memecah belah dunia dibandingkan dengan invasi Rusia ke Ukraina.

    Presiden FIFA Gianni Infantino diketahui memiliki hubungan yang sangat erat dengan presiden AS Donald Trump, yang ia sebut "sangat krusial." Pemerintahan Trump sendiri secara terbuka sangat pro-Israel dan telah bersumpah akan menentang setiap upaya untuk melarang negara tersebut dari Piala Dunia.

    Hal ini menciptakan skenario konflik yang potensial: jika UEFA memutuskan untuk menangguhkan Israel, FIFA mungkin akan menolak untuk meratifikasi keputusan tersebut di bawah tekanan kuat dari Amerika Serikat, yang notabene adalah salah satu tuan rumah utama Piala Dunia 2026. Ini bisa memicu krisis besar antara dua badan sepakbola paling kuat di dunia.

  • Galatasaray v Sivasspor - Turkish Super LeagueGetty Images Sport

    Suara Para Atlet: Surat Terbuka & Pernyataan Keras

    Surat terbuka yang ditandatangani oleh 48 atlet profesional dari berbagai cabang olahraga menjadi tamparan keras bagi UEFA. Dipimpin oleh nama-nama besar seperti Paul Pogba, Hakim Ziyech, dan Moeen Ali, surat ini menuntut penangguhan segera Israel sampai mereka "mematuhi hukum internasional."

    Para penandatangan surat ini menyampaikan sebuah pesan moral yang kuat, dengan menyatakan bahwa "olahraga tidak netral dalam menghadapi ketidakadilan." Mereka berargumen bahwa "tetap diam berarti menerima bahwa nyawa sebagian orang lebih tidak berharga daripada yang lain," sebuah kritik tajam terhadap sikap pasif institusi olahraga.

    Selain gerakan kolektif, beberapa atlet juga bersuara secara individu. Mantan bek Arsenal Hector Bellerin secara terbuka menuduh adanya standar ganda. Ia mempertanyakan mengapa Rusia bisa langsung dilarang setelah invasi ke Ukraina, sementara "standar yang berbeda" diterapkan untuk kasus Israel.

    Aksi kolektif dan pernyataan individu dari para atlet ini menambah dimensi tekanan moral yang signifikan bagi para pengambil keputusan di UEFA. Ini menunjukkan bahwa para pelaku olahraga modern semakin tidak ragu untuk menggunakan platform mereka untuk menyuarakan isu-isu kemanusiaan yang lebih besar.

  • TOPSHOT-FBL-EUR-SUPERCUP-2025-PSG-TOTTENHAMAFP

    Pergeseran Persepsi di Pucuk Pimpinan Sepakbola?

    Secara historis, presiden UEFA Aleksandr Ceferin dikenal sebagai sosok yang menentang sanksi larangan bermain. Pada Agustus 2025, ia sempat menyatakan bahwa semua atlet seharusnya memiliki kesempatan untuk berkompetisi, dan isu politik harus ditangani secara terpisah.

    Namun, ada indikasi bahwa persepsi di internal UEFA mungkin mulai bergeser. Organisasi ini sempat menuai kritik tajam, termasuk dari bintang Liverpool Mohamed Salah, atas unggahan media sosial mereka mengenai kematian pesepakbola Palestina Suleiman al-Obeid, yang tidak menyebutkan penyebab kematiannya akibat serangan Israel.

    Sebagai respons, UEFA kemudian mengambil langkah yang signifikan dengan memasang spanduk bertuliskan 'hentikan pembunuhan anak-anak' dan 'hentikan pembunuhan warga sipil' di lapangan sebelum laga Piala Super. Ini adalah sebuah pernyataan publik yang jelas dan tidak biasa dari UEFA terkait sebuah konflik.

    Pergeseran sikap yang tampak ini, ditambah dengan tuntutan resmi dari anggota seperti Turki, menunjukkan bahwa konsensus di dalam UEFA mungkin telah menjauh dari posisi awal Ceferin. Hal ini membuat kemungkinan dilakukannya voting untuk menangguhkan Israel menjadi lebih masuk akal daripada sebelumnya.

  • Dunia yang Terbelah: Argumen Pro & Kontra

    Perdebatan mengenai penangguhan Israel membelah dunia sepakbola menjadi dua kubu dengan argumen yang sama-sama kuat. Kubu yang mendukung sanksi berpegang pada prinsip akuntabilitas dan preseden kasus Rusia. Mereka berpendapat bahwa asosiasi sepakbola tidak dapat dipisahkan dari tindakan negaranya, terutama dalam kasus dugaan genosida.

    Argumen pro-sanksi juga didasarkan pada aspek kemanusiaan. Dengan laporan dari Asosiasi Sepakbola Palestina (PFA) yang menyebutkan ratusan pesepakbola telah tewas di Gaza, mereka menganggap melanjutkan kompetisi seolah tidak terjadi apa-apa adalah sebuah tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara moral.

    Di sisi lain, kubu yang menentang sanksi, seperti yang disuarakan oleh mantan eksekutif FA Simon Johnson, berpendapat bahwa melarang Israel akan menjadi "pengkhianatan terhadap komunitas Yahudi di seluruh dunia." Mereka melihatnya sebagai tindakan "fitnah, demonisasi, dan delegitimasi" terhadap negara Israel.

    Menurut pandangan ini, sanksi olahraga tidak akan berkontribusi pada perdamaian dan hanya akan menghukum para atlet, staf, dan penggemar yang tidak bersalah. Benturan fundamental antara prinsip akuntabilitas kemanusiaan dan prinsip non-diskriminasi dalam olahraga inilah yang membuat keputusan UEFA mendatang memiliki bobot yang sangat berat dan dampak yang bisa mengguncang dunia.