Serie A Champions League GFXGOAL

Tiga Wakil Serie A Di Perempat-Final Liga Champions - Tapi Benarkah "Calcio" Sudah KEMBALI?!

Anna Guarnerio tahu betul ia menjadi Direktur Hak Meda Internasional Serie A di waktu yang tepat. Hanya empat bulan setelah mulai menjabat, Liga Italia memiliki tiga perwakilan (AC Milan, Inter Milan, dan Napoli) di perempat-final Liga Champions Eropa, pertama kalinya dalam 17 tahun.

Berkatnya, menjual pesan 'Calcio Is Back' pun menjadi jauh lebih mudah.

"Saya beruntung sekali dengan timing ini!" ucapnya kepada GOAL sambil tertawa. "Saya sendiri dan seorang kolega sedang berada di Timur Tengah ketika leg kedua 16 besar Liga Champions dimainkan dan kami menyaksikan bagaimana klien-klien kami meng-cover tim-tim Serie A dan melihat bagaimana [media-media] seperti CBS, pemegang hak siar kami di Amerika, dan bagaimana mereka menggaungkan pesan tersebut, bahwa 'Calico telah kembali'."

"Dan kami terus menerima pesan dari klien-klien kami, yang antusias soal apa yang mereka lihat dari klub-klub Italia. Entah mereka memegang hak siar Liga Champions atau tidak, mereka sama-sama bilang, 'Ini kisah yang hebat.'"

"Jadi, memiliki tiga tim di delapan besar, dan total enam tim italia masih di Eropa secara keseluruhan (Juventus, AS Roma, dan Fiorentina), membantu persepsi internasional soal calcio, dan ini terjadi di waktu yang krusial, di mana kami tengah berusaha mengubah citra Serie A di luar negeri menjelang siklus hak siar baru."

Namun Guarnerio tahu betul bahwa Serie A sangat membutuhkan bantuan dari anggota mereka yang merupakan tim-tim besar, karena, di luar lapangan, situasi jauh dari kata terkendali.

  • Dacia Arena Udine-

    "Sialan, ini di mana sih?!"

    Kami mengobrol di tengah suasana mewah 'President Club' di kandang Udinese, Dacia Arena, sebuah stadion baru berkapasitas 25.000, yang merupakan komoditas langka di sepakbola Italia.

    Bagaimana bisa? Pertama-tama, mereka memiliki fasilitas kelas wahid, sementara lapangan latihannya bisa dijangkau dengan jalan kaki dari ruang ganti stadion – sebuah anomali di Serie A.

    Seperti yang dikatakan Maurizio Sarri tahun lalu, "Di sini, kami tertinggal 30-35 tahun dari liga-liga lain, tapi tak ada yang membahas soal struktur dan tempat latihan. Ketika saya mengeluhkan soal lapangan, mereka bilang saya tukang ngeluh. Namun jika Anda menonton laga Bundesliga dan lalu menggantinya dengan laga Serie A, Anda akan bertanya-tanya: 'Sialan, ini saya di mana, sih?!"

    Kepemilikan adalah masalah besar jika bicara soal kondisi stadion di Serie A, yang kebanyakan belum direnovasi sejak Italia '90 dan masih dikendalikan oleh pihak berwenang lokal.

    Sekali lagi, harus ditegaskan bahwa Udinese-lah yang merupakan anomali dalam kasus ini, karena mereka adalah satu dari empat klub Serie A, selain Juventus, Atalanta, dan Sassuolo, yang memiliki stadion mereka sendiri.

    AC Milan, Inter Milan, Fiorentina, dan AS Roma sudah pernah mencoba merenovasi atau membangun stadion dalam beberapa musim terakhir, tetapi dijegal oleh birokrasi yang sangat menghambat modernisasi sepakbola Italia.

    Satu-satunya alasan mengapa progres bisa terwujud adalam beberapa bulan ke depan adalah karena Italia mengikuti bursa untuk menjadi tuan rumah Euro 2032 – situasi yang bahkan menurut Menteri Olahraga mereka, Andrea Abodi, sebagai situasi "mortificante", atau "memalukan".

    "Saya jadi keras kepala," akunya kepada reporter. "Kami bangsa yang penuh kontradiksi, tapi saya harap saatnya untuk alasan dan alibi sudah berakhir. Tak ada lagi yang perlu kami ciptakan di sini, kami cuma harus berani bertanggung jawab, dimulai dari saya."

    "Tapi ini bukan cuma soal seorang menteri, melainkan logika kerja sama multidisipliner dengan para klub dan pemerintah lokal. Stadion adalah infrastruktur sosial, yang seharusnya bisa merevitalisasi area-area urban, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mencerminkan semua karakteristik pembiayaan masyarakat. Alih-alih, kami cuma jalan di tempat bertanya kepada diri sendiri soal kompetisi dan prioritas."

    Guarnerio berkata Serie A berusaha ambil bagian atas berbagai alasan, salah satunya adalah karena pemandangan ribuan kursi kosong di stadion usang akan mencelakai citra brand Liga Italia.

    "Lihatlah citra yang dijual Liga Primer Inggris kepada fans sepakbola di seluruh dunia," ucapnya. "Tribunnya modern, dekat dengan lapangan, dan penuh sesak."

    "Sekarang, melihat di sekitar kita hari ini di Dacia Arena, ini adalah stadion yang bagus, dan ia membantu kami mengubah pandangan soal Serie A. Namun, ini cuma satu dari sedikit contoh di Italia terkait fasilitas kelas atas."

    "Jadi, kami telah membentuk satuan tugas yang spesifik untuks tadion. Kami bertanya pada klub-klub apa yang bisa kami lakukan untuk membantu mereka memperbagus stadion serta fasilitas mereka."

  • Iklan
  • Gnonto Italy GermanyGetty Images

    "Tak ada ruang bagi pemain muda Italia"

    Tentunya ada berbagai masalah mengkhawatirkan lain yang harus diselesaikan.

    Selama jeda internasional, pelatih Azzurri - julukan timnas Italia - Roberto Mancini nampak tak senang dengan gagasan bahwa kehadiran tiga klub Serie A di delapan besar Liga Champions adalah bukti bahwa calcio sudah kembali.

    "Saya tak akan bicara soal kelahiran kembali sepakbola Italia," katanya pada jurnalis. "Mungkin kami bisa berkata demikian jika ada 33 orang Italia yang bermain untuk AC Milan, Napoli, dan Inter, tapi kami tak bisa, karena bahkan separuhnya saja tak sampai."

    Menurut bekas penggawa Azzurri Andrea Carnevale, bakatnya sih ada; tapi kesempatannya tidak.

    "Masalahnya adalah tim-tim besar – Inter, Roma, Milan, Juventus – mau memenangkan trofi," ucap kepala pemandu bakat Udinese tersebut kepada GOAL, "sementara klub seperti kami inginnya selamat (survive)."

    "Maka, semua menginginkan pemain yang mutunya sudah teruji untuk membantu memenuhi tujuan masing-masing, dan itu artinya merekrut pemain asing. Juventus mendatangkan megabintang seperti Cristiano Ronaldo untuk membantu mereka juara liga, sementara kami mencari pemain luar negeri untuk pemain murah [tapi berkualitas]."

    "Tak ada ruang bagi pemain muda Italia. Roma, inter, Milan, Juve, mengirimkan youngster-youngster mereka ke klub lain yang lebih kecil untuk membantu mereka berkembang, karena mereka dianggap belum siap untuk kasta tertinggi. Sehingga, ada beberapa pemain Italia berbakat di Serie B yang bisa direkrut ke Serie A, tapi tak banyak."

    Akibatnya adalah beberapa youngster memutuskan ke luar negeri untuk mendapatkan menit bermain di level senior, Wilfried Gnonto contoh sempurna.

    Ia mengambil keputusan berani menolak kontrak profesional dari Inter Milan demi bermain di tim utama bersama FC Zurich, dan kini ia bersinar di Inggris bersama Leeds United.

    Mancini berharap Gnonto – yang kini telah mengoleksi 10 caps untuk Azzurri di usia 19 tahun – akan menjadi pelopor - dan juga berharap kisah suksesnya akan menjadi sumber inspirasi bagi pemuda-pemuda Italia lain di luar sana.

    Tapi tentu saja, fakta bahwa salah satu prospek terbaik Italia kini bermain di Liga Primer menjadi perwujudan masalah yang lain lagi: kemarau talenta.

  • Kvaratskhelia napoliGetty Images

    Napoli: 'Sebuah kemenangan dalam scouting'

    Pada musim panas 2021, Serie A kehilangan peraih Pemain Terbaik (Romelu Lukaku, dijual ke Chelsea), kiper terbaik (Gianluigi Donnarumma, dijual ke Paris Saint-Germain), bek terbaik (Cristian Romero, dijual ke Tottenham), bek kanan (Achraf Hakimi, ke PSG), dan pemain terpopuler mereka (Cristiano Ronaldo, dijual ke Manchester United).

    Musim panas kemarin, Kalidou Koulibaly dan Matthijs de Ligt hengkang berjamaah, masing-masing ke Chelsea dan Bayern Munich.

    Dan dua perekrutan terbesar, Lukaku serta Paul Pogba, sejauh ini sudah lewat masa jayanya, dan semakin menguatkan pandangan sesat bahwa Serie A adalah 'liga para pensiunan' atau, kalau menurut kata bekas penggawa timnas Belanda Jan Mulder, rumah bagi para "selebriti di usia senja mereka".

    Namun bukan berarti tak ada lagi pemain hebat di Serie A – justru banyak.

    Pemimpin klasemen calon tunggal juara musim ini, Napoli, tak hanya bertabur bakat, mereka juga menjadi simbol dari apa yang bisa dicapai lewat strategi perekrutan yang jitu. Ya, Carnevale menyebut pencapaian bekas klubnya itu sebagai "sebuah kemenangan dalam scouting".

    Ingat, Napoli bukan cuma kehilangan Koulibaly musim panas kemarin, mereka juga berpisah dengan sesama legenda Lorenzo Insigne dan Dries Mertens, plus Fabian Ruiz dan Arkadiusz Milik.

    Namun Il Partenopei kini menjadi kebangaan Eropa, sebagai klub yang unggul 16 poin di puncak Serie A dan lolos ke delapan besar Liga Champions untuk pertama kali dalam sejarah mereka, sembari memainkan sepakbola yang menuai pujian dari seluruh benua.

    "Napoli membuktikan bahwa tak perlu membeli nama-nama besar atau menggelontorkan gaji-gaji selangit," kata Carnevale, yang merupakan pahlawan Napoli di dua Scudetto pertama mereka, kepada GOAL.

    "Napoli ditinggal juara-juar abesar seperti Koulibaly, Mertens, dan Insigne, dan menggantinya dengan dua-tiga nama tak dikenal dengan potensi besar, seperti Khvicha Kvaratskhelia dan Kim Min-jae, dan menaruh mereka di skuad hebat dengan pelatih hebat yakni Luciano Spalletti."

    "Sekarang mereka mendominasi liga. Maka, teladan yang diberikan tim Napoli ini, harus menjadi pelajaran bagi tim-tim lain betapa berharganya scouting yang bagus itu. Mereka menunjukkan bahwa Anda tak harus selalu membelanjakan uang yang banyak. Siapa pun bisa menang dengan mengikuti teladan Napoli."

    "Yang seperti ini bukan cuma cara hebat untuk membangkitkan kembali sebuah klub, tetapi juga sebuah liga."

  • Victor Osimhen Napoli 2022-23Getty

    Rabun jauh sepakbola Italia

    Namun memang, kekhawatirannya adalah tim Napoli ini akan dimangsa dan dipreteli satu per satu oleh Liga Primer Inggris dan klub-klub yang disokong negara seperti PSG.

    Victor Osimhen diduga kuat akan hengkang musim panas ini, yang memang merupakan kabar baik bagi rekening Napoli, tetapi lagi-lagi Serie A akan kehilangan salah satu bintang mereka yang bersinar paling terang.

    Masalahnya di sini adalah uang – atau lebih tepatnya, uang dari penjualan hak siar.

    Kita semua tahu Serie A pernah menjadi liga terbaik di dunia, tetapi juga mereka juga merupakan liga terkaya, yang artinya mereka memiliki daya tarik kuat untuk menggaet pemain-pemain terbaik di dunia. Persis seperti Liga Primer saat ini. Lantas, apa yang terjadi? Bagaimana bisa semua itu berubah?

    "Ada krisis daya saing berkepanjangan terkait sepakbola internasional, yang disebabkan oleh kesalahan manajer dan kurangnya strategi jangka panjang yang jelas," ucap Maro Bellinazzo, penulis "The Death of Italian Football", kepada GOAL.

    "Di era hak siar seperti ini, semua uang yang didapatkan klub Italia dimakan oleh biaya olahraga, gaji, dan transfer, tanpa menyisihkannya untuk investasi yang diperlukan pada infrastruktur, promosi, pemasaran, dan hal-hal sederhana lainnya yang diperlukan agar klub Serie A bisa menjadi liga kelas satu."

    "Kehadiran para OKB (Orang Kaya Baru), yang menyalurkan uang mereka ke sektor lain, dan penurunan para pembesar (patron) lawas Italia, berujung pada penjualan bersejarah Inter Milan dan AC Milan oleh Massimo Moratti dan Silvio Berlusconi, pun semakin memperparah situasi ini."

    Di periode yang sama, Liga Primer berinvestasi besar-besaran pada produk mereka dan dengan piawainya memanfaatkan popularitas klub mereka di seluruh dunia, menyulap Liga Inggris menjadi tontonan yang tak boleh dilewatkan.

    Akibatnya, seperti kata bekas asisten pelatih Chelsea Luca Gotti kepada GOAL, "Liga Primer Inggris mencapai level ekonomi yang saat ini tak bisa dsaingi oleh Serie A."

    "Kami tak punya standar yang bagus dan seringkali itu adalah hasil dari rabun jauh kami. Kami tak melihat apa-apa selain hidung sendiri."

  • Antonio Candreva Sampdoria Serie A 2021-22Getty

    'Meningkatkan nilai jual hak siar setinggi mungkin'

    Maka tantangan terbesar untuk Guarnerio dan pembesar sepakbola Italia lainnya adalah mereka harus bisa menerapkan strategi jangka panjang yang bisa mengembalikan kehormatan dan kejayaan Serie A.

    Ada beberapa alasan untuk bersikap optimistis dalam hal itu, dan bukan cuma karena kesuksesan Napoli, Milan, dan Inter di Eropa musim ini.

    "Di Italia, sudah tak ada lagi batasan tiga musim untuk menjual hak siar, dan sudah tak ada lagi kewajiban ketat untuk menjalankan tender internasional yang terbuka untuk umum, sehingga kini kami sudah setara dengan liga lain [soal peraturan]," jelas Guarnerio.

    "Undang-undang tersebut diubah musim panas kemarin dan ini artinya jadi lebih fleksibel, dan kami jadi bisa lebih baik dalam merespon kebutuhan pasar. Karena akan ada pasar di mana masih masuk akal untuk tak meneken kesepakatan lebih dari tiga musim. Tapi masih akan ada pasar di mana mereka menuntut kesepakatan yang berdurasi lebih panjang, yang artinya Anda bisa memaksimalkan hasil Anda jika Anda memilih periode yang lebih panjang."

    "Dan kini kami boleh melakukannya, yang cocok dengan niat kami untuk mengadopsi pendekatan yang disesuaikan untuk tiap-tiap wilayah."

    "Menurut saya, di masa lalu, ketika memilih masalah mana yang harus diprioritaskan, pengembangan brand dari sudut pandang internasional mungkin kurang diperhatikan. Jadi, mereka harus meng-outsource untuk mengelola hak siar internasional, yang mana merupakan praktik biasa saat itu."

    "Tapi yang harus dilakukan Serie A adalah mereka harus lebih memegang kendali, karena semakin banyak tahapan di antaranya, semakin jauh Anda dengan fans. Jumlah penggemar dan followers yang kami miliki di penjuru dunia sangatlah besar, benar-benar gila, oleh karena itu ada ruang untuk berkembang di sana."

    "Penggemar-penggemar inilah yang, secara geografis, paling jauh dari kami. Jadi kami harus menemukan cara untuk mendekatkan mereka dengan segala atraksinya sebagaimana penggemar domestik."

    "Jadi, saat ini kami tengah memelajari cara paling efisien untuk hadir di berbagai wilayah tersebut, demi meningkatkan nilai brand kami, untuk menyebarluaskan brand kami sebanyak mungkin, dengan meningkatkan nilai hak siar dan media setinggi mungkin sebagai tujuan utamanya."

  • Luciano Spalletti Stefano Pioli Napoli AC Milan Serie A 2022-23Getty

    'Made in Italy'

    Maka pertanyaan terbesarnya adalah, apakah mungkin Serie A bisa memangkas gap yang ada dengan Liga Primer Inggris?

    "Menurut saya EPL ini kasus spesial," kata Guarnerio. "Jika Anda menyukai semua koloni yang dulu dimiliki Britania Raya, EPL nyaris lebih dipandang sebagai liga 'domestik' alih-alih liga internasional. Dan itulah mengapa level mereka jauh berbeda."

    "Tapi tentu saja kami memelajari studi kasus EPL dan La Liga, liga-liga yang saat ini jauh di depan kami, tapi, di saat yang sama, kami berusaha menemukan cara agar bisa meningkatkan produk kami untuk masa depan."

    "Kami juga bertanya kepada diri sendiri apakah berusaha mengejar – dan meniru – liga lain adalah langkah yang tepat. Tentu saja kami bisa meniru mereka di kasus-kasus tertentu, tetapi kami juga memiliki berbagai disiplin olahraga lain yang bisa menjadi inspirasi buat kami."

    "Namun gagasan utamanya adalah agar fokus pada Italia. Kami harus berpikir ulang, 'apa yang bisa kami lakukan yang mana itu khas Serie A? Apa yang bisa kami lakukan yang mungkin tak dilakukan – atau tak bisa dilakukan – liga lain?'"

    "Maka, moto baru 'Made in Italy' baru kami terlahir dari brainstorming yang seperti ini. Tentu saja kami bisa belajar dari liga-liga lain yang lebih unggul, tetapi kami juga harus berusaha melakukan sesuatu yang berbeda, yang berpotensi unik."

    "Kami percaya bahwa kekuatan Serie A adalah bahwa ia tak seperti liga-liga lain di dunia, dalam hal passion, romansa, dan sejarah. Kita harus mengingatkan seluruh dunia akan itu."

    Dan jika mereka berhasil, maka calcio akan benar-benar kembali.

0