Serie A GFXGetty/GOAL

"Serie A Sekarang Jadi Serie B Eropa" - Bagaimana Sepakbola Italia Menjadi Kacau?

Ketika kepindahan Angel Di Maria ke Juventus pertama kali diperdebatkan pada bulan Juni, Gianluigi Buffon berpendapat bahwa pemain internasional Argentina itu tidak hanya akan menjadi dorongan besar bagi Bianconeri, tapi juga untuk sepakbola Italia.

"Untuk Serie A," kata ikon sepakbola Italia itu kepada Gazzetta dello Sport. "[Kedatangan] Di Maria seperti Maradona."

Itu dimaksudkan sebagai pujian besar untuk winger jempolan tersebut dari Buffon, yang telah lama mengidolakan Di Maria.

Artikel dilanjutkan di bawah ini

Namun, pada kenyataannya, itu adalah ilustrasi yang mengejutkan tentang seberapa tertinggalnya Serie A -- apalagi setelah era keemasan Maradona, Marco van Basten dan Lothar Matthaus. Belum pernah ada tim Italia yang memenangkan Liga Champions sejak 2010, sementara Gli Azzurri juga gagal lolos ke Piala Dunia dalam dua periode berturut-turut, dengan kemenangan Euro 2020 tampak seperti anomali yang luar biasa.

Seperti yang dikatakan presiden AC Milan Paolo Scaroni kepada Il Foglio: "Dalam 20 tahun terakhir, hampir semua orang telah melampaui kami... Serie A telah menjadi Serie B Eropa.

Bahkan para pengikut liga yang paling fanatik pun akan sulit untuk tidak setuju, sehingga mereka menjadi sangat frustrasi dengan cara kerja sepakbola Italia yang sembrono.

Setelah era gejolak keuangan yang disebabkan oleh pemilik klub sebelumnya di Tiongkok, Milan mengklaim Scudetto pertama dalam 11 tahun musim lalu, hasil dari pendekatan bijaksana yang diterapkan pada klub oleh Elliott Management, namun juara bertahan Italia mengalami kesulitan mendapatkan target pemain mereka di musim panas ini.

Sven Botman tampaknya akan bergabung dari Lille tetapi akhirnya pindah ke Newcastle, sementara Renato Sanches berakhir ke pelukan Paris Saint-Germain -- dengan banyak sorotan yang tertuju kepada standar Serie A saat ini dengan Liga Primer dan klub super yang didukung oleh negara.

Bahkan ketika Milan berhasil menggaet Charles De Ketelaere dari Club Brugge, mantan pemain internasional Belanda Jan Mulder memberikan ulasan pedas tentang kepindahan pemain berusia 21 tahun itu ke San Siro.

"Saya tidak mengerti apa-apa tentang transfer ini," kata pemenang Piala Eropa itu kepada HLN. "Jelas, dia seharusnya pergi ke Liga Primer karena itu adalah liga terbaik di dunia."

"Milan dan Serie A -- ke sanalah para 'selebritas' pergi di masa senja di akhir karier mereka."

Tidak dapat disangkal bahwa Serie A memiliki masalah citra yang sangat besar, itulah sebabnya Liga Primer menghasilkan sekitar sepuluh kali lebih banyak uang dari penjualan hak siar TV internasional.

Perebutan gelar musim lalu benar-benar menarik, salah satu yang paling kompetitif dan menarik di Eropa, namun persepsi orang tidak berubah, bahwa sepakbola Italia memiliki pamor yang lebih rendah dari Liga Primer.

Namun, Serie A hanya menyalahkan dirinya sendiri dalam hal ini. Bukan hanya gagal total memasarkan produknya ke penjuru dunia; mereka sudah lama terpuruk dan sangat lambat untuk berkembang.

Presiden La Liga Javier Tebas tahun lalu mempertanyakan: "Bagaimana mungkin sepakbola Italia menghasilkan uang lebih sedikit daripada Spanyol, ketika mereka memiliki populasi yang lebih besar dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi?

Jawabannya adalah: Salah urus dan bermain 'kotor' di setiap level permainan selama beberapa waktu yang terus menerus berlangsung.

Sejumlah orang-orang penting di sepakbola Italia, termasuk presiden Juventus Andrea Agnelli, menyalahkan krisis Covid-19. Namun, pandemi tidak benar-benar menghancurkan kerangka ekonomi sepakbola, itu hanya sedikit mengguncangnya.

"Serie A telah menderita, dan masih menderita, lebih dari liga top Eropa lainnya karena bahkan sebelum Covide, sepakbola Italia sudah buruk," kata Marco Iaria dari Gazzetta dello Sport kepada GOAL.

"Ada krisis daya saing yang panjang dalam kaitannya dengan persaingan internasional, yang disebabkan oleh kesalahan manajemen dan kurangnya strategi jangka panjang yang jelas."

"Di era hak siar TV ini, semua uang yang masuk ke kas klub Italia dihabiskan untuk biaya olahraga, gaji dan transfer, tanpa melakukan investasi yang diperlukan untuk infrastruktur, promosi, pemasaran dan pengetahuan sederhana yang diperlukan untuk klub-klub serie A agar tetap pada gerbong kereta kelas satu."

"Kedatangan orang kaya baru, yang telah mengarahkan uang mereka ke tempat lain, dan berkurangnya 'pelindung' lama Italia, yang mengakibatkan penjualan bersejarah Inter dan Milan oleh Massimo Moratti dan Silvio Berlusconi, di mana sisanya mengurus masalah lain."

"Misalnya, pada 2018/19, musim penuh terakhir sebelum krisis Covid-19, Serie A kehilangan hampir €300 juta (£260 juta/$350 juta) meskipun ada keuntungan modal sebesar €700 juta (£600 juta/$820 juta), dan akumulasi €2,5 miliar (£2,1 juta/$2,9 juta) jumlah utang bersih."

"Jadi, itulah hal-hal yang mengganggu sebelum pandemi."

AC Milan San Siro pandemic 2020 GFXGetty/GOAL

Oleh karena itu, liga mereka tak akan bisa terhindar dari perjuangan yang keras.

Untungnya, Milan sudah hemat dan merencanakan keuangan dengan lebih baik sebelum Covid-19 dengan menangguhkan beberapa pemain dan kemudian memaksa pertandingan dimainkan secara tertutup.

Bagaimana pun, Juventus membutuhkan suntikan modal yang menghebohkan dari perusahaan induk EXOR untuk terus merekrut pemain seperti Dusan Vlahovic, sementara Inter harus menjual pemain top dan secara drastis mengurangi tagihan upah mereka hanya untuk tetap bertahan.

Memang, musim panas 2021 ini sangat brutal tidak hanya bagi Nerazzurri, tetapi juga bagi Serie A secara umum.

Dalam satu bursa transfer, liga Italia telah kehilangan MVP (Romelu Lukaku ke Chelsea), penjaga gawang terbaiknya (Gianluigi Donnarumma ke PSG), bek tengah (Cristian Romero ke Tottenham), bek kanan (Achraf Hakimi ke PSG) dan pemain paling terkenal (Cristiano Ronaldo ke Manchester United).

Musim panas ini bisa dibilang lebih buruk. Lukaku mungkin telah kembali, bersama dengan Paul Pogba, yang pulang ke Juve. Tetapi, Kalidou Koulibaly dan Matthijs de Ligt telah pergi masing-masing bergabung dengan Chelsea dan Bayern Munich.

Koulibaly adalah seorang legenda di Naples, sementara De Ligt digadang-gadang sebagai pemimpin lini belakang Juve di masa depan. Namun yang terjadi mengenaskan, mereka mengambil keputusan untuk angkat kaki dari Italia.

Bahkan ini bukan hanya soal pemain kelas atas. Apa yang membuat musim panas ini sangat menyakitkan adalah bahwa Serie A tidak lagi dapat mempertahankan talenta tingkat menengah dan pendatang baru yang menarik -- apalagi bintang-bintang top Eropa.

Gianluca Scamacca, misalnya, telah lama dikaitkan dengan klub-klub seperti Inter dan Juve. Padahal, jika dia berada di Italia selama tahun-tahun mendatang, pemain internasional muda Italia itu akan menjadi prospek panas bagi dua Nerazzurri dan Si Nyonya Tua.

Sebagai gantinya, Scamacca menandatangani kontrak dengan West Ham United, tim terbaik ketujuh di Inggris, dan di musim panas tahun depan, dia akan bermain dengan sensasi Italia lainnya dari Udinese, Destiny Udogie, yang akan pindah ke Tottenham pada 2023.

Selain itu, ini bukan pertunjukan yang bagus untuk liga yang ditinggalkan oleh pemenang Euro 2020 Lorenzo Insigne dan Federico Bernardeschi yang pergi ke MLS. Inter juga tidak dapat meyakinkan Ivan Perisic untuk mengabaikan tawaran Tottenham, Lucas Torreira telah meninggalkan Fiorentina dan pergi ke Galatasaray, dan Arthur Teate serta Aaron Hickey bergabung dengan Rennes dan Brentford setelah musim mengejutkan bersama Bologna.

Sekali lagi, ini semua masalah uang, dan cara Serie A menyia-nyiakan posisi mereka yang mendominasi di masa lalu.

"Apa yang berubah dibandingkan 20 tahun lalu, ketika Italia memiliki tiga tim di lima besar Liga Uang Sepakbola Deloitte? tanya mantan wakil presiden AC Milan dan CEO Monza saat ini Adriano Galliani dalam wawancara baru-baru ini dengan Calcio e Finanza. "Kami tidak membangun stadion."

"Kami memiliki stadion paling jelek di Eropa dan ini memengaruhi pendapat hak siar TV, karena stadion yang jelek dan kosong tidak menjual bagi TV."

"Dan kami tidak membangun stadion karena birokrasi ini semua, karena pihak berwenang, untuk waktu yang lama, meminta pembangunan trek atletik dan karena selalu ada seperti seribu hambatan, seperti di San Siro, misalnya."

Memang, undang-undang baru yang diperkenalkan pada tahun 2013 dimaksudkan untuk membuat pembangunan kembali atau pembangunan stadion lebih mudah.

Namun, hampir satu dekade kemudian, Serie A tetap terjebak dalam birokrasi, mengakibatkan rencana untuk stadion baru tertunda untuk selamanya.

"Dan sementara kita menunggu, dunia terus bergerak maju," kata Scaroni kepada Calcio e Finanza. "Sejak 2013, ada tiga stadion baru yang dibangun di London saja."

Hasil akhirnya adalah bahwa pemilik yang ambisius akhirnya kecewa, merasa seolah-olah mereka membenturkan kepala mereka ke dinding bata, bertanya-tanya apakah ada gunanya bahkan jika mendatangkan pemain kelas dunia jika mereka tidak dapat memberi mereka panggung besar yang sesuai.

"Kita bisa mendatangkan penyanyi opera terbaik di dunia," kata Scaroni, "Tetapi jika kita membuat mereka bernyanyi di gudang daripada di La Scala... Itu perbedaan besar."

Kemudian, sepakbola Italia berurusan dengan sejumlah luka yang ditimbulkan oleh diri mereka sendiri dan pertanyaannya sekarang adalah bagaimana hal itu bisa pulih?

Galliani adalah salah satu dari mereka yang percaya bahwa Liga Super Eropa adalah jawabannya, meskipun tanda klub Inggris, yang menuai hasil dari menciptakan Liga Super mereka sendiri pada tahun 1992. "Harus ada Brexit dalam sepakbola juga," ucapnya yang menjadi kontroversi.

Dan, terlepas dari keruntuhan ESL yang memalukan setelah reaksi dari penggemar di Inggris, Agnelli tidak menyerah untuk mewujudkan mimpi yang dia bagikan dengan presiden Real Madrid Florentino Perez. Mereka masih berjuang di pengadilan untuk melihat kompetisi 'terpisah' itu bisa membuahkan hasil.

Bagi sebagian penggemar sepakbola, ide tersebut kini lebih cocok karena keinginan penyelenggara untuk meninggalkan konsep asli liga 'tertutup'.

Beberapa pendukung juga mulai menyoroti cerita tentang kekuatan finansial Liga Primer dan dengan sinis mengatakan 'Tapi Liga Super adalah masalahnya...'.

Ini tentu saja bukan solusi, setidaknya tidak untuk olahraga ini secara umum.

Kekayaan Liga Primer tidak dapat disangkal menjadi penyebab utama kekhawatiran, mengingat efeknya di pasar transfer dan keseimbangan kompetisi yang sangat baik.

Namun, seperti yang dikatakan Gianluigi Longari dari Sportitalia TV kepada GOAL, ESL bukanlah 'tongkat ajaib' yang mampu menyelesaikan semua masalah di sepakbola Italia.

Chelsea European Super League Protest 2021Getty/GOAL

"Memang, kami tampaknya berada dalam posisi yang lebih buruk tanpa Liga Super, yang setidaknya akan melihat 12 klub dengan pijakan yang kurang lebih sama dengan peluang sukses yang sama," ungkap Longari.

"Sekarang, kami bisa dibilang hanya berada di urutan ketiga atau empat di seluruh Eropa, jadi jelas bahwa perubahan drastis di sistem kami harus diperlukan."

"Anda hanya perlu memikirkan fakta bahwa tim yang memenangkan liga di Italia mendapatkan jumlah uang yang kurang lebih sama dari hak siar TV sebagai tim yang baru saja dipromosikan ke Liga Primer dari Championship."

"Jadi, situasi di Italia sangat parah, dan jauh lebih buruk daripada di negara lain, karena uang dari kesepakatan TV tidak cukup."

"Tapi, tidak ada tongkat ajaib yang bisa membuat semua masalah ekonomi ini hilang. Satu-satunya kemungkinan bagi klub adalah menghindari untuk terlalu memaksakan diri dengan mencoba melakukan hal-hal yang tidak mampu mereka lakukan."

Dan itu adalah fakta yang menyakitkan. Klub-klub Italia harus tidak seperti Manchester United dan Barcelona dengan membuang uang di bursa transfer dan lebih dari Atalanta, dan baru-baru ini Milan, dengan mencoba hidup sesuai kemampuan mereka.

Liga Super tidak akan menjadi 'tombol darurat' untuk kebangkitan Italia; itu akan menghancurkan Serie A, yang sebenarnya sudah hancur dan mengubahnya menjadi benar-benar Serie B. Dan itu akan membuat klub provinsi yang lebih kecil akan menjadi 'tahanan ekonomi' yang disebut trickle-down yang diperjuangkan belum lama ini oleh Donald Trump.

Jika ada peluang reformasi, pertama-tama mereka harus menerima rasa sakit jangka pendek untuk keuntungan jangka panjang.

Seluruh struktur permainan perlu dirobohkan dan dibangun kembali, seperti banyak stadion Serie A yang runtuh.

"Sumber daya dalam sepakbola menjadi semakin terfokus pada puncak piramida," kata pelatih Luca Gotti kepada GOAL.

"Sebelumnya, ada perpindahan uang antara Serie A, Serie B dan Serie C. Namun, kemudian kami melihat kesenjangan besar yang ada pada Serie A dan Serie B."

Napoli Sassuolo Serie A GFXGetty/GOAL

"Kesepakatan di televisi akhirnya menempatkan lebih banyak uang di tangan klub yang lebih kecil. Jadi sekarang, bahkan di Serie A, para elite hampir sepenuhnya terlepas dari yang lain."

"Jadi, ini adalah tren jangka panjang dalam sepakbola. Liga Super hanyalah langkah terbaru ke arah ini."

"Saya pikir ada kebutuhan bagi manajemen La Liga dan semua presiden klub kami untuk menyetujui rencana jangka panjang."

"Yang diperlukan adalah visi untuk masa depan, mencakup lima hingga delapan tahun ke depan, yang memungkinkan kami menjembatani kesenjangan ekonomi dengan klub-klub terkaya."

"Liga Primer telah mencapai tingkat ekonomi yang tidak dapat disaingi oleh Serie A saat ini."

"Kami kurang memiliki standar tertentu dan ini sering kali merupakan akibat dari apa yang kami lakukan sendiri. Kami tidak melihat di luar sana."

Kurangnya pandangan ke depan yang merusak seperti itu seharusnya tidak lagi ditoleransi.

Bagaimana pun, masalahnya tetap pada kurangnya persatuan di antara para pemangku kepentingan permainan. Masih banyak kepentingan yang saling bertentangan.

Pertandingan Italia tetap diganggu oleh pertengkaran-pertengkaran kecil, yang menjelaskan mengapa Serie A gagal memanfaatkan periode Cristiano Ronaldo di Juve, mengakibatkan nilai kesepakatan TV internasional turun, padahal seharusnya bisa meroket.

"Saya tidak ingin pesimis," kata Longari. "Tapi, saya tidak melihat solusi apa pun saat ini."

Memang, Di Maria bukanlah Maradona. Dan bahkan, jika dia ingin diplot sebagai penyelamat sepakbola Italia, mereka masih membutuhkan lebih dari satu generasi bakat untuk menyelamatkan sepakbola Italia.

Iklan