Zambia coach Herve Renard

Kisah Kuda Hitam: Dongeng Cinderella Zambia Yang Berawal Tragis

Pada April 1993, kecelakaan pesawat di Gabon menyebabkan timnas Zambia hancur berkeping-keping dan negara berkabung. Lebih tragis lagi, semua penumpang yang berjumlah 30 orang dinyatakan tewas, termasuk manajer Zambia dan 18 pemainnya.

Chipolopolo, julukan timnas Zambia, kala itu siap dengan pencapaian besar setelah mengalahkan Italia 4-0 di Olimpiade 1988 dan berada di jalur untuk lolos ke Piala Dunia pertama mereka pada 1994.

Sementara itu, kiprah timnas Zambia setelah insiden tersebut terbilang berjalan mulus, entah bagaimana mereka sukses melaju ke final Piala Afrika 1994, berkah terbaik yang datang setelah bencana.

Artikel dilanjutkan di bawah ini

Kapten Chipolopolo pada saat itu, Kalusha Bwalya, adalah salah satu pemain yang tidak berada di pesawat yang jatuh dan pada tahun-tahun sesudahnya, ia berambisi untuk mengantarkan Zambia meraih gelar yang layak mereka terima.

Setelah karier di level klub yang sukses dengan dua gelar Eredivisie bersama PSV, sang penyerang terus bermain untuk bangsanya, menjadi pelatih-pemain, dan mencetak gol kemenangan sebagai pengganti melawan Liberia pada 2004 ketika menginjak usia 41 tahun!

Dua tahun kemudian, Bwalya, yang kala itu menjadi pelatih kepala, berharap mampu memimpin Zambia menuju kejayaan di Piala Afrika 2006. Sayang, ia gagal. Timnya tersingkir sejak fase grup dan ia memutuskan untuk mundur, tetapi dengan tidak sepenuhnya menjauh dari timnas.

Setelah menjabat sebagai wakil presiden Federasi Sepak Bola Zambia, Bwalya terpilih sebagai presiden dan tidak pernah melepaskan mimpinya untuk mempersembahkan trofi. Menuju Piala Afrika 2012, Chipolopolo diprediksi gagal mencapai impian Bwalya dengan menempati peringkat 71 dunia dan bukan masuk tim unggulan.

Bwalya juga telah membuat keputusan berani dengan menunjuk kembali pria asal Prancis, Herve Renard, sebagai pelatih, tepatnya pada Oktober 2011. Yang menarik, nama terakhir meninggalkan posisi yang sama dua tahun sebelumnya.

Zambia coach Herve Renard

Terlepas dari turbulensi tersebut—dan fakta bahwa mereka baru menang empat kali dari 19 pertandingan terakhir di Piala Afrika—Zambia memulai turnamen dengan sempurna, yakni kemenangan atas Senegal dengan skor 2-1.

Skuad arahan Renard tersebut kemudian dua kali bangkit dari ketinggalan untuk menyelamatkan hasil imbang 2-2 dengan Libya sebelum mengklaim kemenangan tipis 1-0 atas Guinea Ekuatorial untuk mengamankan posisi teratas di Grup A.

Apa yang tidak dimiliki oleh pasukan Chipolopolo? Ya, bintang-bintang besar. Renard hanya membentuk semangat kolektivitas timnas Zambia. Dengan kemeja putih khas, ia mendorong timnya untuk tampil menekan tanpa henti.

"Sepertinya kami berada di depan satu gunung besar," ucap Renard kala itu.

"Kami harus memanjatnya, tetapi kami tidak punya helikopter dan tidak punya mobil. Kami hanya perlu punya banyak keberanian dan berpikir bahwa ‘Ya, kami bisa melakukannya’,” tutur mantan bek Cannes itu.

“Saya 100 persen yakin kami bisa melakukannya. Tuhan telah memberi kami kesempatan ini, untuk berada di sini, dan sekarang kami harus memenangkan Piala Afrika untuk timnas Zambia 1993,” tambahnya.

Pandangan sebelah mata untuk Zambia kemudian terbungkam pada perempat final saat mereka mengalahkan Sudan 3-0 untuk menyegel tempat di semifinal melawan tim kuat asal Afrika Barat, Ghana.

Jelas, di atas kertas, Ghana adalah tim favorit. Fakta bahwa mereka lolos ke perempat final dengan susah payah seusai mengalahkan Tunisia melalui babak perpanjangan waktu membuat tim arahan Renard unggul di atas lapangan.

Gol telat dari Emmanuel Mayuka—yang sukses menyelesaikan turnamen sebagai topskor—memastikan kemenangan 1-0 bagi Zambia sekaligus menyamai pencapaian 19 tahun lalu.

Final akan diselenggarakan di Gabon, negara tempat pesawat Chipolopolo jatuh pada 1993. Pada momen itu pula, Bwalya diberi kesempatan untuk memberikan penghormatan kepada mantan rekan-rekan setimnya dengan cara yang paling pas.

“Insiden itu membuat kami gelisah setiap hari. Tidak bisa tidur. Generasi kami hilang. Kini, kami telah menemukan generasi lain yang mungkin siap untuk mengambil alih peran para pahlawan yang gugur," kata Bwalya.

"Ini tidak sama. Saya selalu berpikir Anda tidak bisa menggantikan manusia dengan manusia lain. Tetapi, saya pikir anak-anak ini telah membuat kami bangga,” tambahnya.

Zambia AFCON 2012Getty

Menunggu Zambia pada partai penentuan adalah Pantai Gading, tim tampil mengesankan sepanjang turnamen dan belum kebobolan. Bayangkan! Mereka dihuni nama-nama beken seperti Didier Drogba, Yaya Toure, dan Wilfried Bony.

Sementara timnas Zambia juga terbilang bagus dalam sisi bertahan. Mereka baru kemasukan tiga gol dalam lima laga, dan terbukti sulit bagi sang lawan untuk ditembus.

Pantai Gading memang memiliki sejumlah peluang untuk memecah kebuntuan. Namun, bola tampaknya ogah masuk ke jala Zambia pada malam itu, dan setelah 120 menit tanpa gol, laga final harus ditentukan lewat adu penalti.

Setelah tujuh pemain pertama dari masing-masing tim sukses mengonversi tendangan penalti mereka, Kolo Toure dan Rainford Kalaba [pemain Zambia] sama-sama gagal.

Kemudian Gervinho, yang membela Arsenal kala itu, gagal menyelesaikan tugas setelah sepakannya melambung, kemenangan Zambia ditentukan setelahnya, yakni oleh pemain muda Stoppila Sunzu.

Layaknya keberanian yang dimiliki striker veteran, Sunzu tidak membuat kesalahan dari titik penalti sekaligus menyelesaikan dongeng Chipolopolo yang berawal dengan sangat tragis.

“Kami ingin memberikan penghormatan kepada para pemain yang telah gugur dan itu menjadi kekuatan kami," kata Renard, seusai laga.

“Pertandingan pertama kami adalah melawan Senegal dan tim sedang menuju Senegal untuk pertandingan ketika pesawat jatuh. Pesawat itu jatuh di Gabon dan kami memenangkan final di Gabon. Itu adalah bukti takdir, tertulis di langit,” ujar juru taktik yang kini melatih timnas Arab Saudi itu.

"Ada kekuatan yang hinggap bersama kami,” pungkasnya.

Iklan