Cesar Azpilicueta Chelsea Arsenal Premier League 2021-22Getty

Chelsea, Si 'Calon Juara' Yang Kini Rebutan 4 Besar Dengan Trio Medioker Arsenal, Manchester United, & Spurs

Selama sebagian besar musim ini, Chelsea kerap dibanding-bandingkan dengan dua tim terbaik dalam sejarah Liga Primer Inggris.

Manchester City & Liverpool menjadi standar kedigdayaan baru di sepakbola Inggris, dengan memecahkan rekor poin untuk mengamankan empat gelar liga empat musim terakhir.

Namun, setelah secara mengejutkan menjuara Liga Champions Eropa pada Mei tahun lalu, Chelsea arahan Thomas Tuchel nampak bisa mendobrak duopoli yang ada, seperti yang terbukti dalam pendakian mereka ke puncak klasemen Liga Inggris Desember lalu.

Artikel dilanjutkan di bawah ini

Namun sejak saat itu, cobaan demi cobaan datang silih berganti. Merebaknya Covid-19, badai cedera di tubuh skuad, serta kepadatan jadwal menjadi rintangan yang menghambat progres mereka.

Chelsea terus menunjukkan tajinya di kompetisi piala -- juara Piala Dunia Antarklub, runner-up Piala Liga Inggris, serta finalis Piala FA -- tetapi, sayangnya, atmosfer di Stamford Bridge berubah drastis, dan bukan cuma karena persoalan kepemilikan saja.

Bagaimana tidak? Saat ini Tuchel jauh lebih mengkhawatirkan apa yang ia lihat di lapangan, setelah dibikin berang karena anak asuhnya membiarkan 11 gol masuk ke gawang mereka dalam tiga pertandingan kandang terakhir.

"Mustahil untuk melakukan kesalahan sebanyak ini di level seperti ini," amuk manajer asal Jerman itu setelah lagi-lagi tampil dengan lini belakang keropos, Kamis (21/4) dini hari WIB kemarin, yakni ketika ditundukkan Arsenal 4-2.

"Anda tak seharusnya pernah melihat hal seperti ini, tetapi nyatanya ini yang kami perbuat. Anda tak bisa memenangkan pertandingan sepakbola kalau seperti ini. Mustahil." 

Yang paling bikin keringat dingin, sekarang Chelsea di peringkat ketiga cuma dipisahkan dua poin dengan Arsenal di peringkat keempat, dan enam poin dengan Tottenham di peringkat kelima.

The Blues memang bermain dua laga lebih sedikit, namun fakta bahwa sekarang mereka mendapat ancaman dari bawah alih-alih menempel ketat Man City dan Liverpool adalah bukti nyata betapa merosotnya performa mereka setelah tahun baru.

Mereka layak cemas karena sekarang ikut-ikutan 'mengais' empat besar dengan tim-tim medioker seperti Arsenal, Tottenham, Manchester United, dan West Ham, yang semuanya betul-betul inkonsisten musim ini.

Jadi, ada apa dengan Chelsea?

Saat tiba di London barat Januari 2021 lalu, pesan utama yang digaungkan Tuchel adalah bahwa dia ingin menyulap The Blues menjadi tim "yang tak ingin dihadapi siapa pun", terutama setelah menyaksikan bobroknya pertahanan Chelsea era Frank Lampard.

Ketika akhir musim lalu diminta menjelaskan faktor kunci apa yang membuat anak asuhnya tiba-tiba berkembang pesat, ia menjawab: "Kadang, kami cuma terus berjuang."

"Kami memanfaatkan tubuh kami, memanfaatkan daya kerja kami kalau tak bisa mengungguli [lawan], kami siap mengalahkan daya kerja mereka dengan dahaga dan energi."

Pernyataan itu adalah sebuah pengakuan bahwa Chelsea tak punya megabintang yang bisa memenangkan laga seorang diri seperti Mohamed Salah atau Kevin de Bruyne; bahwa mereka harus mencari cara lain untuk menang.

Ngomong memang gampang, tetapi para pemain benar-benar meyakininya. Tuchel berhasil menciptakan budaya kerja keras yang menghasilkan sepakbola tensi tinggi dengan level konsentrasi yang mengerikan.

Kebangkitan performa juga disertai perubahan formasi ke skema tiga bek, sehingga menambah satu personil di belakang, membuat The Blues kian sulit ditembus.

Meski tujuannya tetap menguasai bola sesering mungkin, fokusnya berubah menjadi pressing tepat dan menyerang balik dengan kilat.

Penambalan lini belakang mengorbankan fluiditas serangan tetapi clean sheet diprioritaskan, meski perlu diakui deretan penyerang Chelsea seperti Kai Havertz dan Timo Werner sama sekali bukan sumber gol yang dapat diandalkan.

"Kami bukan tip yang bisa kabur dengan mendapatkan hasil kalau inputnya cuma 90 persen atau 80 persen dari energi, komitmen, dan investasi kami," kata Tuchel setelah armadanya membantai Southampton 6-0.

"Prioritas kami harus benar. Kalau berkomitmen, kalau bertahan dengan berani, kalau punya sikap yang tepat dan dahaga yang tepat, dan memenangkan tantangan, kami adalah kelompok yang spesial."

Tentunya, Chelsea berharap dimensi serangan mereka berkembang dengan mengakuisisi striker yang terbukti subur mencetak gol.

Tapi kenyataannya, pembelian Romelu Lukaku dengan harga rekor £100 juta dari Inter Milan berubah menjadi bencana.

Penyerang Belgia itu gagal beradaptasi dengan taktik Tuchel, seperti yang ia akui sendiri dalam wawancara kontroversial dengan Sky Sport Italia.

Keretakan hubungan itu semakin mengalienasi Lukaku dan permasalah besar ini, ditambah dengan habis kontrak duo pilar pertahanan Antonio Rudiger dan Andreas Christensen, membikin ruang ganti Chelsea jadi gerah.

Ketika semua serdadu bersatu seperti musim lalu, Tuchel bisa merotasi pemain dengan bebas. Sekarang rasanya butuh keseimbangan yang rumit demi motivasi dan energi semua anggota skuad, terutama mengingat Chelsea sudah memainkan lebih banyak dibandingkan tim manapun di Eropa musim ini.

Bahkan Tuchels sendiri tidak sebahagia di waktu-waktu sebelumnya. Dia menangani krisis kepemilikan Roman Abramovich dengan amat berkelas, tetapi rasanya semua itu perlahan sirna saat mendengarnya menjadikan rumput Stamford Bridge sebagai alasan buruknya penampilan Chelsea.

Musim ini, tak bisa dipungkiri bahwa The Blues menghadapi lebih banyak tekanan dan persoalan dibandingkan kebanyakan klub lain, tetapi mereka tetap punya tanggung jawab untuk menyelesaikan musim penuh turbulensi ini dengan gemilang, demi memastikan mereka bisa mulai mengejar tim-tim elite di atas sana, dan bukannya turun kasta seperti trio medioker yang sedang gontok-gontokkan di bawah mereka.

Iklan