Charlton, 20 tahun, adalah salah satu anggota termuda skuad Manchester United yang sedang dalam perjalanan pulang dari Belgrade, setelah memenangkan tiket semi-final Piala Eropa (kini Liga Champions). Pesawat mereka mampir di Munich untuk mengisi bahan bakar, dan setelah dua kali gagal lepas landas, pesawat yang membawa seluruh awak Man United tergelincir dan jatuh di landasan pacu, menewaskan 23 orang. Charlton adalah penyintas terakhir yang ditemukan, masih terikat sabuk pengaman di kursinya, 40 meter dari puing-puing pesawat.
Charlton mengalami luka serius di kepala dan segera dilarikan ke rumah sakit. Saat ia siuman keesokan harinya, orang yang berbaring di sebelah kasurnya membacakan laporan kecelakaan pesawat dan memberi apa yang Charlton gambarkan sebagai sebuah "panggilan absen mengerikan": nama-nama mereka yang tewas dibacakan satu per satu. Delapan dari mereka adalah rekan satu tim Charlton, dan tiga darinya adalah sahabat-sahabat terdekatnya: Eddie Coleman, David Pegg, dan Tommy Taylor.
Tak seperti rekan-rekannya yang lain yang selamat, Charlton sama sekali tak mengalami patah tulang, namun luka psikologis itu membekas hingga sisa hidupnya. Ia memang dinyatakan bisa bermain lagi sebulan setelah tragedi tersebut, namun Charlton sempat mempertimbangkan untuk undur diri dari sepakbola sepenuhnya.
"Dalam berbagai cara, saya adalah bagian dari kengerian itu, tetapi, anehnya, juga berjarak," tulis Charlton di autobiografinya. "Rasanya hampir seolah-seolah saya adalah partisipan yang tak berwujud, bisu, dan trauma dalam sebuah mimpi mengerikan, di mana saya tak bisa bertindak apa-apa atau kabur darinya."
"Saya berpikir, 'kenapa saya?' Kenapa saya berada di sini hanya dengan luka kecil di kepala sementara teman-teman yang lain terbunuh? Saya merasa itu tidak adil, kenapa harus saya? Itu adalah peristiwa yang sangat besar, begitu banyak anak muda yang tewas tepat di ambang kesuksesan besar yang telah menanti mereka, dan saya tak mengerti kenapa. Kami pergi. Beberapa hari kemudian, Anda baru menyadari betapa besarnya tragedi yang baru saja terjadi, lalu Anda mulai menyadari betapa beruntungnya Anda. Saya sangat beruntung."