Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram, atau yang lebih dikenal sebagai PSIM Yogyakarta, adalah salah satu klub bersejarah dalam perjalanan sepakbola Indonesia. Berbasis di Yogyakarta, klub yang dijuluki Laskar Mataram ini bukan hanya sekadar tim sepakbola, tetapi juga simbol kebanggaan budaya dan identitas masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagai salah satu pendiri PSSI pada 19 April 1930, PSIM memiliki tempat spesial di hati pecinta sepakbola Tanah Air. Namun, di tengah gemerlap sejarahnya, satu pertanyaan kerap muncul di benak penggemar: kapan terakhir kali PSIM bermain di kompetisi tertinggi sepakbola Indonesia?
Adhe MakayasaJejak Emas Era Perserikatan
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyelami liku-liku perjalanan PSIM dalam kompetisi sepakbola nasional. Pada era awal sepakbola Indonesia, yakni masa Perserikatan, PSIM pernah mencatatkan tinta emas. Tahun 1932 menjadi momen bersejarah ketika PSIM merengkuh gelar juara Perserikatan setelah mengalahkan VIJ Jakarta (kini Persija) di laga final. Itu adalah kali pertama dan, hingga kini, satu-satunya gelar juara kompetisi tertinggi yang diraih PSIM pada era tersebut. Setelah itu, PSIM beberapa kali nyaris mengulang kejayaan, menjadi runner-up pada 1931, 1939, 1940, dan 1943, tetapi trofi juara tak lagi singgah di tangan mereka.
Ketika kompetisi bergeser dari Perserikatan ke era modern Liga Indonesia pada 1994, PSIM harus menghadapi tantangan baru. Fanatisme suporter setia seperti Brajamusti dan Maident tetap membara, namun prestasi klub ini mulai mengalami pasang surut. Dominasi tim-tim besar dari kota lain serta persoalan klasik seperti pendanaan membuat PSIM kesulitan menembus papan atas secara konsisten.
Titik Terakhir Di Kasta Tertinggi
Lalu, kapan terakhir kali PSIM benar-benar berkompetisi di strata tertinggi sepakbola Indonesia? Jawabannya membawa kita ke tahun 2007. Pada musim tersebut, PSIM masih berkiprah di Divisi Utama Liga Indonesia, yang saat itu merupakan kompetisi kasta tertinggi sebelum lahirnya Indonesia Super League (ISL) pada 2008. Divisi Utama 2007 menjadi panggung terakhir PSIM di level elite, meskipun mereka tidak berhasil lolos ke ISL yang kemudian mengambil alih status sebagai liga teratas.
Tahun 2006 sebenarnya menjadi catatan penting dalam perjalanan PSIM. Saat itu, klub-klub dari DIY, termasuk PSIM, terpaksa mengundurkan diri dari kompetisi akibat gempa bumi dahsyat yang melanda Yogyakarta pada Mei 2006. Bencana alam itu tidak hanya mengguncang fisik kota, tetapi juga mengganggu stabilitas klub. Pada 2007, PSIM kembali berkompetisi di Divisi Utama, tetapi hanya mampu finis di peringkat sembilan wilayah, gagal memenuhi syarat untuk masuk ke ISL. Ketika ISL resmi digulirkan pada 2008 sebagai kompetisi tier satu dan Divisi Utama turun menjadi kasta kedua, PSIM pun terlempar dari panggung utama.
Penantian Panjang 18 Tahun
Sejak 2007, PSIM terus berjuang di kasta kedua, yang kemudian berganti nama menjadi Liga 2 pada era modern. Meski begitu, Laskar Mataram tidak pernah benar-benar degradasi secara formal dari Divisi Utama 2007. Mereka hanya gagal menembus pintu ISL akibat perubahan format dan kebijakan operator liga saat itu. Namun, bagi suporter setia, absennya PSIM dari kompetisi tertinggi selama hampir dua dekade terasa seperti penantian yang tak berkesudahan.
Puncak dari perjuangan panjang itu akhirnya tiba pada musim 2024/2025 Liga 2. Pada 17 Februari 2025, PSIM memastikan tiket promosi ke Liga 1 musim 2025/2026 setelah mengalahkan PSPS Pekanbaru dengan skor 2-1 di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta. Kemenangan ini mengantarkan mereka menjuarai Grup X babak enam besar Liga 2, mengakhiri penantian 18 tahun untuk kembali ke kasta tertinggi. Sorak sorai suporter menggema, menandai kebangkitan salah satu raksasa tertidur dalam sepakbola Indonesia.
LIBMakna Kembali Ke Liga 1
Kembalinya PSIM ke Liga 1 bukan sekadar soal prestasi olahraga, tetapi juga tentang kebanggaan sejarah dan identitas. Sebagai klub pendiri PSSI, PSIM membawa serta warisan panjang yang mewakili semangat perjuangan sepakbola Indonesia sejak era kolonial. Rivalitas klasik dengan klub seperti Persis Solo dan PSS Sleman, yang kini juga berkompetisi di level atas, berpotensi menghidupkan kembali nostalgia Derbi Mataram yang penuh gengsi.
Namun, perjalanan ini juga menjadi pengingat bahwa kejayaan tidak datang dengan mudah. Setelah 2007, PSIM sempat nyaris promosi beberapa kali, seperti pada musim 2011/2012 ketika kalah di play-off melawan Persegres Gresik, atau pada 2018 ketika rivalitas dengan Persis memanas namun tak membuahkan hasil. Kini, dengan dukungan sponsor besar dan semangat baru, PSIM siap menatap masa depan.
Gelora Trisula SemestaAkhirnya...
Setelah penantian 18 tahun, PSIM akhirnya kembali ke panggung utama pada musim 2025/2026. Bagi Laskar Mataram dan penggemarnya, ini bukan sekadar kembalinya sebuah tim, tetapi juga kebangkitan sebuah legenda yang pernah mengukir sejarah di tahun 1932. Stadion Mandala Krida, jika memenuhi syarat, kembali bersiap untuk menyambut gemuruh Liga 1, dan PSIM siap mengukir babak baru dalam cerita panjang mereka.