Dunia sepakbola Indonesia beberapa kali dikejutkan dengan kedatangan pemain-pemain yang pernah merasakan kerasnya persaingan Liga Primer, kompetisi yang sering disebut sebagai liga terbaik di dunia. Fenomena ini bukan sekadar isapan jempol, melainkan sebuah realita yang membawa euforia sekaligus tanda tanya besar bagi para pencinta si kulit bundar di Tanah Air. Para pemain ini datang dengan reputasi mentereng, pernah membela klub-klub besar, dan menjadi idola di masanya.
Puncak dari eksodus ini terjadi pada musim 2017, ketika PSSI dan operator liga memperkenalkan regulasi "marquee player". Kebijakan ini memberikan keleluasaan bagi klub-klub Liga 1 untuk merekrut pemain bintang kelas dunia di luar batasan kuota pemain asing yang ada, dengan syarat mereka pernah bermain di salah satu dari tiga edisi Piala Dunia terakhir atau pernah merumput di liga-liga top Eropa. Tujuannya jelas: meningkatkan nilai jual dan kualitas kompetisi, serta menarik minat penonton untuk datang ke stadion.
Namun, layaknya dua sisi mata uang, kebijakan marquee player ini menghasilkan cerita yang beragam. Ada yang berhasil menjadi ikon baru dan mengangkat performa timnya secara signifikan, namun tidak sedikit pula yang gagal total, terganjal masalah adaptasi, cedera, hingga performa yang jauh di bawah ekspektasi. Kisah mereka menjadi pelajaran berharga tentang realitas sepakbola Indonesia yang tak selalu seindah yang dibayangkan.
Kini, meski era marquee player telah berlalu, jejak koneksi antara Liga Primer dan Indonesia kembali muncul lewat sosok yang berbeda. Jordi Amat, pemain dengan puluhan caps di kasta tertinggi Liga Inggris, kini berstatus sebagai Warga Negara Indonesia dan menjadi pilar pertahanan tim nasional serta klubnya. Fenomena ini menandai babak baru dalam hubungan antara dua dunia sepakbola yang tampaknya jauh berbeda ini. GOAL coba menjelaskannya di sini!












