Pada malam tanggal 18 Desember, atmosfer Lusail benar-benar menyerupai upacara naik takhta seorang raja, sebuah ending puitis bagi pemain yang telah patah hati berkali-kali, sampai sempat memutuskan untuk pensiun dari kancah internasional di tahun 2016.
Oleh karenanya, itu menjadi momen sempurna La Pulga untuk mengakhiri kisah kariernya di kancah internasional.Tapi nyatanya Messi masih membela Argentina sampai detik ini. Kenapa? Karena dia sedang menikmati hidup.
Dia pernah bilang bahwa sepakbola internasional tak lagi membuatnya bahagia; sekarang dia menikmati setiap detik yang ia habiskan bersama armada Lionel Scaloni. Messi pun tak ayal ingin mempertahankan gelar Copa America di Amerika Serikat tahun depan. Setelah itu? Entahlah. Siapa yang tahu.
MLS lebih sulit dari yang orang-orang kira, dan jadwalnya pun bisa sangat berat karena waktu perjalanan yang teramat panjang, tapi keputusan Messi untuk meninggalkan Eropa semestinya bisa memperpanjang usia kariernya.
Paling tidak, ia sudah lebih bahagia di Inter Miami dibanding saat ia di Paris Saint-Germain.
Messi mengecewakan di Parc des Princes adalah sebuah anggapan yang salah kaprah. Musim lalu contohnya, cuma ada empat pemain di lima liga besar Eropa yang kontribusi golnya lebih banyak dari Messi.
Yang jadi masalah adalah ia menjadi personifikasi masalah yang mengakar di PSG di mata para suporter. Memang tak bisa disangkal bahwa ia turut mengemban tanggung jawab karena gagal menjalin ikatan dengan para penggemar. Tapi ia dijadikan kambing hitam atas obsesi tak sehat QSI untuk membeli pemain megabintang, apalagi mengingat Neymar lebih sering dugem daripada bermain sementara Kylian Mbappe menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan padanya.
Alhasil Messi pun merasa diperlakukan tidak adil, dan mengklaim bahwa ia "satu-satunya juara dunia yang tidak diakui oleh klubnya sendiri". Tapi nasib Messi jauh berbeda di Miami, di mana ia diperlakukan bak dewa bahkan sebelum membawa The Herons juara Piala Liga dan dikelilingi sahabat-sahabat lamanya di Barcelona.