WC2002-KOR-ITA-COCO-DEJECTIONAFP

FAKTA BOLA - Mengenang Era Golden Goal: Eksperimen Kontroversial FIFA Yang Menciptakan Pahlawan Dan Patah Hati Dalam Sekejap

Aturan Golden Goal adalah sebuah eksperimen radikal dari FIFA, lahir dari keinginan untuk menyuntikkan drama dan kegembiraan ke dalam pertandingan sepakbola yang memasuki babak perpanjangan waktu. Diperkenalkan secara resmi pada 1993, premisnya sederhana namun brutal: tim pertama yang mencetak gol di babak perpanjangan waktu akan langsung menjadi pemenang, dan pertandingan seketika berakhir. FIFA secara sadar menghindari istilah "sudden death" atau "mati mendadak" yang sudah lebih dulu populer di olahraga lain karena dianggap memiliki konotasi negatif. Sebagai gantinya, mereka memilih nama "Golden Goal" atau "Gol Emas" yang lebih positif dan mudah dipasarkan, sebuah upaya untuk membingkai aturan yang kejam ini dalam bahasa aspirasi dan kejayaan.

Niat utama di balik aturan ini adalah untuk mendorong permainan menyerang dan mengurangi ketergantungan pada adu penalti, yang sering dianggap sebagai lotre keberuntungan dan bukan cerminan sejati dari kekuatan sebuah tim. Namun, di sinilah letak paradoks utamanya: aturan ini sering kali menghasilkan efek yang berlawanan. Ketakutan yang luar biasa akan kebobolan dan kalah secara instan membuat tim-tim menjadi sangat berhati-hati dan ultra-defensif. Alih-alih menyerang untuk meraih kemenangan cepat, banyak tim memilih untuk "main aman", meminimalkan risiko, dan lebih memilih nasib mereka ditentukan melalui adu penalti daripada kebobolan satu gol fatal di waktu tambahan.

Meski gagal secara taktis, warisan aturan Golden Goal adalah drama yang tak terlupakan. Aturan ini menciptakan momen-momen ekstasi murni bagi para pemenang dan patah hati yang mendadak dan menyakitkan bagi yang kalah. Dalam sekejap, seorang pemain bisa menjadi pahlawan abadi, sementara tim lawan terkapar di lapangan, tidak diberi kesempatan untuk membalas. Era ini didefinisikan oleh momen-momen ikonik — mulai dari gol kemenangan Oliver Bierhoff di Wembley, tendangan voli David Trezeguet di Rotterdam, hingga kontroversi seputar gol Ahn Jung-hwan yang menyingkirkan Italia di Piala Dunia 2002.

Era Golden Goal adalah sebuah babak yang singkat namun penuh gejolak dalam sejarah sepakbola. Aturan ini mengubah dinamika pertandingan fase gugur, menciptakan tekanan psikologis yang unik, dan meninggalkan jejak momen-momen yang akan selalu dikenang karena finalitasnya yang dramatis. Laporan ini akan menyelami lebih dalam asal-usul aturan kontroversial ini, momen-momen paling terkenalnya, dampak psikologis yang ditimbulkannya pada para pemain, penggantinya yang bernasib lebih buruk — Silver Goal — dan akhirnya penghapusannya, menyajikan gambaran lengkap tentang salah satu eksperimen paling berkesan dalam dunia sepakbola. GOAL coba menjelaskannya di sini!

  • SOCCER-WORLD CUP-1994-BRA-ITAAFP

    Kelahiran 'Sudden Death': Jawaban Atas Sinisme Italia '90

    Lahirnya aturan Golden Goal tidak terjadi dalam ruang hampa. Aturan ini adalah reaksi langsung terhadap masalah yang berkembang dalam sepakbola dunia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an: meningkatnya taktik defensif dan permainan yang enggan mengambil risiko. Puncak dari tren ini adalah Piala Dunia 1990 di Italia. Meski dikenang karena momen-momen emosional seperti air mata Paul Gascoigne dan tarian Roger Milla, turnamen tersebut secara taktis dianggap sebagai titik terendah. Banyak pertandingan dirusak oleh pelanggaran keras, taktik negatif, dan keengganan untuk menyerang, menjadikannya "sarang seni gelap" dalam sepakbola. Final Piala Dunia 1994 yang berakhir 0-0 antara Brasil dan Italia dan harus ditentukan lewat adu penalti semakin memperkuat keyakinan FIFA bahwa perubahan drastis diperlukan untuk menjaga daya tarik olahraga ini.

    Pemberlakuan Golden Goal merupakan bagian dari gerakan reformasi yang lebih luas oleh FIFA untuk mendorong sepakbola menyerang. Aturan ini tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi puncak dari serangkaian perubahan yang dirancang untuk memberi insentif pada permainan ofensif. Pada 1992, FIFA memperkenalkan aturan back-pass, yang melarang kiper menangkap bola yang dioper dengan sengaja oleh rekan setimnya menggunakan kaki. Aturan ini lahir setelah tim seperti Denmark di Euro 1992 dan Irlandia di Piala Dunia 1990 secara efektif memanfaatkannya untuk membuang-buang waktu. Selain itu, sistem tiga poin untuk kemenangan mulai diadopsi secara luas pada 1995 untuk membuat kemenangan di babak penyisihan grup menjadi lebih berharga daripada hasil imbang. Dalam konteks ini, Golden Goal adalah langkah paling radikal, sebuah upaya legislatif untuk menyuntikkan kembali kegembiraan ke dalam permainan.

    Alasan resmi yang dikemukakan FIFA adalah bahwa babak perpanjangan waktu telah menjadi periode yang "tegang dan tidak menghibur" karena tim-tim yang kelelahan dan gugup lebih memilih untuk bertahan dan mengincar adu penalti. Adu penalti itu sendiri sering kali digambarkan sebagai kontes yang lebih didasarkan pada "keberuntungan" daripada keterampilan sepakbola yang sesungguhnya, sehingga dianggap tidak representatif. Harapannya, dengan adanya Golden Goal, tim akan lebih aktif menyerang selama perpanjangan waktu untuk mencari kemenangan instan, yang pada gilirannya akan mengurangi jumlah pertandingan yang harus diakhiri dengan adu penalti.

    FIFA secara resmi memperkenalkan aturan ini pada 1993, dengan ajang Piala Dunia U-20 di Australia menjadi kelinci percobaannya. Golden Goal pertama dalam sejarah kompetisi FIFA dicetak oleh pemain Australia Anthony Carbone pada menit kesembilan perpanjangan waktu dalam laga perempat-final melawan Uruguay. Setelah uji coba tersebut, aturan ini mulai diadopsi di turnamen senior. Kejuaraan Eropa atau Euro 1996 menjadi turnamen besar pertama yang menggunakannya, diikuti oleh Piala Dunia 1998 di Prancis. Perubahan nama dari "sudden death" menjadi "Golden Goal" adalah langkah pemasaran yang disengaja, namun ironisnya, nama yang lebih positif ini tidak mampu mengubah realitas psikologis di lapangan, di mana para pemain dan pelatih lebih merasakan tekanan "kematian mendadak" daripada pesona "gol emas".

  • Iklan
  • 1996 UEFA Euro Championships Final Germany v Czech RepublicHulton Archive

    Pahlawan Pertama: Bierhoff & Blanc Menulis Sejarah Di Panggung Terbesar

    Aturan Golden Goal tidak butuh waktu lama untuk menunjukkan kemampuannya dalam menciptakan pahlawan instan dari sumber yang tak terduga. Panggung besar pertama adalah final Euro 1996 di Stadion Wembley, di mana Jerman berhadapan dengan Republik Ceko. Skuad Jerman saat itu sedang compang-camping akibat badai cedera yang parah. Oliver Bierhoff, seorang penyerang yang bermain untuk Udinese di Italia, bahkan bukan pilihan utama. Konon, pelatih Berti Vogts memasukkannya ke dalam skuad atas bujukan istrinya, yang berkata, "dia akan membalas kepercayaanmu".

    Prediksi itu menjadi kenyataan dengan cara yang paling dramatis. Jerman tertinggal 1-0, dan Bierhoff dimasukkan sebagai pemain pengganti. Ia pertama-tama mencetak gol penyeimbang melalui sundulan untuk memaksakan pertandingan ke babak perpanjangan waktu. Kemudian, pada menit ke-95, sejarah tercipta. Bierhoff melepaskan tembakan spekulatif dari tepi kotak penalti. Bola sempat membentur pemain lawan, mengubah arahnya sedikit, dan gagal ditangkap dengan sempurna oleh kiper Ceko Petr Kouba. Bola pun bergulir pelan ke gawang, menjadi Golden Goal pertama yang menentukan gelar juara di sebuah turnamen internasional besar.

    Bagi Bierhoff, momen itu adalah luapan kebahagiaan dan kelegaan yang luar biasa. Ia mengaku tidak langsung menyadari bobot sejarah dari gol tersebut; itu adalah insting seorang pencetak gol, "mata pencahariannya". Namun, bagi para pemain Republik Ceko, itu adalah akhir yang brutal dan terasa tidak adil. Mereka tertegun, beberapa berpendapat bahwa bola yang berbelok arah membuat gol itu lebih karena nasib buruk daripada kehebatan. Gol pertama yang menentukan gelar juara ini sudah mengandung benih kritik yang akan terus menghantui aturan tersebut: finalitasnya yang terasa tidak proporsional dengan peristiwa yang memicunya, meninggalkan rasa ketidakadilan tanpa ada kesempatan untuk penebusan.

    Dua tahun kemudian, aturan ini melakukan debutnya di panggung terbesar, Piala Dunia 1998 di Prancis. Di babak 16 besar, tuan rumah Prancis terkunci dalam pertarungan sengit melawan tim Paraguay yang tangguh dan disiplin. Pertandingan berlanjut ke perpanjangan waktu, dan seluruh bangsa menahan napas, sadar bahwa satu kesalahan kecil akan mengakhiri mimpi mereka secara instan. Pada menit ke-114, pahlawan yang tak terduga kembali muncul. Kali ini adalah seorang bek tengah, Laurent Blanc. Ia berhasil mencetak Golden Goal pertama dalam sejarah Piala Dunia, sebuah momen kelegaan luar biasa yang tidak hanya mengirim Prancis ke perempat-final tetapi juga menjadi pendorong momentum dalam perjalanan mereka meraih gelar juara dunia untuk pertama kalinya. Kisah Bierhoff dan Blanc menetapkan sebuah arketipe: di bawah tekanan "sudden death", pahlawan bisa datang dari mana saja.

  • French forward David Trezeguet jubilates after scoAFP

    Puncak Kejayaan Dan Patah Hati: Generasi Emas Prancis & Halilintar Trezeguet

    Jika ada satu momen yang merangkum esensi dramatis dari era Golden Goal, itu adalah final Euro 2000. Pertandingan ini mempertemukan dua raksasa sepakbola: Prancis, sang juara dunia, melawan Italia. Azzurri tampak di ambang kemenangan setelah unggul 1-0 hingga menit-menit akhir. Namun, di menit ketiga injury time, pemain pengganti Sylvain Wiltord berhasil mencetak gol penyeimbang yang dramatis, memaksakan pertandingan ke periode Golden Goal yang menegangkan.

    Di babak perpanjangan waktu, pelatih Prancis Roger Lemerre tidak bermain aman. Setelah memasukkan Wiltord dan Robert Pires, ia kemudian menurunkan David Trezeguet, menciptakan barisan depan yang sangat ofensif dengan empat penyerang. Keputusan ini mencerminkan filosofi generasi emas Prancis saat itu: sebuah keyakinan tak tergoyahkan pada permainan menyerang untuk "menyelesaikan pekerjaan". Ini menunjukkan sisi lain dari aturan tersebut; sementara keadaan defaultnya adalah ketakutan, momentum dan keputusasaan bisa mendorong tim untuk mengambil risiko ekstrem, menciptakan drama yang justru diinginkan FIFA.

    Pertaruhan itu terbayar lunas dengan cara yang paling spektakuler. Pada menit ke-103, Pires melakukan aksi individu brilian di sisi kiri, melewati hadangannya dan melepaskan umpan silang. Di dalam kotak penalti, Trezeguet menyambut bola dengan tendangan setengah voli yang dahsyat, menghujam atap jala gawang Italia. Gol itu adalah sebuah mahakarya instan, sebuah momen kegeniusan teknis yang mengunci gelar juara bagi Prancis dan menjadikan mereka tim pertama yang menyandingkan trofi Piala Dunia dan Euro secara bersamaan.

    Bagi Italia, kekalahan itu adalah sebuah bencana nasional. Cara mereka kalah — kebobolan gol penyeimbang di detik-detik terakhir lalu takluk oleh Golden Goal — adalah pukulan ganda yang menghancurkan mental. Dampaknya meluas hingga ke luar lapangan. Silvio Berlusconi, pemilik AC Milan dan seorang politisi terkemuka, secara terbuka mengecam taktik pelatih Dino Zoff sebagai "tidak bermartabat" karena gagal menugaskan seorang pemain untuk menjaga Zinedine Zidane secara khusus. Merasa kehormatannya sebagai seorang pria diserang, Zoff, seorang legenda nasional, secara mengejutkan mengundurkan diri dari jabatannya. "Saya tidak menerima pelajaran tentang martabat dari Tuan Berlusconi," kata Zoff dalam konferensi pers. Momen Golden Goal ini bertindak sebagai katalis, sebuah titik nyala yang mengungkap dan memperkuat ketegangan yang ada dalam masyarakat Italia, mengaburkan batas antara olahraga, politik, dan kehormatan nasional.

  • ENJOYED THIS STORY?

    Add GOAL.com as a preferred source on Google to see more of our reporting

  • WC2002-KOR-ITA-AHN-JUBOAFP

    Kontroversi Global: Piala Dunia 2002 Dan 'Mimpi Buruk' Italia

    Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang menjadi babak paling kontroversial dalam saga Golden Goal. Turnamen ini sudah penuh dengan kejutan, di mana tim-tim seperti tuan rumah Korea Selatan dan Turki secara tak terduga melaju hingga ke semi-final. Aturan Golden Goal memainkan peran sentral, dengan tiga dari total empat gol emas dalam sejarah Piala Dunia pria dicetak di edisi ini. Namun, satu pertandingan di atas segalanya akan selamanya terukir dalam ingatan sebagai puncak kontroversi: laga babak 16 besar antara Korea Selatan dan Italia.

    Bagi Italia, pertandingan ini terasa seperti sebuah konspirasi. Jauh sebelum gol penentu tercipta, mereka sudah merasa dirugikan oleh serangkaian keputusan wasit asal Ekuador Byron Moreno. Beberapa gol mereka dianulir secara kontroversial, dan puncaknya adalah ketika ikon mereka, Francesco Totti, diusir keluar lapangan setelah menerima kartu kuning kedua karena dianggap melakukan diving. Media Italia kemudian menjuluki pertandingan itu sebagai "Mimpi Buruk Merah" dan mengklaim bahwa tim mereka "tidak diizinkan untuk menang". Sifat "sudden death" dari Golden Goal menjadi puncak dari semua rasa frustrasi dan ketidakadilan yang mereka rasakan, mengubahnya menjadi simbol permanen dari apa yang mereka yakini sebagai kecurangan.

    Pada menit ke-117, dengan adu penalti yang sudah di depan mata, momen bersejarah itu tiba. Penyerang Korea Selatan Ahn Jung-hwan — yang ironisnya bermain untuk klub Italia Perugia — melompat lebih tinggi dari bek legendaris Paolo Maldini dan menyundul bola ke gawang. Gol emas itu tidak hanya menyingkirkan Italia, tetapi juga mengirim tuan rumah ke perempat-final dalam sebuah euforia nasional. Gol tersebut dianggap sebagai salah satu momen paling ikonik dalam sejarah sepakbola Korea Selatan, sebuah bukti kemenangan David atas Goliath.

    Reaksi atas gol tersebut sangat ekstrem dan belum pernah terjadi sebelumnya. Sehari setelah pertandingan, pemilik Perugia yang temperamental, Luciano Gaucci, secara terbuka mengumumkan pemecatan Ahn dari klub. "Saya tidak punya niat untuk membayar gaji kepada seseorang yang telah menghancurkan sepakbola Italia," kata Gaucci, disertai dengan komentar bernada xenofobia. Meski Gaucci kemudian menarik kembali pernyataannya di bawah tekanan internasional, Ahn menolak untuk kembali. Insiden ini memicu sengketa hukum yang memerlukan intervensi FIFA dan secara efektif mengakhiri karier Ahn di liga top Eropa. Bertahun-tahun kemudian, Ahn merefleksikan momen itu: "Ketika saya melihat ke belakang, saya akan menukar seluruh karier saya untuk satu gol itu. Saya tidak punya penyesalan". Insiden ini menunjukkan bagaimana tingginya pertaruhan emosional dari sebuah Golden Goal bisa melampaui batas-batas olahraga, berdampak pada hukum kontrak, hubungan internasional, dan bahkan keselamatan pribadi.

    Tabel Golden Goal Di Turnamen Piala Dunia FIFA Pria

    NoPencetak GolWaktuTimSkorLawanTurnamenBabakTanggal
    1Laurent Blanc114'Prancis1–0ParaguayPiala Dunia 199816 Besar28 Juni 1998
    2Henri Camara104'Senegal2–1SwediaPiala Dunia 200216 Besar16 Juni 2002
    3Ahn Jung-hwan117'Korea Selatan2–1ItaliaPiala Dunia 200216 Besar18 Juni 2002
    4İlhan Mansız94'Turki1–0SenegalPiala Dunia 2002Perempat-Final22 Juni 2002
  • WC2002-KOR-ITA-DEJECTIONAFP

    Medan Perang Psikologis: Mengapa Aturan Menyerang Melahirkan Ketakutan?

    Paradoks sentral Golden Goal — sebuah aturan yang dirancang untuk menyerang tetapi menghasilkan pertahanan — berakar pada pemahaman yang salah tentang psikologi manusia di bawah tekanan. Secara teori, prospek kemenangan instan seharusnya mendorong tim untuk bermain lebih terbuka dan mencari gol. Namun, dalam praktiknya, para pemain dan pelatih justru "dicengkeram oleh faktor ketakutan". Kedua tim sering kali memilih untuk "menutup rapat pertahanan dan bermain ultra-defensif," karena terlalu takut terekspos oleh serangan balik yang bisa mengakhiri segalanya dalam sekejap.

    Masalah utamanya terletak pada prinsip psikologis yang dikenal sebagai "penghindaran kerugian" (loss aversion). Secara kognitif, rasa sakit karena kehilangan secara psikologis terasa sekitar dua kali lebih kuat daripada kesenangan mendapatkan keuntungan yang setara. Dalam konteks sepakbola, konsekuensi bencana yang tidak dapat diubah dari kebobolan Golden Goal (eliminasi instan) jauh lebih besar pengaruhnya daripada potensi kejayaan mencetaknya. Para pelatih, yang pada dasarnya adalah kelompok yang cenderung menghindari risiko, secara alami akan memilih opsi yang paling aman. Seperti yang dikatakan seorang pengamat, "FIFA melupakan aturan kardinal, yaitu 'jika ragu, selalu bermain lebih hati-hati'". Kegagalan aturan ini bukan pada logikanya, tetapi pada penerapannya pada manusia yang didorong oleh emosi.

    Aturan ini juga menempatkan tekanan yang luar biasa pada para ofisial pertandingan. Setiap keputusan kontroversial yang mengarah pada Golden Goal — baik itu panggilan offside yang salah, penalti yang meragukan, atau kartu merah yang tidak adil — menjadi final dan tidak dapat diperbaiki oleh alur permainan selanjutnya. Hal ini meningkatkan pengawasan dan membuat satu kesalahan wasit berpotensi menentukan nasib sebuah tim di turnamen, seperti yang diklaim Italia pada 2002. Tekanan ini membuat wasit cenderung lebih berhati-hati, yang secara tidak langsung juga dapat memperlambat tempo permainan.

    Bagi para pemain, periode Golden Goal menciptakan lingkungan psikologis yang unik dan sangat intens. Ini bukan lagi sekadar pertandingan sepakbola; ini adalah berjalan di atas tali di mana satu kesalahan berarti jatuh ke jurang. Ini sangat berbeda dari babak perpanjangan waktu normal di mana tim yang kebobolan masih memiliki waktu untuk bangkit dan membalas. Tekanan konstan dengan pertaruhan setinggi ini sangat menguras mental dan menghambat pengambilan risiko kreatif yang diperlukan untuk sepakbola menyerang. Istilah "sudden death" dalam olahraga terbukti memiliki dampak kognitif dan emosional yang mendalam, termasuk syok dan trauma, yang secara tidak sengaja dimasukkan oleh aturan ini ke dalam mekanisme permainan. Golden Goal mengubah babak perpanjangan waktu dari pertarungan fisik menjadi pertarungan psikologis.

  • Euro 2004: Greece v Czech RepublicGetty Images Sport

    Sang Penerus Nan Canggung: Kehidupan Singkat 'Silver Goal' Yang Tak Dicintai

    Pada 2003, menjadi jelas bahwa eksperimen Golden Goal telah gagal mencapai tujuannya dan secara luas tidak disukai. Sebagai respons, UEFA mencoba mencari jalan tengah dengan memperkenalkan penggantinya: Silver Goal atau "Gol Perak". Tujuannya adalah untuk "mendorong permainan positif" dan memberikan "akhir yang masuk akal dan lebih adil" dengan memberi tim yang kebobolan kesempatan untuk pulih. Alih-alih mengatasi masalah psikologis (ketakutan), UEFA mencoba memperbaiki mekanismenya, sebuah pendekatan yang terbukti hanya menambah kebingungan.

    Mekanisme Silver Goal lebih rumit. Aturan ini menyatakan bahwa jika sebuah tim unggul pada akhir periode pertama perpanjangan waktu (15 menit), pertandingan akan berakhir di sana. Namun, jika skor masih imbang, maka periode kedua perpanjangan waktu (15 menit) akan dimainkan secara penuh. Tujuannya adalah untuk mengurangi kengerian "sudden death" sambil tetap menciptakan periode yang menentukan. Namun, aturan baru ini justru menciptakan serangkaian kondisi baru yang sewenang-wenang dan membingungkan, di mana nilai sebuah gol bergantung sepenuhnya pada kapan gol itu dicetak dalam periode 15 menit tersebut.

    Aturan Silver Goal hanya pernah menentukan satu pertandingan di turnamen internasional besar, tetapi momen itu sangat krusial: semi-final Euro 2004 antara Yunani dan Republik Ceko. Di detik-detik terakhir periode pertama perpanjangan waktu (menit ke-105), bek Yunani Traianos Dellas mencetak gol melalui sundulan. Wasit Pierluigi Collina segera meniup peluit akhir untuk menandai berakhirnya periode pertama, dan dengan demikian, mengakhiri pertandingan. Tim Ceko bahkan tidak diberi kesempatan untuk memulai kembali permainan. Ironisnya, momen paling ikonik dari aturan ini justru mendemonstrasikan kelemahan fundamentalnya: sebuah aturan yang dirancang untuk mencegah "sudden death" justru memberikan hasil yang sama persis.

    Silver Goal secara luas dianggap lebih buruk daripada pendahulunya. Aturan ini "sangat dibenci" dan hanya mendorong tim untuk bermain lebih hati-hati lagi. Gol Dellas menyoroti masalah utamanya: gol pada menit ke-91 diperlakukan sama dengan gol pada menit ke-105, tetapi yang terakhir tidak memberikan kesempatan untuk bangkit, sehingga secara fungsional sama dengan Golden Goal. Nasibnya sudah ditentukan bahkan sebelum turnamen dimulai; International Football Association Board (IFAB) telah memutuskan untuk menghapus aturan tersebut pada awal 2004, menjadikannya sebuah catatan kaki yang singkat dan gagal dalam sejarah sepakbola.

  • FBL-WC2006-MATCH47-KSA-ESPAFP

    Peluit Akhir: Penghapusan Dan Warisan Yang Rumit

    Era eksperimen dengan penentuan hasil pertandingan secara tiba-tiba berakhir pada Februari 2004. International Football Association Board (IFAB), badan pembuat aturan sepakbola, mengumumkan bahwa setelah Euro 2004, baik aturan Golden Goal maupun Silver Goal akan dihapus dari Laws of the Game. Sejak Piala Dunia 2006 di Jerman, sepakbola telah kembali ke format tradisional: dua babak perpanjangan waktu penuh selama 15 menit, diikuti oleh adu penalti jika skor masih imbang. Keputusan ini menandai kemenangan pragmatisme dan tradisi atas eksperimen radikal.

    Secara konsensus, eksperimen ini dianggap gagal. Aturan tersebut tidak berhasil menghasilkan lebih banyak permainan menyerang seperti yang diharapkan; sebaliknya, ia memicu permainan hati-hati dan taktik defensif yang didorong oleh ketakutan. Aturan ini juga gagal mengurangi jumlah adu penalti secara signifikan. Selama turnamen di mana aturan ini berlaku, masih banyak pertandingan yang harus ditentukan melalui adu penalti, termasuk beberapa yang paling ikonik dalam sejarah. Secara taktis, Golden Goal adalah sebuah kegagalan.

    Namun, terlepas dari semua kekurangannya, warisan abadi dari aturan ini adalah kemampuannya untuk menciptakan momen-momen drama dengan intensitas yang tak tertandingi. Format "gol berikutnya menang", yang mengingatkan pada permainan sepakbola masa kecil, menghasilkan momen kemenangan dan kekalahan yang definitif dan instan. Gambaran tendangan voli Trezeguet, sundulan Ahn, selebrasi Bierhoff, dan keputusasaan lawan-lawan mereka terpatri dalam sejarah sepakbola justru karena finalitas brutal dari aturan tersebut. Warisan sejati dari Golden Goal bukanlah taktis, melainkan emosional.

    Pada akhirnya, era Golden Goal dikenang sebagai periode yang aneh, kontroversial, tetapi tidak dapat disangkal mendebarkan. Aturan ini lahir dari niat baik — untuk membuat sepakbola lebih menghibur — namun menjadi bumerang secara taktis. Namun, dengan melakukan itu, ia menciptakan sebuah wadah tekanan psikologis unik yang menghasilkan beberapa momen paling kuat secara emosional dalam permainan modern. Warisannya bukanlah tentang keindahan sepakbola, melainkan tentang drama manusia yang mentah, tanpa filter, dan tak terlupakan — keajaiban instan dan patah hati instan yang terjadi dalam sekejap mata.

0