Dalam sejarah panjang sepakbola, ada kisah-kisah yang begitu luar biasa hingga terdengar seperti fiksi. Cerita tentang pemain yang menunjukkan loyalitas, stamina, dan dedikasi di luar batas kewajaran. Salah satu kisah yang paling ikonik dan mungkin tidak akan pernah bisa terulang lagi adalah petualangan luar biasa Mark Hughes pada 11 November 1987, sebuah hari di mana ia mengenakan dua seragam berbeda untuk dua tim di dua negara yang berbeda.
Hari itu dimulai dengan tugas negara yang krusial. Hughes memimpin lini depan Wales dalam pertandingan kualifikasi Euro 1988 melawan Cekoslowakia di Praha. Setelah berjuang selama 90 menit penuh dalam pertandingan yang penuh pertaruhan, takdirnya tidak berhenti di sana. Jauh di Jerman, klubnya, Bayern Munich, juga memiliki pertandingan penting, dan manajer umum mereka yang cerdik, Uli Hoeness, punya rencana yang sangat ambisius.
Rencana tersebut melibatkan jet pribadi, perjalanan berkecepatan tinggi melintasi perbatasan, dan seorang pemain yang kelelahan namun tetap dipanggil untuk tugas kedua kalinya dalam beberapa jam. Kisah ini bukan hanya tentang stamina seorang atlet elite, tetapi juga potret sempurna dari era sepakbola yang sangat berbeda — sebuah masa sebelum kalender internasional FIFA yang terkoordinasi secara ketat dan sebelum kesejahteraan pemain menjadi pusat perhatian seperti sekarang.
Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa yang mendorong Hoeness untuk melakukan manuver logistik yang begitu rumit, dan bagaimana perasaan Hughes sendiri saat menjalani hari paling melelahkan dalam kariernya? Kisah ini melibatkan kekecewaan bersama tim nasional, kemenangan dramatis di level klub, dan tekad baja yang mendefinisikan seorang legenda. GOAL coba menjelaskannya di sini!




