FBL-HONDURAS-EL SALVADOR-FOOTBALL WARAFP

FAKTA BOLA - Kisah Konflik 100 Jam El Salvador Vs Honduras Akibat Kualifikasi Piala Dunia 1970 Yang Berubah Menjadi Pertumpahan Darah

Pada Juli 1969, dua negara Amerika Tengah, El Salvador dan Honduras, terlibat dalam konflik militer singkat namun brutal yang akan selamanya terukir dalam sejarah. Pertikaian ini dikenal dengan nama yang dramatis: "Perang Sepakbola" atau "Perang 100 Jam". Nama tersebut melekat karena perang ini meletus persis setelah serangkaian pertandingan kualifikasi Piala Dunia FIFA 1970 yang penuh ketegangan antara tim nasional kedua negara, di mana sepakbola yang seharusnya menjadi ajang sportivitas justru menjadi panggung luapan kebencian nasionalis.

Namun, menyederhanakan konflik ini sebagai perang yang disebabkan oleh sebuah pertandingan sepakbola adalah sebuah kekeliruan besar. Meski laga-laga tersebut menjadi percikan yang menyulut api, para sejarawan sepakat bahwa "penyebab sebenarnya dari perang ini jauh lebih dalam". Akar masalahnya tertanam selama puluhan tahun dalam isu-isu yang kompleks, termasuk sengketa tanah, ketidakseimbangan demografis, migrasi massal, dan disparitas ekonomi yang menciptakan bom waktu sosial antara kedua negara bertetangga.

Panggung konflik telah disiapkan jauh sebelum peluit pertama dibunyikan. Pada 1969, Honduras berada di bawah kekuasaan junta militer yang tidak populer dan menghadapi krisis ekonomi yang parah, sementara El Salvador yang padat penduduk berjuang dengan ketidaksetaraan sosial yang ekstrem. Dalam situasi yang rapuh ini, pemerintah kedua negara menemukan bahwa mengobarkan api nasionalisme adalah cara mudah untuk mengalihkan perhatian dari masalah internal. Pertandingan kualifikasi Piala Dunia menjadi wadah yang sempurna untuk menyalurkan sentimen tersebut, di mana media massa berperan sebagai corong propaganda yang mengubah lapangan hijau menjadi medan pertempuran simbolis.

Kisah Perang Sepakbola adalah sebuah pelajaran tragis tentang bagaimana permainan yang paling dicintai di dunia dapat dibajak untuk tujuan politik yang kelam. Ini adalah cerita tentang bagaimana ketegangan sosial, manipulasi politik, dan kebencian yang dipupuk selama bertahun-tahun dapat meledak menjadi kekerasan bersenjata hanya dalam hitungan hari, meninggalkan ribuan korban dan luka yang membekas selama beberapa dekade. Ini adalah kisah yang jauh melampaui 90 menit di lapangan. GOAL coba menjelaskannya di sini!

  • Akar Masalah: Tanah, Migrasi, Dan Ketegangan Sosial

    Ketegangan yang meledak menjadi Perang Sepakbola pada 1969 berakar pada ketidakseimbangan fundamental antara El Salvador dan Honduras. El Salvador adalah negara terkecil di Amerika Tengah, namun memiliki populasi yang jauh lebih padat. Pada 1969, dengan luas wilayah kurang dari seperlima Honduras, populasi El Salvador mencapai 3,7 juta jiwa, sementara Honduras hanya 2,6 juta. Lebih parahnya lagi, El Salvador menderita ketidaksetaraan kepemilikan tanah yang ekstrem. Sebagian besar lahan subur dikuasai oleh segelintir elite yang dikenal sebagai "14 Keluarga" (Las Catorce Familias), membuat mayoritas petani hidup tanpa tanah dan kesempatan ekonomi. Kondisi ini menciptakan tekanan demografis yang luar biasa dan mendorong gelombang emigrasi besar-besaran.

    Sejak awal abad ke-20, ratusan ribu warga Salvador mulai bermigrasi ke Honduras yang lebih luas dan jarang penduduknya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Pada 1969, diperkirakan sekitar 300.000 imigran Salvador tinggal di Honduras, membentuk hampir 20 persen dari total populasi petani di negara itu. Sebagian besar dari mereka bekerja di perkebunan pisang milik perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, sementara yang lain menjadi petani kecil, menggarap lahan-lahan kosong yang dianggap sebagai tanah publik oleh pemerintah Honduras. Selama bertahun-tahun, kehadiran mereka memberikan tenaga kerja yang murah dan terampil, yang secara makro ekonomi menguntungkan Honduras.

    Namun, situasi mulai berubah ketika Honduras menerapkan Undang-Undang Reformasi Agraria pada 1962 dan 1967. Awalnya, kebijakan ini merupakan bagian dari program "Aliansi untuk Kemajuan" (Alliance for Progress) yang didukung AS, sebuah inisiatif era Perang Dingin yang bertujuan untuk meredam ketidakpuasan petani dan mencegah penyebaran komunisme dengan cara mendistribusikan kembali tanah. Namun, seiring memburuknya kondisi ekonomi dan meningkatnya kerusuhan politik di Honduras, rezim militer yang berkuasa mulai memanipulasi kebijakan ini. Pada April 1969, pemerintah Honduras mengumumkan akan mengusir siapa saja yang memperoleh properti tanpa memenuhi persyaratan hukum — sebuah tindakan yang secara eksplisit menargetkan para pemukim Salvador yang sebagian besar tidak memiliki dokumen resmi.

    Kebijakan ini menjadi pembenaran hukum untuk sentimen anti-imigran yang telah lama membara. Petani Honduras, yang juga berjuang untuk mendapatkan tanah, mulai memandang para imigran Salvador yang relatif lebih sukses sebagai pesaing ekonomi yang merebut pekerjaan dan lahan mereka. Kebencian ini secara aktif dipupuk oleh para politisi dan tuan tanah lokal yang melihat para imigran sebagai kambing hitam yang sempurna atas masalah ekonomi negara. Akibatnya, kekerasan terhadap warga Salvador meningkat drastis. Bahkan sebelum pertandingan sepakbola pertama dimulai, puluhan ribu warga Salvador telah diusir secara brutal, dipaksa kembali ke negara asal mereka yang sudah penuh sesak, dengan membawa cerita-cerita horor yang menyulut kemarahan di El Salvador.

  • Iklan
  • Politik Pengalihan Isu Dan Nasionalisme Yang Membara

    Di balik ketegangan agraria dan sosial, terdapat kalkulasi politik yang dingin dari para pemimpin kedua negara. Di Honduras, presiden jenderal Oswaldo López Arellano, yang merebut kekuasaan melalui kudeta berdarah pada 1963, menghadapi krisis legitimasi yang parah. Pada 1969, pemerintahannya berada di ambang kehancuran akibat ekonomi yang terpuruk, pemogokan buruh, dan protes mahasiswa yang meluas. Rezim Arellano sangat membutuhkan cara untuk mengalihkan kemarahan publik dari kegagalan pemerintahannya sendiri dan menyatukan negara yang terpecah belah.

    Solusi yang dipilih adalah dengan mengkambinghitamkan populasi imigran Salvador. Secara sistematis, pemerintah dan media yang dikendalikannya mulai menyalahkan 300.000 imigran Salvador atas semua masalah Honduras, mulai dari pengangguran hingga tingkat upah yang rendah. Didukung oleh kelompok tuan tanah yang kuat seperti Federasi Nasional Petani dan Peternak Honduras (FENAGH), rezim melancarkan kampanye publik yang menuduh para imigran sebagai "penjajah" ilegal yang mengancam kedaulatan nasional. Dengan memanipulasi Undang-Undang Reformasi Agraria menjadi senjata pengusiran massal, López Arellano berhasil mengubah krisis internal menjadi konflik eksternal, sebuah strategi klasik untuk mempertahankan kekuasaan.

    Di seberang perbatasan, pemerintah El Salvador di bawah presiden Fidel Sánchez Hernández menghadapi dilema yang tak kalah pelik. Di satu sisi, mereka dibanjiri oleh puluhan ribu pengungsi yang kembali dalam kondisi mengenaskan, banyak di antaranya menjadi korban kekerasan. Hal ini memicu kemarahan publik yang luar biasa dan tekanan dari kalangan militer untuk mengambil tindakan tegas demi membela kehormatan nasional. Ini adalah tekanan populis dari bawah yang menuntut pembalasan. Di sisi lain, elite penguasa El Salvador — "14 Keluarga" — justru merasa terancam oleh kedatangan kembali 300.000 petani miskin dan tak bertanah. Arus pengungsi ini berpotensi mengguncang tatanan sosial-ekonomi yang sangat timpang di El Salvador dan memicu tuntutan reformasi tanah internal, sesuatu yang sangat ditakuti oleh para elite.

    Dalam situasi ini, perang menawarkan solusi brutal bagi kedua tekanan tersebut. Bagi El Salvador, melancarkan invasi akan memuaskan dahaga publik akan balas dendam sekaligus memproyeksikan "masalah petani" ke luar negeri, mengalihkannya dari isu reformasi tanah domestik menjadi konflik melawan musuh eksternal. Kedua pemerintah kini terjebak dalam retorika nasionalis yang mereka ciptakan sendiri. Di Honduras, sentimen anti-Salvador sudah begitu panas sehingga kompromi menjadi mustahil. Di El Salvador, tekanan dari publik dan militer membuat pemerintah tidak punya pilihan selain mengambil sikap keras. Panggung politik telah siap untuk perang; bagi kedua pemimpin, konflik tampak lebih menguntungkan secara politik daripada perdamaian.

  • FBL-EL SALVADOR-HONDURAS-FOOTBALL WARAFP

    Percikan Api Di Lapangan Hijau: Tiga Laga Kualifikasi Piala Dunia

    Di tengah atmosfer politik yang sudah sangat panas, serangkaian pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1970 antara El Salvador dan Honduras menjadi katalisator yang meledakkan konflik. Pertandingan ini bukan lagi sekadar olahraga, melainkan perpanjangan dari pertarungan nasionalis. Laga pertama digelar di Tegucigalpa, ibu kota Honduras, pada 8 Juni 1969. Malam sebelumnya, tim nasional El Salvador tidak bisa tidur karena hotel mereka dikepung oleh para pendukung tuan rumah yang membuat keributan dengan musik keras dan teror psikologis lainnya. Dalam pertandingan yang sengit, Honduras berhasil mencetak gol kemenangan 1-0 di menit-menit terakhir. Kemenangan ini disambut dengan kerusuhan, dan media Salvador menggambarkannya sebagai penghinaan nasional yang tak tertahankan.

    Seminggu kemudian, pada 15 Juni, giliran El Salvador menjadi tuan rumah di San Salvador. Aksi balas dendam pun terjadi dengan skala yang lebih besar. Tim Honduras mengalami teror sepanjang malam di hotel mereka, di mana jendela-jendela dilempari batu dan telur busuk. Sebelum pertandingan dimulai, suasana semakin memanas ketika bendera Honduras dibakar di hadapan penonton dan diganti dengan kain lap kotor. Menghadapi lawan yang terguncang dan ketakutan, El Salvador dengan mudah memenangkan pertandingan dengan skor telak 3-0. Kekalahan ini memicu gelombang kerusuhan anti-Salvador yang meluas di seluruh Honduras, mengakibatkan beberapa kematian dan mempercepat pengusiran massal imigran Salvador.

    Karena aturan agregat gol belum berlaku, pertandingan penentuan (play-off) harus diadakan di tempat netral. Laga ketiga ini diselenggarakan di Mexico City pada 26 Juni 1969. Ketegangan mencapai puncaknya. Pada hari yang sama dengan pertandingan, pemerintah El Salvador secara resmi memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Honduras, dengan alasan kegagalan pemerintah Honduras melindungi warga Salvador dari kekerasan yang mereka sebut sebagai "genosida". Dalam pertandingan yang dramatis, El Salvador akhirnya menang dengan skor 3-2 setelah perpanjangan waktu, memastikan satu tempat di Piala Dunia 1970.

    Kemenangan di lapangan hijau ini menjadi momen terakhir dari ilusi sportivitas. Pertandingan-pertandingan tersebut telah berubah menjadi arena pertempuran proksi, di mana setiap gol dan setiap pelanggaran dibebani dengan makna politik dan kehormatan nasional. Dengan putusnya hubungan diplomatik, kedua negara segera memulai mobilisasi militer penuh. Percikan api dari lapangan sepakbola telah menyulut sumbu perang yang sebenarnya.

    TanggalLokasiSkor AkhirInsiden Kekerasan & Politik Penting
    8 Juni 1969Tegucigalpa, HondurasHonduras 1-0 El SalvadorTim Salvador diteror di hotel; kerusuhan pasca-pertandingan; media Salvador mengangkat kisah bunuh diri Amelia Bolanios sebagai martir nasional.
    15 Juni 1969San Salvador, El SalvadorEl Salvador 3-0 HondurasTim Honduras diteror, bendera mereka dibakar & dihina; beberapa kematian dilaporkan; kerusuhan anti-Salvador meluas di Honduras.
    26 Juni 1969Mexico City, MeksikoEl Salvador 3-2 Honduras (AET)Pada hari yang sama, El Salvador memutuskan hubungan diplomatik dengan Honduras, menuduh Honduras melakukan genosida.
  • ENJOYED THIS STORY?

    Add GOAL.com as a preferred source on Google to see more of our reporting

  • Peran Media: Dari Hinaan Di Koran Hingga Tuduhan Genosida

    Jika pertandingan sepakbola adalah percikan apinya, maka media massa di kedua negara adalah bensin yang menyiramkannya. Jauh dari objektivitas, pers dan radio di El Salvador dan Honduras berubah menjadi mesin propaganda negara yang kuat, melancarkan apa yang disebut sebagai "perang di udara" (war of the airwaves). Mereka secara aktif menggunakan jurnalisme sensasional, desas-desus, dan bahasa yang menghasut untuk meracuni opini publik dan memanaskan kebencian antara kedua bangsa. Peran mereka bukan lagi melaporkan, melainkan memprovokasi.

    Di Honduras, kampanye media anti-Salvador berlangsung ganas dan tanpa henti. Poster-poster dan grafiti yang disebarkan oleh kelompok nasionalis berisi pesan-pesan mengerikan seperti, "Orang Honduras, ambil tongkat dan bunuh seorang Salvador," serta melabeli imigran Salvador sebagai "pencuri, pemabuk, dan penjahat". Media Honduras juga menyebarkan berita bohong yang sangat provokatif, seperti klaim tak berdasar bahwa para pendukung Salvador telah memperkosa wanita-wanita Honduras saat pertandingan kedua di San Salvador. Tuduhan palsu ini kemudian dikutip oleh pejabat pemerintah Honduras sebagai pembenaran atas aksi kekerasan balasan terhadap warga Salvador.

    El Salvador membalas dengan propaganda yang tidak kalah sengitnya. Pers Salvador mengubah tragedi bunuh diri seorang gadis berusia 18 tahun, Amelia Bolanios, setelah kekalahan di laga pertama menjadi sebuah kisah kepahlawanan nasional. Pemakamannya disiarkan secara langsung di televisi dengan upacara kenegaraan, menjadikannya seorang martir yang "tidak tahan melihat tanah airnya dipermalukan". Media Salvador juga secara terang-terangan merendahkan tim Honduras, salah satunya dengan menerbitkan foto tim Honduras di bandara dengan gambar "tulang di hidung" untuk membuat mereka terlihat seperti kanibal. Namun, alat propaganda paling kuat yang digunakan El Salvador adalah tuduhan "genosida". Pemerintah secara resmi menuduh Honduras melakukan pemusnahan sistematis terhadap warganya dan membawa tuduhan ini ke panggung internasional di Organization of American States (OAS).

    Tuduhan "genosida" ini lebih dari sekadar ungkapan kemarahan; itu adalah sebuah casus belli (alasan perang) yang diperhitungkan secara cermat. Dengan menuduh Honduras melakukan kejahatan paling keji menurut hukum internasional, El Salvador berhasil mengubah narasi. Invasi militer yang mereka rencanakan bukan lagi sebuah tindakan agresi, melainkan sebuah misi penyelamatan yang sah, sebuah "Perang Pembelaan yang Sah" (Guerra de Legítima Defensa). Propaganda ini berhasil menciptakan dehumanisasi terhadap pihak lawan, membenarkan kekerasan di mata publik masing-masing, dan pada akhirnya, memberikan restu moral bagi kedua pemerintah untuk membawa rakyat mereka ke medan perang. Media tidak hanya melaporkan jalan menuju perang; mereka membangunnya.

  • HONDURAS-EL SALVADOR-100 HOUR WARAFP

    Perang 100 Jam: Invasi Darat Dan Duel Udara Pesawat Antik

    Pada 14 Juli 1969, sekitar pukul 6 sore, perang yang sesungguhnya dimulai. Angkatan Udara El Salvador (FAS) melancarkan serangan kejutan terhadap beberapa lapangan terbang di Honduras, termasuk pangkalan udara utama Toncontín di dekat ibu kota. Uniknya, serangan ini melibatkan pesawat angkut sipil C-47 yang dimodifikasi secara darurat menjadi pengebom, didampingi oleh pesawat tempur era Perang Dunia II seperti P-51 Mustang. Segera setelah serangan udara, Angkatan Darat El Salvador yang lebih besar dan lebih lengkap persenjataannya — berkekuatan sekitar 8.000 prajurit — melancarkan invasi darat dari dua arah. Mereka didukung oleh tank ringan M3 Stuart, juga peninggalan Perang Dunia II.

    Pada awalnya, invasi El Salvador berjalan mulus. Pasukan darat mereka dengan cepat mengungguli Angkatan Darat Honduras yang lebih kecil (hanya sekitar 2.500 prajurit) dan kurang persiapan. Pasukan Salvador maju di sepanjang Jalan Raya Pan-Amerika dan front lainnya yang menargetkan Lembah Sula yang subur. Puncak keberhasilan mereka terjadi pada 16 Juli, ketika mereka berhasil merebut kota perbatasan penting, Nueva Ocotepeque, setelah pertempuran sengit. Kemenangan ini membuat El Salvador tampak berada di jalur kemenangan yang cepat dan meyakinkan.

    Namun, situasi di udara berkata lain. Meski lemah di darat, Angkatan Udara Honduras (FAH) justru lebih unggul. Dengan jumlah pesawat tempur yang lebih banyak (sekitar 23 berbanding 11 milik FAS) dan strategi pertahanan yang memang bertumpu pada kekuatan udara, FAH melancarkan serangan balasan yang menghancurkan pada 15 Juli. Pesawat tempur F4U Corsair milik mereka berhasil mengebom pangkalan udara utama El Salvador di Ilopango. Lebih penting lagi, mereka menghantam fasilitas penyimpanan minyak utama El Salvador di pelabuhan Acajutla dan Cutuco, yang dilaporkan menghanguskan hingga 20 persen cadangan bahan bakar strategis negara itu.

    Serangan terhadap pasokan bahan bakar ini terbukti menjadi titik balik perang. Tanpa bahan bakar, mesin perang El Salvador lumpuh. Puncaknya terjadi pada 17 Juli, dalam sebuah pertempuran udara yang kemudian dikenang sebagai duel terakhir dalam sejarah antara pesawat tempur bermesin piston. Pilot andalan Honduras, Mayor Fernando Soto Henríquez, yang menerbangkan F4U Corsair, berhasil menembak jatuh beberapa pesawat FAS, termasuk P-51 Mustang dan FG-1D Corsair, dan secara efektif mengamankan supremasi udara bagi Honduras. Kehabisan bahan bakar dan amunisi akibat serangan udara FAH yang sukses terhadap jalur pasokan mereka, gerak maju pasukan darat El Salvador terhenti total. Perang telah mencapai jalan buntu.

  • Intervensi Internasional Dan Gencatan Senjata Yang Rapuh

    Begitu pertempuran pecah pada 14 Juli, komunitas internasional, yang dipimpin oleh Organization of American States (OAS), segera bergerak untuk menghentikan pertumpahan darah. Amerika Serikat, meskipun secara resmi menganggapnya sebagai masalah regional yang harus diselesaikan oleh negara-negara Amerika Tengah sendiri, memberikan dukungan penuh pada upaya mediasi OAS. Pada 15 Juli, hanya sehari setelah invasi, Dewan OAS mengeluarkan resolusi yang menuntut penghentian segera permusuhan dan penarikan pasukan ke posisi sebelum perang.

    Pada awalnya, El Salvador, yang merasa berada di atas angin, mengabaikan seruan OAS dan terus melanjutkan serangannya. Namun, ketika serangan mereka terhenti akibat krisis bahan bakar dan amunisi, dan tekanan diplomatik internasional semakin kuat, mereka akhirnya melunak. Gencatan senjata secara resmi dinegosiasikan pada malam 18 Juli dan mulai berlaku efektif pada 20 Juli, mengakhiri pertempuran yang berlangsung selama kurang lebih 100 jam.

    Akan tetapi, gencatan senjata tidak serta-merta menyelesaikan krisis. Resolusi OAS juga menuntut agar semua pasukan ditarik mundur dari wilayah pendudukan dalam waktu 96 jam. Honduras segera mematuhi resolusi tersebut, tetapi El Salvador menolak. Pemerintah Salvador berargumen bahwa mereka tidak akan menarik pasukannya dari wilayah Honduras yang telah direbut, seperti Nueva Ocotepeque, sampai mereka mendapatkan "jaminan yang memuaskan dan efektif" atas keselamatan warga Salvador yang masih berada di Honduras. Penolakan ini bukanlah sekadar sikap keras kepala, melainkan sebuah pertaruhan diplomatik. Setelah gagal mencapai kemenangan militer, El Salvador mencoba menggunakan posisi pasukannya di wilayah musuh sebagai satu-satunya alat tawar yang tersisa untuk memaksa komunitas internasional menangani keluhan utama mereka. Mereka bahkan berharap intervensi pasukan penjaga perdamaian internasional, yang akan melegitimasi kehadiran mereka dan memberikan pembenaran untuk penarikan mundur.

    Pertaruhan diplomatik ini menciptakan kebuntuan yang tegang selama hampir dua minggu, diwarnai dengan demonstrasi anti-OAS dan anti-AS di San Salvador. Namun, pada akhirnya, El Salvador tidak dapat menahan tekanan. Menghadapi ancaman sanksi ekonomi yang melumpuhkan dari OAS, pemerintah Salvador tidak punya pilihan lain selain menyerah. Pada 29 Juli, menteri luar negeri El Salvador mengumumkan bahwa negaranya akan menarik pasukannya. Proses penarikan selesai pada awal Agustus, mengembalikan perbatasan ke status quo ante bellum — situasi sebelum perang. Pertempuran bersenjata telah berakhir, tetapi akar masalah dan rasa permusuhan yang dalam tetap ada.

  • Dampak Jangka Panjang: Ribuan Korban, Ekonomi Hancur, Dan Perjanjian Damai

    Meski hanya berlangsung selama empat hari, Perang 100 Jam meninggalkan luka yang dalam dan konsekuensi jangka panjang yang menghancurkan bagi kedua negara. Korban jiwa diperkirakan mencapai antara 2.000 dan 6.000 orang, dengan mayoritas adalah warga sipil yang tidak bersalah. Selain itu, sekitar 12.000 orang terluka. Perang ini juga memicu krisis pengungsi yang masif. Antara 60.000 dan 130.000 warga Salvador diusir secara paksa atau melarikan diri dari Honduras, kembali ke negara asal mereka yang sudah padat dan tidak siap menampung. Eksodus massal ini menciptakan tekanan sosial yang luar biasa di El Salvador.

    Dari segi ekonomi, perang ini adalah sebuah bencana bagi kedua negara yang sudah tergolong miskin. Penutupan perbatasan dan pemutusan hubungan diplomatik secara efektif menghancurkan Pasar Bersama Amerika Tengah (CACM), sebuah blok perdagangan regional yang penting. Perdagangan antara kedua negara terhenti total, menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Perekonomian Honduras terpukul oleh hilangnya tenaga kerja Salvador yang signifikan di sektor pertanian, sementara El Salvador harus menanggung biaya perang yang mahal ditambah dengan beban ekonomi untuk mengurus puluhan ribu pengungsi.

    Secara politik, dampak perang di El Salvador sangat merusak. Konflik ini justru memperkuat posisi dan kekuasaan militer dalam pemerintahan, yang berujung pada meningkatnya korupsi dan belanja senjata. Kegagalan pemerintah untuk mengatasi masalah sosial yang diperburuk oleh kembalinya para pengungsi memicu ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat. Ketegangan sosial yang meningkat dan represi pemerintah yang semakin brutal selama dekade 1970-an menciptakan kondisi yang pada akhirnya meledak menjadi Perang Saudara El Salvador yang brutal dan berkepanjangan dari 1979 hingga 1992.

    Jalan menuju perdamaian sejati antara El Salvador dan Honduras memakan waktu lebih dari satu dekade. Meski pertempuran berhenti pada Juli 1969, status perang secara resmi baru berakhir pada 30 Oktober 1980, ketika kedua negara menandatangani Perjanjian Damai Umum di Lima, Peru, yang dimediasi oleh OAS. Perjanjian ini memulihkan hubungan diplomatik dan menciptakan kerangka kerja untuk menyelesaikan sengketa perbatasan mereka yang telah berlangsung lama. Sengketa tersebut akhirnya diselesaikan secara definitif oleh Mahkamah Internasional pada 1992. "Perang Sepakbola" mungkin hanya berlangsung 100 jam, tetapi dampaknya terasa selama beberapa generasi, menjadi pengingat yang kelam tentang bagaimana nasionalisme yang buta dapat mengubah olahraga menjadi tragedi.

0