One Piece IndonesiaGOAL Indonesia

Digemari Banyak Pesepakbola, Kenapa Bendera One Piece Jadi Polemik Jelang HUT RI?

Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, sebuah fenomena tak terduga mengemuka, mengusik lanskap visual yang biasanya didominasi oleh warna Merah Putih. Di berbagai sudut negeri, dari atap rumah hingga kaca belakang truk, berkibar sebuah simbol yang familier bagi jutaan orang di seluruh dunia: bendera hitam bergambar tengkorak bertopi jerami dari serial anime populer, One Piece. Kemunculannya secara masif di ruang publik memantik perdebatan sengit, mempertemukan budaya pop global, ekspresi politik lokal, dan nasionalisme dalam sebuah pusaran kontroversi yang kompleks.

Simbol ini, yang dikenal sebagai Jolly Roger kru Bajak Laut Topi Jerami, sejatinya bukanlah barang baru di panggung global. Jauh sebelum menjadi viral di Indonesia, bendera ini telah mendapatkan legitimasi kultural dari arena yang paling banyak ditonton di dunia: lapangan hijau. Sejumlah pesepakbola papan atas, dari Kylian Mbappe hingga Geoffrey Kondogbia, secara terbuka menunjukkan kecintaan mereka pada One Piece, sering kali melalui selebrasi gol yang meniru pose-pose ikonik dari serial tersebut. Popularitas di kalangan bintang sepakbola ini secara efektif mengangkat status simbol tersebut dari sekadar ikon subkultur menjadi bagian dari budaya arus utama yang lebih luas dan mudah diterima.

Namun, di Indonesia, makna simbol ini mengalami pergeseran dramatis. Dari yang semula identik dengan hiburan dan selebrasi olahraga, bendera Topi Jerami diadopsi sebagai medium untuk menyuarakan kritik dan kekecewaan mendalam terhadap kondisi sosial-politik negara. Aksi ini membelah opini publik. Di satu sisi, sebagian pejabat dan aparat keamanan memandangnya sebagai ancaman terhadap persatuan, bahkan potensi makar yang harus ditindak. Di sisi lain, para pakar, aktivis, hingga politisi lainnya melihatnya sebagai bentuk kreativitas dan kebebasan berekspresi yang sah dalam sebuah negara demokrasi.

Polemik ini, pada intinya, jauh lebih dalam dari sekadar perdebatan tentang selembar bendera. Ia menjadi cerminan bagaimana sebuah simbol yang dinormalisasi oleh dunia olahraga dapat dipinjam dan diartikulasikan ulang untuk tujuan politik oleh masyarakat. Fenomena ini memaksa kita untuk bertanya: bagaimana sebuah lambang dari anime, yang digemari para pahlawan lapangan hijau, bisa bertransformasi menjadi simbol perlawanan yang memicu respons keras dari negara? GOAL coba menjelaskannya di sini!

  • FC Barcelona v Real Madrid CF - La Liga EA SportsGetty Images Sport

    Legitimasi Global Lewat Lapangan Hijau

    Jauh sebelum menjadi simbol protes di jalanan Indonesia, bendera One Piece telah lebih dulu berkibar di panggung termegah olahraga dunia. Popularitas global anime karya Eiichiro Oda ini meroket salah satunya berkat "endorsement" tidak langsung dari para bintang sepakbola. Pemain-pemain kelas dunia seperti Kylian Mbappe, Neymar Jr., Ibrahima Konate, dan Geoffrey Kondogbia adalah beberapa nama yang secara terbuka mengaku sebagai penggemar berat serial ini. Mereka tidak ragu menunjukkan kecintaannya, baik melalui unggahan di media sosial, wawancara, maupun selebrasi ikonik di lapangan setelah mencetak gol.

    Aksi para pesepakbola ini memiliki dampak kultural yang signifikan. Ketika seorang bintang seperti Mbappe merayakan gol atau menunjukkan koleksi merchandise One Piece, ia secara efektif "menormalkan" simbol-simbol dari anime tersebut bagi audiens global yang jauh lebih luas dari sekadar komunitas penggemar. Simbol tengkorak bertopi jerami tidak lagi hanya milik para otaku (penggemar anime/manga), tetapi menjadi bagian dari leksikon budaya pop yang lebih umum dan mudah diakses. Legitimasi dari figur-figur publik yang diidolakan jutaan orang ini menjadi fondasi penting yang memungkinkan simbol tersebut diadopsi dengan mudah di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

    Kondogbia, misalnya, bahkan secara khusus terbang ke distrik Akihabara di Tokyo, Jepang, hanya untuk membeli figur aksi dari karakter favoritnya. Sementara itu, banyak pemain lain yang kerap meniru pose "Gear Second" Luffy atau pose menyilangkan tangan di dada sebagai tanda persahabatan abadi para kru Topi Jerami. Selebrasi-selebrasi ini, yang ditangkap oleh kamera dan disiarkan ke seluruh dunia, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan dunia fiksi One Piece dengan realitas global, membuatnya terasa lebih dekat dan relevan.

    Koneksi dengan dunia sepakbola inilah yang menjadi salah satu kunci untuk memahami mengapa fenomena ini bisa meledak di Indonesia. Simbol tersebut tidak datang dari ruang hampa yang asing, melainkan sudah familier dan memiliki konotasi positif — semangat, perjuangan, dan kemenangan — yang melekat dari arena olahraga. Ketika sebagian masyarakat Indonesia mencari medium baru untuk menyuarakan aspirasi mereka, mereka tidak perlu menciptakan simbol dari nol. Mereka bisa meminjam sebuah simbol yang sudah populer, dipahami secara luas, dan telah "disucikan" oleh para pahlawan lapangan hijau idola mereka.

  • Iklan
  • Macy's Balloonfest 2023Getty Images Entertainment

    Makna Di Balik Simbol: Dari Topi Jerami Ke Tiang Bendera

    Untuk memahami mengapa bendera ini begitu resonan sebagai alat protes, kita harus menyelami makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Dalam semesta One Piece, bendera bajak laut, atau Jolly Roger, bukan sekadar penanda identitas. Khususnya Jolly Roger milik kru Topi Jerami yang dipimpin Monkey D. Luffy, ia adalah lambang pemberontakan terhadap tatanan dunia yang mapan dan korup. Bendera ini secara eksplisit melambangkan perlawanan terhadap Pemerintah Dunia (World Government), sebuah entitas penguasa global yang digambarkan opresif dan gemar memanipulasi sejarah demi melanggengkan kekuasaan kaum elite yang sewenang-wenang, yang dikenal sebagai Tenryuubito atau "Naga Langit".

    Mengibarkan bendera ini dalam cerita adalah sebuah deklarasi untuk hidup bebas sesuai kehendak sendiri, menolak tunduk pada hukum yang tiran, dan mengejar mimpi tertinggi. Topi jerami yang menjadi ikon utamanya adalah warisan dari Raja Bajak Laut legendaris, Gol D. Roger, yang melambangkan janji dan semangat kebebasan absolut. Berbeda dari bendera bajak laut tradisional yang menyeramkan, tengkorak pada bendera Topi Jerami justru tersenyum lebar, merepresentasikan petualangan, loyalitas, dan kebebasan yang penuh sukacita, bukan teror.

    Kekuatan naratif inilah yang diadopsi oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Mereka menarik garis paralel yang jelas antara perjuangan Luffy dan kawan-kawannya melawan Pemerintah Dunia dengan realitas yang mereka rasakan di dalam negeri. Isu-isu seperti ketidakadilan hukum, korupsi yang merajalela, dan kebijakan yang dianggap menindas rakyat kecil dilihat sebagai cerminan dari tirani "Naga Langit" dalam versi dunia nyata. Dengan mengibarkan bendera Topi Jerami, mereka tidak hanya menunjukkan afiliasi sebagai penggemar, tetapi juga secara sadar meminjam seluruh kerangka narasi perlawanan yang sudah melekat pada simbol tersebut.

    Dengan demikian, bendera ini menjadi sebuah jalan pintas semiotik yang sangat efektif. Para pengibarnya tidak perlu lagi menjelaskan secara panjang lebar apa yang mereka lawan. Cukup dengan mengibarkan bendera tersebut, mereka telah mengkomunikasikan sebuah pesan kompleks: "Kami, seperti kru Topi Jerami, sedang berjuang melawan sistem yang kami anggap tidak adil dan korup." Ini adalah bentuk komunikasi politik yang cerdas, memanfaatkan sebuah cerita yang sudah dipahami secara emosional oleh jutaan orang.

  • FBL-WC-2026-ASIA-INA-BHRAFP

    Suara Kekecewaan Di Balik Bendera Hitam

    Pengibaran bendera One Piece di Indonesia bukanlah aksi iseng, melainkan puncak dari akumulasi kekecewaan dari berbagai lapisan masyarakat. Ungkapan yang viral di media sosial, "Merah Putih terlalu suci untuk dikibarkan di negeri yang kotor ini," menjadi rangkuman sentimen yang paling kuat. Ini bukanlah penolakan terhadap negara, melainkan sebuah protes moral terhadap kondisi yang dianggap menodai idealisme kebangsaan. Warganet dan para pengibar bendera secara eksplisit mengaitkan aksi mereka dengan kritik terhadap matinya keadilan, korupsi, dan kebijakan yang dirasa semakin menindas.

    Dua kelompok menjadi representasi paling nyata dari gerakan ini. Pertama, para sopir truk. Di berbagai daerah, armada-armada truk dihiasi bendera Topi Jerami sebagai bentuk protes keras terhadap kesulitan yang mereka hadapi sehari-hari. Keluhan mereka sangat konkret: antrean solar yang panjang, kemacetan parah di pelabuhan yang bisa berlangsung berhari-hari, hingga infrastruktur yang buruk. Bagi mereka, bendera ini adalah teriakan frustrasi terhadap sistem yang membuat hidup mereka semakin sulit, sebuah simbol perlawanan "wong cilik" terhadap penguasa. Tekanan terhadap mereka begitu nyata hingga asosiasi pengemudi merasa perlu mengeluarkan larangan agar anggotanya tidak ikut-ikutan memasang bendera tersebut.

    Kelompok kedua adalah mahasiswa. Di Makassar, mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar (UNM) secara terorganisir menggunakan bendera One Piece dalam serangkaian unjuk rasa. Tuntutan mereka lebih bernuansa politik dan hukum, seperti penolakan terhadap revisi undang-undang kontroversial (RUU KUHAP), kritik terhadap proyek penulisan ulang sejarah, dan penolakan terhadap perluasan kewenangan militer. Presiden BEM UNM secara sadar mengartikulasikan bahwa bendera itu adalah "respons melihat Indonesia yang semakin gelap" dan kritik terhadap sikap represif pemerintah.

    Secara demografis, fenomena ini didominasi oleh Generasi Z dan Milenial, generasi yang tumbuh di era digital dan terbiasa mengekspresikan pandangan politik melalui budaya populer. Bagi mereka, menggunakan simbol dari anime yang mereka cintai adalah cara yang lebih otentik dan relevan untuk terlibat dalam diskursus publik. Bendera One Piece pun berfungsi sebagai "payung simbolik" yang menyatukan berbagai keluhan yang terfragmentasi — dari isu ekonomi sopir truk hingga isu hukum mahasiswa — di bawah satu panji yang mudah dikenali dan dipahami secara emosional.

  • ENJOYED THIS STORY?

    Add GOAL.com as a preferred source on Google to see more of our reporting

  • INDONESIA-POLITICS-INAUGURATIONAFP

    Respons Negara: Ancaman Makar Vs. Ekspresi Kreatif

    Respons pemerintah terhadap gelombang pengibaran bendera One Piece terbelah menjadi dua kutub yang saling bertentangan, menunjukkan kebingungan dalam menghadapi bentuk protes baru ini. Di satu sisi, muncul narasi ancaman yang membingkai fenomena ini sebagai serangan terhadap kedaulatan negara. Narasi paling keras datang dari faksi keamanan dan politisi konservatif. Wakil ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, secara vokal menyebut fenomena ini sebagai "upaya sistematis" untuk "memecah belah persatuan bangsa". Senada dengan itu, komandan Kodim 0621 Kabupaten Bogor Letkol Inf. Henggar Tri Wahono, secara tegas melarang pengibaran bendera selain Merah Putih dan memerintahkan penertiban paksa.

    Narasi ancaman ini diperkuat dengan wacana penggunaan instrumen hukum. Sejumlah pejabat memperingatkan bahwa pengibar bendera One Piece berpotensi dijerat sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera dan Lambang Negara, dengan ancaman hukuman hingga 5 tahun penjara. Namun, penafsiran ini segera ditantang. Pakar hukum dan lembaga seperti YLBHI mengklarifikasi bahwa UU tersebut utamanya melarang tindakan fisik yang merendahkan kehormatan Merah Putih (seperti merobek atau membakar) dan tidak secara eksplisit melarang pengibaran bendera lain, selama posisinya tidak lebih tinggi dari bendera negara.

    Di spektrum yang berlawanan, muncul narasi yang lebih akomodatif. Ketua MPR RI Ahmad Muzani, misalnya, berpendapat bahwa aksi tersebut hanyalah "ekspresi kreativitas" dan "inovasi" dari masyarakat yang di dalam hatinya tetap Merah Putih. Pandangan serupa disuarakan oleh wakil menteri dalam negeri Bima Arya dan wali kota Solo Respati Ardi, yang menyatakan tidak ada masalah selama supremasi bendera Merah Putih tetap dijaga. Mereka mencoba melihat fenomena ini sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang sehat, bukan tindakan subversif.

    Namun, respons yang cenderung represif, seperti aksi penertiban bendera oleh aparat dan ancaman pidana yang terus digaungkan, justru menjadi bumerang. Tindakan ini secara tidak sengaja memvalidasi narasi perlawanan yang diusung para pengibarnya. Di mata publik yang melek budaya pop, pemerintah justru semakin terlihat seperti "Pemerintah Dunia" yang tiran dan anti-kritik dalam cerita One Piece. Krisis komunikasi ini menunjukkan ketidakmampuan sebagian elite untuk memahami bahasa budaya baru dan secara ironis mendelegitimasi otoritas mereka sendiri.

  • FBL-ITA-SERIE A-MONZA-NAPOLIAFP

    Gema Protes Di Kancah Global: Bukan Hanya Di Indonesia

    Penggunaan simbol One Piece sebagai medium protes di Indonesia bukanlah sebuah anomali. Ia merupakan bagian dari pola global yang semakin lazim, di mana aktivis di berbagai negara meminjam ikon-ikon dari budaya populer untuk menyuarakan perlawanan di dunia nyata. Simbol-simbol ini memiliki keunggulan strategis: maknanya sudah dipahami secara luas, memiliki daya tarik visual yang kuat, dan mampu membangkitkan resonansi emosional yang mendalam. Strategi ini memungkinkan pesan politik yang kompleks dikemas dalam bentuk yang mudah disebarluaskan.

    Salah satu contoh paling terkenal adalah salam tiga jari dari serial The Hunger Games. Simbol yang dalam cerita digunakan untuk menunjukkan solidaritas kaum tertindas ini diadopsi secara masif oleh para aktivis pro-demokrasi di Thailand untuk melawan kudeta militer dan juga di Myanmar. Contoh lain adalah topeng Guy Fawkes dari komik dan film V for Vendetta, yang menjadi wajah bagi kelompok hacktivist Anonymous dan gerakan Occupy Wall Street di seluruh dunia, melambangkan perlawanan anonim terhadap sistem yang korup.

    Di ranah perjuangan hak-hak perempuan, jubah merah dan topi bonnet dari serial The Handmaid's Tale menjadi seragam protes global. Para aktivis di Amerika Serikat, Polandia, hingga Argentina mengenakannya untuk melawan kebijakan yang menindas hak-hak reproduksi perempuan, secara visual menggambarkan distopia patriarki yang mereka lawan. Bahkan, simbol Rebel Alliance dari Star Wars pun pernah digunakan oleh kelompok-kelompok yang menentang pemerintahan di Amerika Serikat, melambangkan harapan dan pemberontakan melawan "kekaisaran" yang tiran.

    Fenomena ini menunjukkan bahwa narasi-narasi besar tentang penindasan dan pemberontakan dalam budaya pop global telah menjadi semacam lingua franca atau bahasa universal untuk mengekspresikan ketidakadilan lokal. Aktivis di Indonesia tidak perlu lagi menjelaskan dari awal apa itu tirani; mereka cukup mengibarkan bendera Topi Jerami. Audiens global yang familier dengan cerita tersebut akan langsung memahami kerangka naratif perjuangan mereka, menempatkan protes lokal dalam sebuah konteks perjuangan epik yang lebih besar.

  • JAPAN-COMPUTERS-GAMES-JUMPAFP

    Sorotan Internasional Dan Solidaritas 'Nakama'

    Gerakan simbolik di Indonesia dengan cepat melintasi batas negara, menarik perhatian media internasional dan memicu gelombang solidaritas dari komunitas penggemar global. Media-media ternama seperti South China Morning Post (Hong Kong) dan The Straits Times (Singapura) memberikan liputan yang signifikan. Menariknya, alih-alih mengadopsi narasi pemerintah tentang "ancaman persatuan", media asing cenderung membingkainya sebagai "protes kreatif terhadap ketidakadilan" atau cerminan dari "frustrasi masyarakat terhadap sistem politik". Liputan ini membawa isu-isu domestik Indonesia ke panggung dunia.

    Pada saat yang sama, dukungan mengalir deras dari komunitas penggemar One Piece internasional, yang dikenal dengan sebutan Nakama (kawan seperjuangan). Platform global seperti Reddit dan X (dulu Twitter) menjadi wadah bagi para penggemar dari berbagai negara untuk mengekspresikan kekaguman mereka. Banyak yang melihat aksi di Indonesia sebagai perwujudan paling otentik dari semangat perlawanan dan pencarian kebebasan yang menjadi inti cerita One Piece. Seorang pengguna Reddit bahkan berkomentar, "Jika pemerintah dunia nyata khawatir dengan pengibaran bendera kru bajak laut fiksi, mungkin mereka harus lebih fokus pada mengapa warganya merasa perlu mengibarkannya."

    Di dalam negeri, solidaritas komunitas Nakama juga terbukti nyata dan tidak hanya bersifat simbolis. Jauh sebelum polemik ini, berbagai komunitas penggemar One Piece di Indonesia telah menunjukkan kemampuan mereka untuk berorganisasi dalam aksi sosial. Salah satu contoh paling kuat adalah inisiatif penggalangan dana "Nakama Peduli Cianjur", di mana mereka berkolaborasi untuk membantu para korban gempa. Kemampuan untuk berorganisasi secara kolektif inilah yang menjadi fondasi mengapa "gerakan" bendera ini bisa menyebar begitu cepat dan efektif.

    Secara keseluruhan, fenomena ini berfungsi sebagai bentuk "diplomasi publik dari bawah". Berbeda dengan diplomasi yang dikendalikan negara, warga negara, melalui tindakan simbolik mereka, berhasil mengkomunikasikan citra alternatif Indonesia kepada dunia — sebuah bangsa dengan masyarakat sipil yang dinamis, kreatif, dan kritis. Ini adalah narasi tandingan yang kuat terhadap citra resmi yang mungkin ingin diproyeksikan oleh pemerintah, sekaligus demonstrasi bahwa di era digital, warga memiliki kekuatan untuk ikut membentuk persepsi internasional tentang negara mereka.

  • JAPAN-ART-ANIME-ONE PIECEAFP

    Sepakbola, Simbol, Dan Kemerdekaan Di Era Digital

    Polemik bendera One Piece pada akhirnya jauh melampaui perdebatan tentang sebuah bendera dari anime. Fenomena ini adalah sebuah studi kasus yang menarik tentang perjalanan sebuah simbol di era global: lahir dari imajinasi seorang komikus, dilegitimasi di panggung global oleh para bintang sepakbola, dipinjam oleh warga negara untuk menyuarakan protes lokal, dan akhirnya memicu respons negara yang gagap. Ini adalah cerminan dari pergeseran tektonik dalam cara masyarakat, khususnya generasi muda, memaknai dan berinteraksi dengan simbol-simbol kebangsaan.

    Keterlibatan dunia sepakbola menjadi faktor akselerator yang krusial. Para pesepakbola idola bertindak sebagai "jembatan budaya", membawa simbol One Piece dari ceruk subkultur ke panggung utama dan memberinya asosiasi positif dengan semangat juang dan kemenangan. Tanpa legitimasi ini, mungkin bendera Topi Jerami akan tetap menjadi milik komunitas penggemar yang lebih sempit dan tidak akan memicu polemik berskala nasional. Sepakbola, dalam hal ini, tanpa disadari telah menyediakan amunisi simbolik untuk sebuah gerakan protes.

    Fenomena ini juga menjadi pengingat bagi negara tentang pentingnya memahami bahasa budaya baru. Respons yang cenderung represif dan mengedepankan ancaman pidana justru terbukti kontraproduktif. Alih-alih meredam, tindakan tersebut malah memperkuat narasi perlawanan dan membuat pemerintah terlihat persis seperti rezim tiran yang digambarkan dalam anime tersebut. Ini menunjukkan bahwa pendekatan keamanan konvensional tidak lagi efektif dalam menghadapi ekspresi politik yang lahir dari budaya digital yang cair dan partisipatif.

    Pada akhirnya, polemik ini bukanlah tentang lunturnya nasionalisme. Sebaliknya, ini adalah tentang pencarian bahasa baru yang lebih relevan untuk menyuarakan cinta pada sebuah idealisme tentang Indonesia — sebuah Indonesia yang adil, setara, dan bebas, persis seperti dunia yang diperjuangkan oleh para pahlawan fiksi yang mereka kagumi, baik di dalam komik maupun di atas lapangan hijau. Ini adalah perjuangan untuk memastikan bahwa semangat kemerdekaan tidak hanya berkibar sebagai ritual, tetapi juga bersemayam dalam setiap denyut nadi keadilan di negeri ini.

0