Setelah perpisahan yang getir dengan Barcelona, Maradona memulai babak baru di tanah yang jauh dari gemerlap: Italia selatan. Ia memilih Napoli, kota yang gaduh, liar, dan rapuh—sebuah tempat yang lebih mirip Buenos Aires ketimbang Turin. Presiden klub, Corrado Ferlaino, merogoh tujuh juta euro demi membawa harapan itu pulang. Dan pada 5 Juli 1984, lebih dari 70.000 orang menyambutnya bak juru selamat di Stadion San Paolo. Hari ini, stadion itu menyandang namanya.
Maradona tahu persis ke mana dia datang: sebuah tim sederhana, yang beberapa bulan sebelumnya baru saja menghindari degradasi dengan selisih satu poin. Meski begitu, dia memutuskan untuk tetap tinggal. Dia ingin membangun sesuatu yang tahan lama. Sedikit demi sedikit, dengan basis pemain lokal dan beberapa pemain kunci, Napoli mulai berkembang. Di tahun pertamanya mereka selesai di posisi kedelapan, kemudian ketiga, dan pada musim 1986/87 mereka memenangkan Scudetto pertama, membuat sejarah.
Maradona tahu persis ke mana ia melangkah: sebuah tim sederhana, yang baru beberapa bulan sebelumnya terhindar dari nasib degradasi dengan selisih satu poin. Meski begitu, ia memutuskan untuk tetap tinggal. Ia tidak datang untuk sekadar bermain. Ia datang untuk membangun mimpi. Sedikit demi sedikit, dengan fondasi pemain lokal dan beberapa pemain kunci tambahan, Napoli mulai tumbuh. Ia menyelesaikan tahun pertamanya membawa mereka finis kedelapan, lalu ketiga, dan akhirnyapada 1986/87, puncak itu mereka rengkuh: Scudetto pertama dalam sejarah Napoli.
Pun tahun-tahun itu bukan sembarang tahun: Serie A kala itu adalah liga terbaik di dunia. Platini bersinar di Juventus, Milan menjelma monster bersama trio Belanda dan Sacchi, Inter Milan membawa nama Trapattoni, Sampdoria punya Vialli dan Mancini, sementara Zico, Falcao, Socrates, Matthaus, Junior, dan Baggio mengisi panggung dengan cahaya mereka. Dalam tujuh musim Maradona di Naples, Scudetto dimenangkan oleh enam tim berbeda—hanya satu yang mampu mengulangnya: Napoli.
Tapi warisan Diego tak hidup di lembar statistik dan catatan olahraga. Dia mengembalikan harapan kepada sebuah kota yang sudah lama terpinggirkan. Ia datang dari akar kehidupannya di kawasan kumuh Buenos Aires, dia ingin menebus mereka yang tidak pernah memiliki apa-apa.
Dan jika untuk itu ia harus berdansa dengan iblis—berkawan dengan mafia, terjebak kecanduan kokain yang memang sudah mengintai sejak musim juara terakhirnya, diskors karena doping, dan tiba-tiba melarikan diri dari kota meninggalkan badai skandal. Justru karenanya sang dewa sepakbola menjadi lebih manusiawi.
Era biru langit itu berakhir dengan dramatis. Tapi mitos Maradona tak pernah pergi. Dan tak akan pernah pergi. Ia tetap tinggal—di mural-mural, di lagu-lagu, di hati Napoli. Mitosnya abadi, karena ia datang bukan cuma untuk menang. Ia datang untuk menyelamatkan.