Gabriel Martinelli Thiago Silva split Getty Images

ENAM Pelajaran Yang Harus Chelsea Petik Dari Arsenal Usai Hancur Berantakan - Mulai Dari Dukung Pelatih, Belanja Cerdas, & Percayai Pemuda

Pada permulaan musim, Arsenal vs Chelsea akan digadang-gadang sebagai laga yang bisa menentukan peta persaingan zona Liga Champions. Namun kenyataannya, Rabu (3/5) dini hari WIB tadi, The Blues si klub papan gagal memutus rentetan delapan laga tanpa kemenangan untuk menyalip Crystal Palace dan kembali ke peringkat 11. Sementara Arsenal, dalam situasi yang berbeda total, sukses menjaga asa juara Liga Primer Inggris dengan kemenangan.

Kini, dua rival London ini dipisahkan oleh 39 poin, konsekuensi dari pengambilan keputusan yang teramat kontras di dalam dan luar lapangan selama 12 bulan terakhir.

Chelsea pun semakin terperosok ke titik rendah tanpa dasar, sesuatu yang tak terpikirkan bisa terjadi semenjak menjelma menjadi elite Eropa di bawah Roman Abramovich.

Namun Arsenal juga pernah berada di situasi serupa hanya beberapa waktu lalu, dan kebangkitan mereka musim ini ironisnya menjadi harapan bagi para suporter The Blues yang mulai sulit membayangkan klub kesayangan mereka bisa kembali ke masa jaya.

Di masa ketika awan mendung menutupi langit Stamford Bridge, GOAL mengulas apa yang bisa Chelsea pelajari dari kebangkitan sang tetangga...

  • Graham Potter Chelsea 2022-23Getty Images

    Percayai manajer

    Fans Arsenal menjadi sasaran olok-olokan karena "percaya pada proses" yang dikepalai Mikel Arteta, tetapi kini tak ada satu pun rival fans yang tertawa.

    Pelatih asal Spanyol itu memang memiliki periode-periode 'ambyar' di awal kariernya sebagai bos The Gunners, tetapi penunjukkannya pada 2019 - secara jangka panjang - terbukti sebagai langkah genius. Untuk pertama kalinya semenjak Arsene Wenger hengkang, Arsenal memiliki identitas sepakbola yang jelas yang membuat klub-klub Liga Primer Inggris cemburu.

    Chelsea nampak mengikuti jejak yang sama ketika menunjuk pelatih muda menjanjikan Graham Potter di bawah kontrak lima tahun pada September 2022. Selama bertahun-tahun lamanya, Abramovich memimpin Chelsea dengan darah dingin dan enteng memecat manajer, kadang atas kegagalan yang tak kacau-kacau amat. Potter seharusnya berbeda - ia dimaksudkan sebagai pemimpin holistik di lapangan untuk menyongsong era revolusi di bawah Todd Boehly dan Clearlake Capital.

    Namun pada akhirnya, ia hanya bertahan selama 31 pertandingan. Dilumpuhkan oleh strategi rekrutmen yang serampangan - juga akan kami bahas di bawah - ia pun dipecat dengan rasio poin-per-laga terendah bagi pelatih Chelsea di era Liga Primer.

    Tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi jika ia didukung dengan benar? Mungkin Chelsea bisa menikmati buah revolusi yang serupa Arsenal dalam beberapa musim ke depan.

  • Iklan
  • Todd Boehly Chelsea facepalm 2022-23Getty Images

    Belanja cerdas, bukan beringas

    Sulit membayangkan dua klub ngetop yang strategi rekrutmennya sangat bertolak belakang seperti Arsenal dan Chelsea dalam beberapa tahun terakhir.

    Si Biru adalah pengejawantahan transfer chaos, menghamburkan lebih dari £600 juta dalam dua jendela transfer tetapi masih berakhir memiliki skuad yang tak seimbang dan kegendutan. Ini dibuktikan oleh fakta bahwa cuma Nottingham Forest - yang juga ugal-ugalan di bursa transfer - yang memainkan lebih banyak pemain dari Chelsea di Liga Primer Inggris musim ini.

    Di sisi lain, Arsenal memiliki salah satu skuad yang paling efisian di Liga Inggris. Cuma tiga klub Liga Primer - West Ham, Brentford, dan Manchester City - yang menurunkan lebih sedikit pemain dari mereka musim ini.

    Dengan beroperasi menggunakan skuad yang ramping, setiap pemain yang masuk ke starting XI tahu betul apa yang diharapakan dari mereka di dalam sistem Arsenal. Kita melihat demonstrasinya ketika Gabriel Jesus cedera di Piala Dunia; Eddie Nketiah dan Leandro Trossard masuk tim dan menggantikannya dengan mulus tanpa banyak drama.

    Bukan cuma soal besar skuad yang bisa Chelsea pelajari dari The Gunners. Arsenal juga belanja dengan jauh lebih cerdas dibandingkan The Blues semenjak akuisisi Boehly.

    Perekrutan pemain yang masuk akal seperti Oleksandr Zinchenko, Martin Odegaard, dan Aaron Ramsdale mungkin tak sebombastis - atau semahal - pemain-pemain baru Chelsea, tetapi ketiganya terbukti cocok dengan apa yang dibutuhkan di Stadion Emirates.

    Bilang kepada Chelsea untuk jangan beringas di bursa transfer mungkin laksana menutup pintu kandang ketika bantengnya sudah terlanjur mengamuk di luar, tapi ke depannya, ini sesuatu yang harus sangat dipertimbangkan The Blues jika mereka ingin kembali menjadi klub Liga Champions.

  • Chelsea fans 2022-23Getty Images

    Tak butuh waktu lama untuk kembali merebut hati para suporter

    Selama bertahun-tahun, Arsenal dikritik karena atmosfer Stadion Emirates yang seperti perpustakaan.

    Meski para Gooner memang selalu bertandang dengan lantang dan beramai-ramai, tuduhan bahwa kandang baru mereka seringkali kurang ganas tak bisa dipungkiri. Namun, tuduhan tersebut tak lagi bisa dilayangkan kepada para suporter Arsenal musim ini.

    Atmosfer kandang mereka seru sepanjang tahun, dengan mengumandangkan himne pra-laga baru mereka, North London Forever, sejalan dengan semangat kebangkitan yang sedang menjangkiti tim. Hal ini pun turut memberikan manfaat bagi para pemain di lapangan. Dukungan dari para suporter membakar semangat juang pasukan Arteta untuk menyajikan comeback dramatis atas Bournemouth yang bikin bulu kuduk merinding.

    Saat ini, Chelsea cuma bisa berangan-angan Stamford Bridge mendapatkan atmsofer yang demikian. Sorakan penuh kecewa bergema dari tribun Shed End sampai Matthew Harding, cuma laga versus Real Madrid dan Borussia Dortmund yang membuat para suporter di stadion menyanyi dengan lantang.

    Atmosfer membosankan di kandang adalah masalah yang jamak ditemui di sepakbola modern, tetapi kemampuan Arsenal merawat kembali hubungan antara fans dan pemain musim ini menunjukkan bahwa Chelsea mungkin juga bisa memperbaikinya dengan cepat.

    Jelas bahwa ada kekecewaan besar terhadap para petinggi di London barat saat ini. Tetapi jika manajer baru di musim panas bisa memecut para pemain untuk kembali berjuang demi lambang di dada, Stamford Bridge yang dahulu terkenal angker bagi para pelawat bisa segera kembali.

  • Kane Osimhen splitGetty Images

    Mungkin Chelsea tak butuh striker 20 gol...

    Solusi yang terus digembor-gemborkan untuk menyelesaikan semua masalah Chelsea saat ini adalah untuk merekrut 'striker murni'.

    Harry Kane dan Victor Osimhen diyakini berada di puncak wishlist Chelsea musim panas ini, selama mereka mampu lolos dari ancaman hukuman Financial Fair Play setelah gelap mata belanja di dua bursa terakhir.

    Namun jika melihat sang tetangga, mungkin mereka sebenarnya tak benar-benar membutuhkan penyerang tengah super subur untuk tancap gas musim depan. Jesus, yang memimpin lini depan The Gunners di sebagian besar musim ini, mencatatkan torehan yang apik tapi tak spektakuler musim ini: sembilan gol di Liga Primer Inggris.

    Perannya untuk Arsenal jauh lebih kompleks daripada sekadar mencetak gol. Kepiawaiannya melakukan pressing, menciptakan peluang, dan membuat lini depan bekerja memungkinkan Bukayo Saka dan Gabriel Martinelli untuk gemilang di kedua sisi sayapnya.

    Seharusnya, satu dari 101 penyerang yang Chelsea miliki bisa memainkan peran yang sama musim depan jika impian mereka mendatangkan bomber tajam tak terwujud, ya kan?

  • Bukayo Saka Arsenal Mykhailo Mudryk Chelsea(C)Getty Images

    Percaya pada pemuda

    Bicara soal Martinelli dan Saka, kesuksesan mereka adalah buah dari kemauan Arteta mempercayai pemain muda yang ia miliki.

    Keberanian mereka di sepertiga akhir adalah salah satu bahan baku utama kegemilangan The Gunners musim ini, dengan keduanya, jika digabung, telah membukukan 28 gol dan 16 assist di Liga Primer Inggris - menjadi duo U-21 pertama di kasta tertinggi Inggris yang masing-masing terlibat dalam 20+ gol dalam semusim semenjak duet maut Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo di Manchester United.

    Pun mereka bukan satu-satunya youngster yang impresif di Emirates, melihat bagaimana skuad Arsenal memiliki rata-rata usia termuda di Liga Primer Inggris musim ini, sama dengan Southampton.

    Atas segala kritikan yang ditujukan pada strategi transfer Chelsea, setidaknya pemain-pemain baru mereka masih memiliki masa depan karena The Blues sengaja memprioritaskan pemain usia muda di dua bursa terakhir.

    Kini, Chelsea harus mengikuti teladan Arsenal memberi youngster-youngster ini menit bermain yang memang mereka perlukan untuk berkembang menjadi megabintang Liga Primer.

  • Arsenal Gabriel Jesus Odegaard Getty Images

    Absen dari Eropa? Maksimalkan!

    Chelsea tak akan terlibat dalam kancah sepakbola Eropa musim depan - itu sudah hampir pasti. Tentu saja ini adalah pukulan keras bagi klub sebesar mereka, apalagi dari segi keuangan.

    Kini yang bisa The Blues lakukan adalah menjadikannya berkah terselubung, seperti Arsenal yang nyaris kembali ke empat besar di musim 2021/22.

    Sayangnya, kolaps saat terakhir memastikan The Gunners gagal finis di zona Liga Champions, dilompati rival bebuyutan mereka Tottenham. Sebuah kegagalan yang teramat pahit, apalagi saat itu mereka baru saja dua kali beruntun finis kedelapan.

    Namun jika dilihat lagi, tahun-tahun 'ambyar' itu bisa dipandang sebagai periode vital dalam proses transformasi The Gunners menjadi penantang gelar sejati.

    Jauh dari dunia sepakbola kontinental yang melelahkan dan penuh tekanan, Arsenal berhasil memperbaiki masalah di tubuh mereka - proses yang memang sangat mereka perlukan setelah sekian lamanya. Para pemain muda diintegrasikan dan lebih banyak waktu di tempat latihan untuk menginternalisasi ide-ide Arteta; demikianlah proses yang memungkinkan mereka menantang Manchester City dengan semestinya musim ini.

    Jangan salah, masa-masa itu adalah masa-masa yang menyakitkan dan Chelsea mungkin harus bersiap merasakan penderitaan serupa jika memang ingin kembali ke puncak sepakbola Inggris.

    Uniknya, Chelsea pernah berada di situasi ini sebelumnya, dan bahkan meresponnya dengan JAUH lebih sukses dari Arsenal. Setelah finis ke-10 di 2015/16, The Blues benar-benar, secara harfiah, kembali ke puncak sepakbola Inggris di bawah Antonio Conte, menjadi kampiun Liga Primer Inggris 2016/17 tanpa ada gangguan agenda Eropa. Namun mereka terlempar dari empat besar di musim berikutnya, dan belum pernah lagi menjadi penantang gelar liga sejak saat itu. Maka, tak ada salahnya meneladani tetangga demi kesuksesan yang lebih berkelanjutan (meski The Gunners sendiri memang belum menang apa-apa).

    Selain itu, The Blues, yang masih tanpa manajer permanen,mungkin bisa dibilang sedang berada di kondisi yang lebih bingung dibanding 2015/16 dan dibanding ketika Arteta mengambilalih kursi kepelatihan Arsenal, dan tak adanya distraksi tengah pekan bisa menjadi berkah terselubung seiring usaha mereka untuk melakukan revolusi besar-besaran musim panas ini.

0