Footer Banner UEFA Nations League

Tak Ada Lagi Lelucon Timnas Inggris

Berbicara lelucon di sepakbola, Timnas Inggris mungkin jadi subjek yang paling sering disinggung dalam dua dekade terakhir. "Mereka hanya besar di media, tapi kerdil di atas lapangan," begitu kata orang-orang.

Seiring popularitas Liga Primer Inggris yang meroket pada awal milenium dan bertahan di puncak hingga detik ini, tidak heran bila Timnas Inggris selalu jadi sorotan utama tatkala jeda internasional atau turnamen antarnegara dihelat.

Pemain lokal Inggris yang sejatinya miliki kualitas standar, dibingkai oleh media setempat bagai superstar untuk mensugesti khalayak sepakbola. Bibit unggul Inggris yang belum mekar kerap dijunjung bak dewa, sehingga layu sebelum berkembang.

Artikel dilanjutkan di bawah ini
Playing Surface - Alan Shearer

Belum lagi status favorit yang selalu dilekatkan pada Inggris, setiap ikuti ajang akbar. Mereka yang tersugesti pun berani bertaruh besar untuk kejayaan tim berjuluk The Three Lions tersebut, tak peduli telah membohongi pengalaman terdahulu yang selalu berujung kekecewaan.

Karenanya mental selalu jadi masalah utama Inggris. Kasusnya selalu sama: superior di babak kualifikasi dan uji coba, tapi inferior di ajang akbar. Selain mental, faktanya adalah kualitas Inggris yang kala itu disebut tengah diperkuat "Generasi Emas" memang tak sebagus rangkaian kata media setempat.

Menyepakati bahwa fenomena itu dimulai pada Piala Dunia 1998 silam, hingga gelaran Euro 2016 prestasi terbaik Inggris cuma mentok di babak perempat-final. Mereka bahkan sempat gagal lolos ke Euro 2008 dan tak pernah sampai ke level Brasil, Prancis, Jerman, Spanyol, dan Italia.

"Kita [Inggris] terpuruk, kering ide, kalah berjuang, dan sepenuhnya tak punya harapan. Sekarang, lihatlah kami, menjadi bahan lelucon di dunia sepakbola. Kami harus menerima kenyataan jadi bahan tertawaan orang-orang,” tutur Alan Shearer pada BBC, usai negaranya disingkrikan Timnas Islandia di babak 16 besar Euro 2016.

Playing Surface - Gareth SouthgateGetty

Namun cahaya datang di momen tak terduga. Waktu di mana Inggris bisa dibilang jatuh ke titik terendah, tatkala Sam Allardyce dipecat dari jabatan pelatih kepala akibat skandal suap. Padahal Big Sam baru memimpin di satu laga, gantikan Roy Hodgson usai kegagalan memalukan Raheem Sterling cs di Euro 2016.

Cahaya itu berwujud Gareth Southgate, pelatih muda yang ironisnya lebih dikenal sebagai biangkerok kegagalan Inggris di Euro 1996 saat masih jadi pemain. Diangkat sebagai pelatih sementara, kepemimpinan impresif selama kurang dari dua bulan membuatnya diangkat jadi pelatih tetap pada Desember 2016.

Southgate tanpa diduga jadi peramu taktik yang paling paham caranya atasi masalah mental pemain-pemain Inggris. Dia tak segan menyingkirkan nama-nama senior yang urung berdampak, miliki insting tajam dalam memanggil pemain, dan berani memodernisasi filosofi kick 'n rush.

Piala Dunia 2018 jadi momentum. Inggris dibawanya samai prestasi di Piala Dunia 1990, dengan melaju hingga babak semi-final. Ya, fase tertinggi yang pernah dicapai Negeri Ratu Elizabeth, selain jadi juara pada Piala Dunia 1966 silam.

England Nations LeagueGetty / Goal composite

Mata sinis boleh berucap Inggris cuma beruntung, karena hadapi lawan yang di atas kertas miliki level di bawah mereka sebelum bertemu Kroasia di semi-final. Namun melihat permainan, deteminasi, dan bagaimana Harry Kane cs bersikap usai laga, hegemoni It's Coming Home tak pernah benar-benar senyata di Rusia kemarin.

Benar saja, kebangkitan Inggris berlanjut di UEFA Nations League. Kompetisi terbaru UEFA yang secara malu-malu kucing dipandang serius oleh setiap pesertanya. Tergabung di grup tiga bersama tim elite sekelas Spanyol dan Kroasia, Inggris tampak inferior.

Akhir kisahnya? Alih-alih sekadar terhindar dari dergadasi ke Liga B, Inggris keluar sebagai juara grup dan melaju ke final four lewat cara khas tim juara. Minggu (18/11), dalam matchday pamungkas kontra Kroasia di Wembley, mereka menang dramatis 2-1!

Padahal Inggris tertinggal lebih dahulu akibat gol Andrej Kramaric. Gol penyama kedudukan Jesse Lingard di menit 78, juga bisa tak berarti signifikan karena hasil imbang tetap akan membuat mereka terdergadasi. Sampai akhirnya sang kapten sekaligus mesin gol, Kane, membalikkan kedudukan jadi 2-1 lima menit jelang bentrok usai guna pastikan kelolosan.

Playing Surface - Wayne Rooney

Tanpa terlampau mengagungkan Southgate, dia juga juga patut bersyukur bahwa tampaknya Inggris tengah benar-benar diperkuat generasi emasnya. John Stones, Delle Ali, Raheem Sterling, sampai Harry Kane adalah representasi terbaik.

Selain itu terdapat pula bakat-bakat brilian yang menonjol tanpa banyak sorotan layaknya Jordan Pickford, Harry Maguire, dan yang terbaru Ben Chilwell. Jangan lupakan juga prestasi tim junior Inggris yang sempat berturut-turut menjuarai Euro U19, Piala Dunia U17, dan Piala Dunia U20 pada 2017 lalu. Beberapa dari anggotanya mulai rutin dipanggil, seperti Dominic Solanke dan Jodan Sancho.

"Saya pikir Inggris di tangan yang sangat aman. Bagaimana para pemain dilatih dan bagaimana mereka meresponsnya. Orang-orang bilang saya bermain di 'Generasi Emas, tapi menurut saya Harry Kane, Raheem Sterling, sampai John Stones adalah superstar dan skuat muda ini punya potensi untuk membawa trofi pulang ke rumah," tutur Wayne Rooney dalam konferensi pers partai pamungkasnya bersama Inggris.

Pada akhirnya bisa disimpulkan bahwa 2018 merupakan periode fantastis buat Inggris. Setelah sekian lama mengecewakan bahkan memalukan, mereka sanggup meraih hasil yang diekspektasikan dan dipertaruhkan banyak orang.

Belum ada trofi yang sanggup dibawa pulang ke rumah memang, tapi satu hal yang pasti: Timnas Inggris kini bukan lagi lelucon!

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Goal Indonesia (@goalcomindonesia) on

Footer Banner UEFA Nations League
Iklan