Siapa pun yang mencetak gol kemenangan atau melakukan penyelamatan krusial untuk menjadi pahlawan di final Euro 2020, kemungkinan besar ia akan memiliki profil yang jauh lebih besar ketimbang pemain yang menjadi penentu di final Euro 2016.
Eder akan selamanya dikaitkan dengan Euro, di mana kariernya diringkas pada menit ke-109 dari pertarungan yang menegangkan antara Prancis dan Portugal.
Sampai momen itu, kenangan final paling menonjol adalah cedera dan tangisan Cristiano Ronaldo di babak pertama, wajahnya yang tertutup ngengat di Paris malam itu hingga gayanya yang bagai pelatih maniak di pinggir lapangan.
Kemudian Eder, yang enam bulan sebelumnya dipinjamkan oleh Swansea City di tengah masalah cedera dan kurangnya waktu bermain di Wales selatan, lepas dari kawalan Laurent Koscielny dan melakukan tendangan rendah dari jarak 25 yard untuk menaklukkan Hugo Lloris.
Salah satu gol paling ikonik dalam sejarah sepakbola Eropa justru dicetak oleh pemain dengan karier klub yang suam-suam kuku, dan sekarang, lima tahun kemudian, dia adalah pemain bebas agen di usia 33 tahun sebagaimana masa depan kariernya diragukan.
Eder juga menikmati beberapa kesuksesan sejak malam di Paris itu; ia bergabung dengan Lokomotiv Moskwa lewat status pinjaman di musim 2017/18 dan membantu mereka meraih gelar Liga Primer Rusia pertamanya dalam 14 tahun terakhir.
Dia lantas pindah ke Moskwa secara permanen, bermain di Liga Champions dan mengamankan kemenangan Piala Rusia untuk Lokomotiv pada 2019 dan 2021.
Namun, musim lalu ia hanya memainkan sepuluh pertandingan di semua kompetisi hingga kemudian dilepas pada akhir Juni.
Seorang target man yang mengesankan dengan tinggi 190cm dan kuat di udara serta mahir menahan bola, Eder selalu menjadi tipe striker yang tidak biasa di mana penggunaan utama mereka bukanlah mencetak gol, tetapi memfasilitasi pemain lain seperti Ronaldo di Portugal.
Itu menjelaskan mengapa dia sangat tidak dicintai oleh pendukung Portugal sebelum musim panas 2016, dan itu wajar karena ia hanya mencetak lima gol dalam 35 pertandingan internasional bersama tim senior.
Dia menjadi sasaran kemarahan suporter setelah Piala Dunia 2014, terlebih setelah Portugal dikalahkan 4-0 oleh Jerman, bermain imbang dengan Amerika Serikat dan gagal keluar dari grup mereka.
Begitu buruknya perundungan yang ia terima, Eder mengaku sempat berpikir untuk bunuh diri.
Goal/Getty"Pikiran saya pergi ke mana-mana”, katanya kepada Daily Mail pada September 2016. "Saya mengalami fase yang sangat rendah. Saya mengalami beberapa cedera parah dan pergi ke Piala Dunia dan segalanya tidak berjalan dengan baik.
"Itu sulit. Saya berjuang untuk percaya pada banyak hal dan bermimpi lagi. Itu adalah periode yang sangat mengerikan bagi saya dan Anda bertanya-tanya apakah Anda dapat menghindarinya."
Masa lalunya tak luput dari kengerian dan tragedi yang lebih besar ketimbang apa pun yang ia temui di lapangan sepakbola.
Eder sendiri lahir di Guinea-Bissau, tetapi keluarganya pindah ke Portugal ketika dia berusia tiga tahun untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Namun, pada usia delapan tahun, ia dikirim ke panti asuhan karena orang tuanya tidak memiliki sarana untuk merawatnya.
Ayahnya, Filomeno Antonio Lopes, sempat dipenjara pada 2003 karena membunuh rekannya, Domingas Olivais. Eder membuat pengakuan di televisi Portugal setelah kepahlawanannya di Euro 2016.
“Ayah saya di penjara. Sejak saya berusia 12 tahun. Ibu tiri saya meninggal dan dia dituduh membunuhnya," katanya. "Dia dijatuhi hukuman 16 tahun, kalah tidak salah.”
Terlepas dari semua itu, bakat Eder tetap diakui, dan ia mengukir debut sepakbola profesionalnya pada usia 18 tahun untuk Tourizese.
Dia berhasil menaiki tangga sepakbola Portugal, memenangkan piala nasional bersama Academica sebelum tampil mengesankan dalam tiga tahunnya bersama Braga, meskipun cedera ligamen lutut yang serius menghambat kemajuannya.
Goal/GettyKepindahan senilai £5 juta ke Liga Primer Inggris dengan tujuan Swansea pada musim panas 2015 berjalan buruk, dan dia hanya bermain 421 menit untuk tim asal Wales itu, dengan empat kali menjadi starter .
Dia dipinjamkan ke Lille untuk paruh kedua musim 2015/16, mencetak enam gol dalam 14 pertandingan yang ternyata sudah cukup bagi bos Portugal Fernando Santos untuk bertaruh jackpot .
Sepanjang Euro 2016, Eder hanya bermain 54 menit – 41 di antaranya di final, setelah masuk menggantikan Renato Sanches pada menit ke-79 menjelang perpanjangan waktu.
Dia membuat penampilan cameo melawan Islandia dan Austria, kemudian menyaksikan dari bangku cadangan ketika Portugal entah bagaimana tersandung keluar dari grup dengan tiga hasil imbang sebelum lolos ke babak sistem gugur lewat kombinasi gol-gol terlambat, penalti, dan kecemerlangan Ronaldo.
Ketika final tiba, entah bagaimana, Eder menjadi pahlawan, memberi tahu BBC setelah pertandingan bahwa itu adalah gol yang dicetak untuk setiap orang di semua "negara”.
Dia berkata: "Saya bangga berada di sini, dan saya juga bangga dilahirkan di Guinea-Bissau. Saya juga menganggap diri saya orang Portugis, karena saya menjalani seluruh hidup saya di sana. Ini luar biasa bagi saya dan untuk negara saya.
"Saya mendapat bola dari Joao Moutinho, jika tidak salah. Saya mencoba berbelok, mendapatkan peluang, dan saya hanya menembak ke gawang, dan saya sudah tahu bola akan masuk."
Eder belum pernah mendekati momen itu sebelum atau sesudahnya – pada 2017 ia disingkirkan oleh Portugal demi Andre Silva untuk Piala Konfederasi, ia dikeluarkan dari skuad awa; untuk Rusia 2018, dan ia bahkan tidak dipertimbangkan untuk Euro 2020 – tetapi pada akhirnya itu tidak penting.
Di mana Eder sekarang, dan dari mana asalnya, memiliki konsekuensi yang jauh lebih kecil ketimbang apa yang dia lakukan di Euro 2016.
Siapa pun yang menjadi bintang di final Euro 2020, mereka akan memiliki kisah serupa atau mungkin jauh lebih baik dibanding pahlawan Euro edisi sebelumnya.
