4 Juli 1998 adalah titik terendah dalam sejarah sepakbola Jerman yang penuh sukses. Itu adalah tanggal ketika tim nasional kalah 3-0 di perempat-final Piala Dunia yang diadakan di Prancis - dengan status juara bertahan Eropa.
Kartu merah Christian Worns yang mengesankan menjadi awal dari akhir. Kekecewaan yang dialami pun cukup besar dan sepakbola Jerman berada di bawah ancaman. Hal itu lantas membutuhkan transformasi yang mendesak. Sebastian Deisler yang masih sangat muda dianggap sebagai juru selamat - tetapi dia tidak bisa menghadapi tekanan. Dan kami menceritakan kisahnya di sini!
Munculnya Harapan
Getty ImagesFederasi Jerman (DFB) harus membayar mahal kegagalan melakukan regenerasi seturut eliminasi kedua beruntun di babak perempat-final Piala Dunia. Namun, harapan muncul entah dari mana saat mereka merayakan debut Sebastian Deisler bersama Borussia Moenchengladbach melawan Eintracht Frankfurt pada 8 September 1998.
Deisler turun ke lapangan Boekelbergstadion (yang sekarang sudah dihancurkan). Butuh enam bulan lagi baginya untuk membuat terobosan serius. Hanya sedikit yang akan melupakan lari solo 60 yard dalam kemenangan 2-0 atas 1860 Munich untuk menandai performanya yang luar biasa. "Bola diarahkan ke tempat yang persis sama dengan gol [Gunther] Netzer untuk mengubah skor menjadi 2-1 di final DFB-Pokal melawan FC Koln pada 1973," lapor Sueddeutsche Zeitung dengan sangat antusias.
Dipenuhi Pujian
Bintang baru telah lahir. Deisler akan menjadi penyelamat - Mesias sepakbola Jerman - dan semua itu diapungkan setelah 11 penampilan Bundesliga.
Pelatih Gladbach Friedel Rausch sudah yakin akan hal itu: "Pada titik tertentu, dia akan disebut sama dengan [Fritz] Walter, [Uwe] Seeler dan [Franz] Beckenbauer." Pelatih tim nasional Erich Ribbeck juga melontarkan pujian untuk pemain berusia 19 tahun itu: "Sebuah permata. Kami dapat memfokuskan permainan kami melalui Deisler dan dia bermain melalui rasa sakit. Kami membutuhkan pemain seperti itu."
Getty ImagesDegradasi Dan Pindah Ke Hertha Berlin
Terlepas kehadiran bintang baru dalam tim, Borussia Moenchengladbach mengalami degradasi ke 2.Bundesliga untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka dan turun dengan rengekan. 'Basti Fantasti', yang sudah menarik minat banyak klub top Eropa, meninggalkan klub setelah hanya 17 penampilan profesional dan pergi ke Hertha Berlin.
Harapan di ibu kota tidak lantas berkurang. "Saya berusia 19, 20 tahun ketika orang Jerman berpikir bahwa saya bisa menyelamatkan sepakbola Jerman seorang diri. Masih ada Michael Ballack, tapi dia empat tahun lebih tua dan bermain di Kaiserslautern yang indah. Mereka tidak memberi saya waktu untuk beradaptasi," Deisler waktu itu berkata dalam sebuah wawancara dengan Die Zeit.
Merasa Jadi Badut
Saat di klub ibu kota, Deisler berhasil masuk ke tim nasional secara reguler. Meski begitu, dia tidak lagi merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Dia hidup di dunia imajiner dan kemudian mengungkapkannya setelah kariernya berakhir.
"Saya harus jujur mengatakan bahwa Hertha sebagai klub sama tidak siapnya dengan saya. Mereka senang melemparkan saya ke singa. Saya menjadi sangat tidak bahagia ketika saya mencoba membuat orang lain bahagia. Saya merasa seperti badut yang sedih," katanya kepada Die Zeit.
Tanda Peringatan Dini
Dia sangat kecewa dengan manajemen yang ditunjukkan Dieter Hoeness setelah diketahui bahwa dia akan dilego ke Bayern Munich. Tidak ada seorang pun di sana untuk melindungi Deisler dari rentetan kritik yang datang kepadanya: "Sebaliknya dia [Hoeness] berdiri dan menyaksikan ketika saya diburu keluar dari Berlin. Itulah yang mulai merusak pandangan saya tentang sepakbola. Saya tahu hari ini bahwa itulah titik di mana saya seharusnya berhenti."
Getty ImagesBintang Baru Di Selatan Jerman
Setelah tiga tahun dan beberapa cedera di Hertha Berlin, ia pindah ke der Rekordmeister, Bayern Munich. Itu adalah langkah logis berikutnya bagi setiap talenta di Jerman untuk pergi ke Bayern. Dari sudut pandang Deisler, ini adalah kesempatan untuk berubah dari sebuah titik fokus menjadi di belakang sorotan di antara banyak bintang Bayern.
Dia tiba di Munich dengan kruk. Tumit Achillesnya - lutut kanan - sekali lagi menyerah. Tidak seorang pun pada saat itu menyadari beban mental yang kemudian timbul. Bayern membangun harapan untuk membentuk tim di sekelilingnya. Dia adalah penerus Stefan Effenberg sebagai playmaker dan pemimpin, meskipun keduanya, dalam hal kepribadian, bagaikan kapur dan keju.
Alami Depresi
Getty ImagesPada 2003 datang kejutan untuk setiap penggemar sepakbola. Di usianya yang baru 23 tahun, Deisler menderita depresi dan karena itu harus menghentikan kariernya. Uli Hoeness menunjukkan dukungan yang patut dicontoh dan tak henti-hentinya terhadap sang pemain, termasuk bersedia memberikan waktu kepadanya.
Hoeness mungkin menarik reaksi positif dan negatif terhadap komentar provokatifnya ke media, tetapi dia adalah salah satu dari sedikit tokoh di sepakbola profesional yang peduli. Deisler yang telah dilemparkan ke ujung yang dalam sebagai harapan utama sepakbola Jerman kemudian mengakui: "Saya tidak pernah punya waktu untuk berkembang, tidak pernah punya waktu untuk tumbuh dan menjadi dewasa. Untuk itu, saya sangat berterima kasih kepada Uli Hoeness. Dia percaya pada saya sampai akhir, tetapi itu adalah periode yang sangat sulit."
Titik Terendah Dalam Kariernya
Getty ImagesEdmund Stoiber, anggota dewan di Bayern yang juga merupakan kandidat CDU/CSU untuk Kanselir dalam pemilihan umum 2002, kemudian menggambarkan Deisler "sebagai salah satu pembuat kerugian terbesar bagi FC Bayern".
Pesepakbola profesional dipandang sebagai komoditas. Namun demikian, sang gelandang kembali menjadi sorotan setelah absen dari pertandingan dan membuat awal yang baru. Namun, lagi-lagi lututnya selalu membuyarkan rencananya.
Setelah absen di Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan karena cedera, ia juga tidak bisa menjadi bagian dari skuad Jerman pada turnamen 2006, dengan target memenangkan Piala Dunia di kandang sendiri.
Hal itu membuatnya tidak dapat memenuhi takdir yang diharapkan banyak orang seperti di awal kariernya.
Kalah Dalam Pertarungan
Getty ImagesSebagai konsekuensi dari tubuhnya yang babak belur dan jiwanya yang terluka, ia mengumumkan pada awal 2007 untuk mengakhiri karier sepakbolanya di usia emas.
"Dia adalah salah satu pemain terbaik yang pernah dihasilkan Jerman dan oleh karena itu sangat sulit untuk dipahami. Namun, kami telah kalah dalam pertempuran ini," kata Uli Hoeness tentang kisah pensiun Deisler yang tragis.
Dalam kariernya, dia hanya bermain 134 pertandingan Bundesliga dan hanya bermain 36 kali untuk negaranya. Itu adalah rekor yang mengecewakan bagi pria yang membawa harapan sepakbola Jerman tetapi tubuhnya memang rawan cedera dan luka jiwa.
Cedera lutut dan pangkal paha, serta depresi, membuat kariernya mandek. Penyelamat sepakbola Jerman harus menyelamatkan dirinya sendiri. "Pada akhirnya saya benar-benar tamat, saya sudah tua dan saya lelah. Saya telah berlari sejauh kaki saya membawa saya, mereka tidak mau berjalan lagi," kata Deisler kepada Tagesspiegel setelah pensiun.
Yang tersisa sekarang adalah kesadaran bahwa dia tidak cocok untuk bidang ini, dunia sepakbola profesional yang tak kenal ampun.


