Salvador Cabanas Club AmericaAlfredo Estrella

Salvador Cabanas: Target Manchester United Yang Kariernya Hancur Akibat Diterjang Peluru

Hanya butuh hitungan detik bagi Salvador Cabanas untuk melihat dunianya runtuh.

Para pesepakbola pun tahu bahwa hanya dalam sekejap semuanya bisa berubah; seperti ligamen yang patah, engkel yang patah atau tidak disiplin bisa membuat karier yang awalnya menjanjikan dapat menjadi suram.

Namun dalam kasus mantan pemain internasional Paraguay itu, yang dimaksud bukan masalah cedera di atas lapangan yang menghancurkan mimimpinya. Melainkan sebuah peluru yang ditembakkan di sebuah kamar mandi kelab malam di Mexico City yang nyaris merenggut nyawanya.

Cabanas lantas membuat pemulihan ajaib dari serangan itu, tapi perjuangan sesungguhnya baru datang setelahnya.

Memasuki 2010, Cabanas tampak memiliki dunia yang menjanjikan di sepakbola. Tapi dia adalah pemain yang perkembangannya relatif terlambat di daerah di mana bakat seorang pemain muda cenderung diekspor di kesempatan pertama, dengan mulai bermain sepakbola secara profesional di kampung halamannya Itaugua, yang terletak di pinggiran ibu kota Paraguay Asuncion dan memperkuat 12 de Octubre.

Setelah itu ia menjalani karier pinjaman yang gagal bersama Guarani, di mana ia lantas dipulangkan ke 12 de Octubre. Sampai akhirnya ia pindah ke Chile dan kemudian Meksiko yang membuat Cabanas tampil moncer, dengan ia mencetak 29 gol dari 53 penampilan untuk Audax Italiano, dan kemudian 61 gol dari 106 penampilan untuk Chiapas.

Panggilan Paraguay pertamanya datang pada 2003, tapi ia menjadi pelapis pemain bintang seperti Roque Santa Cruz dan Nelson Cuevas dan harus puas duduk di bangku cadangan selama Piala Dunia 2006 sebagaimana negaranya tersisih di putaran pertama.

Tampaknya ada sesuatu yang diklik dalam perjalanan pulang dari Jerman, ketika, pada usia 25, Cabanas tiba-tiba meningkatkan performanya. Pada musim panas yang sama ia pindah dari Chiapas menuju raksasa Meksiko Club America, yang mendapati investasinya berbuah hasil karena sang pemain mencetak 29 gol di musim pertamanya.

Baik pada 2007 dan 2008, penyerang Paraguay itu finis sebagai topskor di ajang Copa Libertadores, selagi ia diganjar penghargaan Pemain Terbaik Amerika Selatan, menyusul Pele, Zico, Diego Maradona, Mario Kempes dan Socrates.

Bukan hanya Club America yang memetik untung; setelah hanya mencetak satu gol dari 14 caps jelang Piala Dunia 2006, Cabanas lantas berhasil menjaringkan tiga gol di Copa America 2007 dan enam gol lainnya untuk membantu Albirroja arahan Gerardo Martino mengamankan posisi tiga di kualifikasi Piala Dunia 2010 zona CONMEBOL, finis di depan Argentina, Uruguay dan Kolombia.

Cabañas PS

Pada saat penembakan, sang striker - yang dikenal sebagai El Mariscal (Laksamana) karena fisiknya yang tegap dan gagah, baru saja menolak kepindahan yang menggiurkan ke Eropa untuk tetap tinggal di Club America.

“Ketika semua ini terjadi, saya memiliki perjanjian pra-kontrak sebesar $1,7 juta (£1,35 juta) untuk bergabung dengan Manchester United atau klub besar lainnya,” katanya kepada ABC Color pada 2014. “Di America, gaji saya menjadi dua kali lipat dan mereka memberi saya sebuah apartemen di Acapulco dan satu lagi di Cancun hanya untuk menjaga saya tetap di sana.”

Pada malam 25 Januari, dengan masa depannya di America yang tampaknya aman, Cabanas dan istrinya pergi ke kelab malam di Mexico City, Bar Bar, di mana ia terlibat dalam pertengkaran dan, saat memasuki kamar kecil, ia terpojok, ditembak sekali di kepala dan hampir dibiarkan mati.

Berita tentang percobaan pembunuhan Cabanas mengguncang sepakbola Meksiko dan Amerika Selatan. Striker itu berbaring koma selama sepuluh hari, di ambang antara hidup dan mati, sebelum akhirnya sadar.

Dia menyatakan bahwa kondisi fisiknya yang sebelumnya fit menjadi pembeda - “Sepakbola menyelamatkan hidupku,” katanya kepada BBC - tetapi dia masih menjalani empat bulan perawatan dan rehabilitasi yang melelahkan sebelum diizinkan terbang pulang ke Paraguay. Peluru yang dimaksudkan untuk membunuhnya tetap bersarang di tengkoraknya sampai hari ini.

Adapun orang yang berusaha membunuh Cabanas dikenal di jalan-jalan Mexico City dengan nama 'JJ', Jose Jorge Balderas Garza. JJ diduga bekerja untuk pembunuh bayaran yang ditakuti yakni Edgar 'Barbie' Valdez Villarreal, yang pada saat penembakan menguasai Los Negros, kartel sayap bersenjata yang menyelundupkan obat-obatan terlarang.

Valdez, yang menjalani hukuman penjara 49 tahun di AS, mengaku melindungi Balderas di salah satu rumah persembunyiannya setelah serangan itu. Algojo penembakan itu juga dipenjara tahun lalu di Meksiko atas tuduhan yang berkaitan dengan kegiatan kejahatan terorganisir, tetapi ia tidak pernah diadili atas serangannya terhadap Cabanas.

Meskipun sang pemain awalnya optimis tentang peluangnya untuk kembali ke sepakbola profesional dan bahkan mulai berlatih pada awal 2011 dengan tim Asuncion Libertad, menjadi jelas bahwa kerusakan di kepala yang disebabkan oleh peluru membuatnya tidak dapat bersaing lagi di tingkat atas.

Tahun berikutnya, dia menerima sambutan bak pahlawan ketika pulang ke klub pertamanya 12 de Octubre, yang sekarang terjebak di tingkat ketiga sepakbola Paraguay.

Upaya terakhir Cabanas untuk memulai kembali kariernya datang pada 2014, bersama klub Serie D Brasil Tanabi, tetapi itu berlangsung kurang lebih sebulan karena menjadi jelas bahwa mantan pemain hebat Paraguay dan America itu tidak dapat mengimbangi rekan satu timnya.

Salvador CabanasSalvador Cabanas

Di luar lapangan, Cabanas juga menemui kesulitan.

Keputusan America untuk membatalkan kontraknya tak lama setelah penembakan itu memprovokasi pertarungan hukum yang sengit antara Cabanas dan klub, sementara kesengsaraannya diperparah pada 2011 ketika pemerintah Meksiko mengeluarkan surat perintah penangkapan atas tuduhan penggelapan pajak, yang diklaim oleh istrinya yang bernama Maria Alonso kepada Radio Monumental.

Cabanas, yang menuduh agen-agennya menggelapkan pendapatan hingga $17,5 juta selama kariernya, memutuskan kembali ke Itaugua untuk mencari nafkah di toko roti keluarga.

“Saya di sini, berusaha untuk pulih. Saya masih memiliki banyak keyakinan, meskipun kehilangan segalanya,” katanya kepada AFP pada 2014.

Sementara sang ayah menambahkan: "Kehidupan profesionalnya terputus pada puncak kariernya dan kemudian dia dimanfaatkan, oleh pasangannya, agen dan pengacaranya.”

Malam naas di Bar Bar itu merampas peluang Cabanas untuk mewakili Paraguay, sekaligus mencederai kesempatan negara itu untuk menurunkan tim terbaiknya dalam satu generasi di bawah pengawasan Martino, di Afrika Selatan 2010.

Terjangan peluru itu mengambil kesehatannya, mata pencahariannya dan keamanan ekonominya.

Sekarang di usia 39 tahun dan setelah kembali ke Paraguay seusai menjalani karier kepelatihan singkat di Meksiko, sang mantan striker menegaskan bahwa dia telah memaafkan pelaku penembakan Balderas, meski ia menghancurkan mimpinya bermain di Piala Dunia.

“Memaafkan harus datang dari hati," kata Cabanas, yang masih memiliki bekas luka di pelipis kanannya sebagai penanda tempat di mana proyektil itu menyerang, dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan Tigo Sports.

“Saya telah memaafkan mereka yang menyakitiku; itu memberi saya kedamaian.

"Saya hanya bisa berterima kasih kepada Tuhan karena telah memberi saya kesempatan kedua, dan saya terus menikmati hidup saya."

Iklan

ENJOYED THIS STORY?

Add GOAL.com as a preferred source on Google to see more of our reporting

0