Arsenal mendarat di markas Newcastle United dengan satu misi yang hukumnya wajib ditunaikan: menang.
Hal itu demi memuluskan takdir The Gunners untuk tampil di Liga Champions musim depan. Namun, tampaknya manajer Mikel Arteta sulit berjodoh dengan kompetisi kasta teratas Eropa itu alias masih perlu berlapang dada untuk kembali merasakan tampil di "liga malam Jumat".
Di laga itu, Arteta layaknya seseorang yang baru saja menyaksikan insiden kecelakan parah sebuah mobil. Wajah pucat pasi, mata hampa, bercampur perasaan stres, marah dan kecewa berat.
Tatapannya seperti orang kelimpungan yang tak tau arah jalan pulang. Arsenal bukan hanya kali ini saja menelan kekalahan di saat mereka teramat sangat membutuhkan tiga poin untuk mengangkangi bebuyutan abadi mereka, Tottenham Hotspur. Yang terjadi, mereka malah kalah, kalah dan kalah.
Dan Arsenal memang pantas kalah. Bagaimana determinasi, permainan serta mentalitas mereka, merupakan manifestasi bahwa tim ini memang layak kalah.
(C)Getty ImagesAnak-anak Arteta berjalan melewati lorong stadion St James' Park bak prajurit yang layu sebelum berperang mendengar gemuruh para loyalis The Magpies. Sepanjang laga, Arsenal seperti tak bisa berdiri di kaki sendiri. Di babak pertama, tim tamu hanya bisa bertahan dari gelombang serangan tuan rumah. Di 45 menit kedua semakin berantakan setelah Ben White mencetak gol bunuh diri.
Skuad Eddie Howe bisa saja berpesta tiga atau empat gol seiring penampilan dominan mereka. Namun, mereka cukup menutup laga dengan keunggulan ganda berkat gol dari sang idola baru, Bruno Guimares. Pemain internasional Brasil itu, yang ironisnya memilih gabung Newcastle ketimbang Arsenal pada Januari, merupakan penampil terbaik di laga malam itu.
Pertandingan ini memberi pemandangan bahwa seragam hitam-putih merupakan kekuatan yang akan terus meningkat di kancah sepakbola Inggris, sementara seragam merah-putih adalah tim yang terjebak di tempat yang sama selama 15 tahun terakhir.
Impresif ketika mereka dalam kondisi terbaik, terlalu lembek ketika mereka dalam situasi medioker. Itulah Arsenal.
Tatkala krisis datang, Arsenal sekali lagi kalah. Skenario semacam ini telah berlangsung bertahun-tahun, bukan hanya di zaman Arteta. Sang mantan asisten Pep Guardiola rupanya belum mampu membawa Arsenal ke level lain.
Getty"Biasanya, saya duduk di sini, saya bisa bertahan, tapi hari ini Newcastle 100 kali lebih baik dibandingkan kami di setiap lini. Dari awal sampai akhir, sungguh sulit untuk diterima," kata Arteta selepas pertandingan.
"Kami tahu [apa yang mesti diantisipasi dari atmosfer suporter St James' Park], namun kami tidak bisa mengatasinya. Kami tidak bisa bersaing. Kami tidak pernah hidup di laga ini. Kami menempatkan diri kami dalam masalah," sambungnya.
"Kami kalah dalam setiap duel. Newcastle pantas memenangkan pertandingan, mungkin dengan marjin yang lebih besar. Kami perlu untuk menang dan kami perlu kekalahan bagi mereka [Spurs]. Dalam sepakbola, apa pun bisa terjadi. Kami harus menundukkan kepala dan mungkin menelan setiap racun," keluh Arteta.
Ya, terasa brutal bagi Arsenal, yang membuang begitu saja peluang spot empat besar secara ceroboh dan akibat kelemahan mereka sendiri. Mereka kini diselimuti tekanan yang hebat.
Mungkin hanya mukjizat yang bisa memberi kekalahan bagi Tottenham saat menghadapi tim terlemah di Liga Primer Inggris, Norwich City, di pekan pamungkas nanti. Teramat sulit melihat Arsenal bisa melangkahi pasukan Antonio Conte kecuali dewi fortuna benar-benar memihak mereka.
Getty ImagesNewcastle menunjukkan mereka adalah tim yang sekarang jauh berbeda. Mereka pantas berpesta usai laga, karena ini merupakan kemenangan pertama menghadapi tim enam besar di musim ini.
Arsenal memang dipastikan tetap tampil di pentas Eropa musim depan [Liga Europa]. Namun kekalahan semacam ini -- terlebih kalah bersaing dengan rival abadi Spurs -- ibarat terdegradasi ke Championship alih-alih kembali merasakan Liga Champions setelah absen setengah dekade.




