Mustapha Hadji Morocco Cult Hero HIC 16:9GOAL

Mustapha Hadji: Maestro Maroko Yang Bikin Kagum Lawan Di Piala Dunia Prancis 1998

Berbagai daerah di Afrika membanggakan diri dalam mengembangkan pemain dengan tipe tertentu.

Kamerun bangga punya banyak kiper terbaik di benua tersebut, sementara Ghana meyakini mereka tidak ada tandingannya dalam memproduksi gelandang box-to-box yang berotot namun teknis.

Maghreb Afrika Utara, sementara itu, punya kebanggaan tersendiri karena menghasilkan playmaker yang sangat kreatif dan ofensif.

Artikel dilanjutkan di bawah ini

Dan dengan alasan yang bagus.

Riyad Mahrez adalah bakat mempesona terbaru yang muncul dari wilayah yang menghasilkan pemain-pemain dengan teknik dan visi tinggi seperti Lakhdar Belloumi, Tarak Dhaib, Sofiane Boufal, Yacine Brahimi, Mohamed Timoumi dan Ali Bencheikh.

Namun, meskipun semua pemain itu dihormati karena kemampuan menggiring bola, inovasi, dan menjadi pembeda dalam pertandingan sekejap mata, tidak satu pun yang benar-benar memukau di panggung Piala Dunia.

Di sinilah Mustapha Hadji berdiri sendirian di antara para maestro Maghrebin.

Legenda Maroko itu tidak diragukan lagi adalah salah satu bintang yang muncul dan menonjol di Piala Dunia Prancis 1998.

Mustapha Hadji Morocco 1998 World Cup GFXGetty/GOAL

Hadji hanya mencetak satu gol di turnamen tersebut, tetapi golnya yang apik ke gawang Norwegia di babak penyisihan grup memberi kita kesimpulan akan kualitasnya yang langka.

Ia mengejar umpan panjang Tahar El Khalej dan mengamati opsinya sebelum membawa bola dengan kaki kirinya dan kemudian dipindahkan ke kaki kanannya, menggocek Dan Eggen yang malang.

Dengan tipuan yang luar biasa, Hadji kemudian menyeret bola, mengelabhui bek Norwegia itu, sebelum melepaskan tembakan dengan kaki kanannya.

Dalam proses satu gol itu, kita melihat semua improvisasi, keseimbangan, ketangkasan, pergantian kecepatan, dan penyelesaian naluriah yang menjadi ciri khas penyerang terbaik Afrika Utara.

Maroko memang tidak membukukan hasil maksimal selama kampanye fase grup, terlepas dari kemenangan 3-0 atas Skotlandia, mereka gagal lolos. Tapi Hadji masih dihormati sebagai Pemain Terbaik Afrika 1998 dan ia tetap masih menjadi satu-satunya pemain Maroko yang memenangkan penghargaan itu.

Melejit bak superstar dan mungkin kariernya agak sedikit lebih cerah seandainya ia tidak memilih untuk pindah ke Coventry City yang cuma klub semenjana di Liga Primer Inggris setelah mengesankan di Prancis. Toh, waktu itu AC Milan dikabarkan tertarik untuk merekrutnya.

Namun, setelah berselisih dengan pelatih Deportivo La Coruna saat itu Javier Irureta, ia memutuskan gabung Coventry City senilai £4 juta, tiba di West Midlands bersama rekan senegaranya Youssef Chippo.

Akhir tahun 90-an ditandai dengan banyak talenta menarik dalam dunia sepakbola yang merambah sepakbola Inggris meski kala itu belum setenar sekarang, hanya karena iming-iming gaji besar dari Liga Primer.

Contohnya waktu itu, Juninho yang sangat berbakat gabung Middlesbrough, Paulo Wanchope memimpin lini depan Derby County, dan Benito Carbone menjadi bintang di Sheffield Wednesday.

Itu adalah saat yang menggembirakan, dan kedatangan Hadji di Coventry memicu optimisme bahwa Sky Blues benar-benar dapat memantapkan diri mereka sebagai klub papan atas, daripada terus-menerus bergelut dengan zona degradasi.

Coventry menganggap Hadji sebagai penyegaran tim dan datang dengan suasana bagus, gaya permainannya yang kasual namun berani dilengkapi dengan kuncir kuda longgar mulai terbiasa memakai jersey biru muda.

Ia tentu saja meninggalkan beberapa kenangan fantastis bagi para penggemar, tidak terkecuali tendangan setengah voli melawan Watford dan upaya sensasional melawan Arsenal di Boxing Day.

Hadji juga menghasilkan beberapa kombinasi yang mendebarkan dengan Chippo, yang menghasilkan performa tak terlupakan dalam kemenangan 6-1 atas Leeds United pada September 1999, dan juga menyaksikan demam Maroko menjadi pemandangan biasa di Highfield Road.

Lalu ada dua gol di babak pertama di Aston Villa, ketika menjadi kapten Coventry, yang untuk sesaat tampak seperti menyelamatkan klub dari keterpurukan pada 2001 tapi tetap turun kasta pada akhirnya.

Hadji jelas terlalu bagus untuk bermain di kasta kedua Inggris dan ia pindah ke Aston Villa, memenangkan Piala Intertoto di bawah asuhan John Gregory.

Namun, kedatangan David O'Leary sebagai manajer baru dan perubahan gaya permainan di Villa Park menjadi akhir dari petualangan Hadji di Inggris.

Cedera telah lama menjadi masalah baginya – ia dilaporkan pernah sangat ingin bermain untuk Coventry sehingga mengikat steak mentah ke kakinya yang memar – dan ia mengalami kesulitan di masa senja kariernya yang perlahan-lahan menghapus citra apiknya yang bertahan sejak memukau para lawan di Piala Dunia 1998. Hadji setelah itu berpindah klub di Spanyol, Jerman, Luksemburg, dan Uni Emirat Arab (UEA).

Namun, kecintaannya pada sepakbola membuatnya terus bermain hingga usia 40 tahun. Dan tidak mengejutkan melihatnya beralih ke dunia kepelatihan setelah memutuskan gantung sepatu pada 2010.

Memang, ia kembali ke Piala Dunia tahun ini, sebagai asisten pelatih Maroko, dan Hadji tentu berharap bahwa semua bintang yang berlaga di Qatar bisa menuai kesuksesan yang sama dengan sang maestro Maghrebin dan rekan-rekannya di edisi Prancis '98.

Iklan