Sempat ada optimisme ketika Manchester United merekrut Luis Nani dari Sporting CP pada musim panas 2007, dengan mereka mengharapkan hal yang sama seperti saat mendaratkan Cristiano Ronaldo.
Nani, yang waktu itu berusia 20 tahun, didatangkan dengan mahar €25,5 juta dan mencetak gol di penampilan kelimanya bersama Setan Merah dalam kemenangan 1-0 melawan Tottenham Hotspur di Liga Primer. Ia pun langsung menunjukkan selebrasi salto, untuk seolah-olah menegaskan dirinya jago.
Tanda-tanda awalnya baik untuk winger lincah satu ini, apalagi ia kerap dibandingkan dengan Ronaldo yang sudah lebih dulu memantapkan statusnya sebagai pemain menjanjikan di Old Trafford.
Keduanya bahkan mengukir sukses ketika menjadi juara Liga Champions dengan mengalahkan Chelsea pada 2008 di Moskwa, namun semuanya mulai berubah ketika Ronaldo mengamankan transfer ke Real Madrid di musim panas 2009.
Getty ImagesInkonsistensi Nani Dimulai...
Nani kemudian menjadi harapan baru Setan Merah di sektor sayap, memikul beban itu sendirian. Akan tetapi performanya sering angin-anginan yang bahkan membuat pemain senior seperti Rio Ferdinand jengah.
"Saya pikir hal yang paling membuat frustrasi adalah ketika Anda tahu Anda memiliki pemain di tim dengan kemampuan yang tidak diragukan - kemampuan hebat, memiliki segalanya - tetapi tidak secara konsisten mengeluarkannya di lapangan," kata Ferdinand, rekan setim Nani selama tujuh tahun.
Menurut Ferdinand, Nani memang tidak pernah belajar mengendalikan bakatnya. Apa yang ditunjukkan di sesi latihan, keterampilan memukau, dan tembakan keras, hanya sesekali direplikasi pada hari pertandingan, dan pemain sayap itu, sebagian besar, tidak memenuhi potensinya.
Ferdinand tidak sendirian dalam memegang pendapat ini. Pencarian sepintas untuk 'Nani yang membuat frustrasi' memunculkan hasil yang tak terhitung jumlahnya, dengan semua orang mulai dari jurnalis sepakbola hingga mantan pemain United lainnya menimpali dengan kata-kata serupa.
Dalam Bayangan Ronaldo
Meski ia memiliki kualitas yang jelas, Nani tak pernah bisa lepas dari 'belenggu' kehebatan Ronaldo, baik di level klub dan negara. Nama terakhir itu adalah 'dewa-nya' Portugal dan Nani seolah tenggelam karenanya.
Nani mungkin merasa kurang dihargai, namun yang pasti ia mencapai puncak terlalu cepat dan kehebatannya dibatasi oleh inkonsistensi sendiri.
Saat masa jayanya, pemain kelahiran Tanjung Verde itu adalah winger tricky untuk dihadapi yang tidak punya rasa takut untuk mencoba menciptakan peluang. Ia pun berkontribusi signifikan dalam kesuksesan United di akhir 2000 dan awal 2010.
Banyak penggemar (dan mantan rekan satu tim) masih akan memandang Nani sebagai salah satu pemain Liga Primer yang paling membuat frustrasi, tetapi terlepas itu semua, ia telah memberikan hiburan selama bertahun-tahun, mulai dari gol jarak jauh, dribel mengagumkan hingga selebrasi salto.
Kini di usia 36, Nani mulai hilang dari hingar-bingar kompetisi Eropa sebagaimana ia meneruskan kariernya di kompetisi zona Asia, tepatnya Australia, dan malah Ronaldo lah yang sekarang ikut dalam bayangannya dengan berkarier di Arab Saudi.


