Potensi bibit muda Indonesia sejatinya berada di level yang hampir sama dengan negara raksasa sepakbola Asia seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi talenta belia di Tanah Air kekurangan kompetisi sebagai wadah penting untuk mengasah kemampuan mereka.
Pendapat tersebut diutarakan delegasi Shonan Bellmare dalam lawatannya ke Indonesia pekan lalu. Perwakilan klub J1 League tersebut mengunjungi Jakarta sebagai bagian dari kerja sama mereka dengan ASIOP.
Kedua belah pihak berkolaborasi untuk mendirikan akademi J.League pertama di Indonesia dengan nama Shonan Bellmare Indonesia Soccer School yang resmi dibuka pada Mei tahun 2023 lalu.
Reputasi mentereng ASIOP dalam membina pemain belia meyakinkan Bellmare untuk menjalin kesepakatan ini. Seperti ASIOP, Bellmare juga dikenal sebagai produsen andal talenta muda Jepang. Gelandang Liverpool Wataru Endo dan Hidetoshi Nakata, ikon Jepang di era 90-an, adalah salah dua bintang top jebolan Bellmare.
Getty"ASIOP memiliki salah satu akademi terbaik di Indonesia,” ungkap Kiyoshi Sekiguchi, Director of International Business Development Shonan Bellmare, kepada GOAL.
“Mereka memproduksi banyak pemain tim nasional, dan mereka sempat mengunjungi kami di Jepang. Saat itu kami berdiskusi, dan mereka memiliki organisasi yang bagus, juga banyak pemain berbakat, dan karena itulah kami memutuskan untuk bekerja sama dengan mereka," imbuhnya.
Sekiguchi mengaku terpukau dengan skill yang dimiliki bibit-bibit muda Indonesia. Hanya, salah satu kekurangan yang perlu menjadi perhatian khusus adalah perihal kemampuan memahami taktik dan bermain secara kolektif. Ini sangat penting terutama saat mereka beranjak ke level profesional.
"Level pemain muda di Indonesia luar biasa. Teknik bagus, kecepatan, kelincahan, dan kontrol bola, semuanya fantastis,” kata Sekiguchi.
“Menurut saya untuk usia di bawah 15 tahun, pemain-pemain muda di Indonesia nyaris selevel dengan Jepang dan Korea Selatan, tapi setelah melewati usia itu pemain harus memahami taktik, bagaimana bermain sebagai satu unit, sebagai satu grup.”
“Secara individual (pemain Indonesia) tak ada masalah, tapi harus lebih berkembang secara kolektif. Sepakbola adalah permainan 11 lawan 11, bukan olahraga solo. Oleh karena itu, seorang pemain harus bekerja bersama rekan-rekan setim, jadi inilah (bermain secara kolektif) salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan pemain muda di Indonesia,” jelasnya.
Jepang telah memetik buah dari pembinaan terstruktur dengan keberhasilan tim nasional mereka di berbagai kategori umur. Teraktual, Jepang keluar sebagai juara di Piala Asia U-23 2024 usai menundukkan Uzbekistan 1-0 di final dan menorehkan sejarah sebagai tim pertama yang memenangi turnamen tersebut dua kali.
Sementara, Indonesia sendiri telah jauh melampaui ekspektasi dengan menembus semi-final di Qatar. Namun, tetap terselip sedikit kekecewaan setelah mereka menyerah 2-0 dari Uzbekistan di babak empat besar dan 2-1 kontra Irak dalam play-off perebutan peringkat ketiga meski memimpin lebih dahulu.
Kolega Sekiguchi, yaitu Shun Ogino selaku Board Of Director Shonan Bellmare, angkat topi untuk performa impresif Garuda Muda. Namun, selain faktor dewi fortuna yang belum berpihak, ia memandang Indonesia juga seharusnya bisa lebih baik dalam mengatur ritme permainan.
“Saya menonton laga Indonesia melawan Irak, dan secara pribadi saya pikir mereka tampil sangat bagus dan nyaris meraih kemenangan. Nyaris sekali,” tutur Shun Ogino.
“Selain karena kurang beruntung, saya pikir mereka sering tergesa-gesa. Terlalu terburu-buru. Mereka harus lebih tenang dan mengatur ritme permainan. Mereka sangat bagus dalam 10, 15 menit pertama, passing game mereka membuat tim lawan kewalahan. Tapi setelah itu mereka seharusnya bisa lebih tenang.”
Sekiguchi menimpali: “Mereka harus bisa membaca permainan. Apakah harus mempercepat atau memperlambat tempo.”
Lantas, apa tips agar pemain bisa lebih baik dalam hal ini? Tak ada jalan pintas. Sekiguchi menegaskan hanya jam terbang tinggi di level kompetitif yang bisa menghadirkan ini secara alamiah.
AFC“Hal ini (kemampuan membaca permainan) sulit diajarkan di akademi, tapi harus diperoleh secara alami lewat banyak bertanding dan jam terbang di lapangan,” tegas Sekiguchi.
“Setiap minggu di Jepang ada pertandingan untuk berbagai kategori usia, sepanjang tahun. Jadi pemain-pemain muda bisa belajar dari pertandingan, bagaimana mengatur tempo, bagaimana mengontrol emosi. Ini sulit dijelaskan oleh pelatih, melainkan harus dirasakan langsung oleh pemain,” urainya.
“Di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, ada turnamen junior, tapi biasanya berjalan singkat. Hanya satu bulan atau bahkan dua minggu dan menggunakan sistem gugur, yang berarti kalau sebuah tim kalah, mereka tak akan bertanding lagi.”
(C)Getty Images“Padahal idealnya kompetisi junior tersebut berlangsung semusim penuh dengan sistem liga sehingga pemain dan pelatih bisa memiliki kesempatan bertanding lebih banyak.”
“Saya tak tahu pasti situasinya, tapi menurut saya untuk perkembangan pemain muda yang bagus Indonesia membutuhkan liga resmi di level junior yang berlangsung sepanjang tahun,” pungkasnya.