A major part of United’s problems over the past nine years has been a lack of consistency over their managerial appointments.
Salah satu persoalan terbesar Man United selama sembilan tahun terakhir adalah pilihan manajer yang inkonsisten.
Dari Moyes ke Van Gaal, Mourinho, sampai Solskjaer, filosofi sepakbola mereka gonta-ganti melulu. Buntutnya, United terjebak dengan skuad gemuk, yang disusun secara serampangan oleh lima pelatih berbeda, termasuk oleh Fergie.
Segala ide sepakbola yang mereka coba gagal membuat fans beranjak dari kursinya: Van Gaal terlalu fokus pada penguasaan bola sampai jadi membosankan, sementara pendekatan pragmatis a la Mourinho sudah kuno dibandingkan dengan racikan Guardiola yang atraktif dan Klopp yang heavy metal.
Era Solskjaer menghasilkan berbagai kenangan indah dengan penampilan mendebarkan – tidak cuma kontra PSG – tapi taktik serangan baliknya tumpul melawan oposisi yang lebih lemah.
Ten Hag harus segera mengimplementasikan filosofinya sendiri – sekalipun tidak langsung membuahkan hasil.
Fans bakal sabar kalau mereka bisa melihat apa yang sebenarnya coba ia formulasikan – bahkan mungkin percaya bahwa jalannya adalah jalan yang tepat.
Solskjaer tahu betul bahwa klub ini sudah pernah mencicipi sepakbola mendebarkan yang bikin jantung berpacu saking semangatnya dan di momen-momen terbaik sang Baby Faced Assassin, itulah yang dia tawarkan. Sayangnya dia bukan pelatih yang cukup bagus yang bisa menyulap formula itu menjadi formula kemenangan yang konsisten.
Van Gaal dan Mourinho terlalu kolot untuk mengubah filosofi yang menghadirkan kesuksesan buat mereka di masa lampau.
Salah satu alasan terbesar Man United menunjuk Ten Hag adalah ideologinya yang kental di Ajax, dan sebaiknya pelatih asal Belanda itu bisa segera menerapkannya di Manchester. Salah-salah bernasib seperti para pendahulunya.