Getty Images Sport"Berlari Seperti Anjing" - Pernah Didekati Timnas Indonesia, Eks Manchester City Ini KAPOK Dilatih Pep Guardiola - Pilih Pensiun & Jadi Mahasiswa
Perjalanan Willhoft-King dan akhir yang tiba-tiba
Sempat masuk radar Timnas Indonesia U-17, karier Gabriel Han Willhoft-King kini berbelok ke arah yang tak disangka-sangka. Keputusannya untuk gantung sepatu pada usia 19 tahun mengejutkan banyak pihak yang mengikuti perkembangannya. Anak dari ayah dengan garis keturunan Inggris-India yang besar di Jakarta serta ibu berdarah China-Amerika ini menghabiskan lebih dari satu dekade di akademi Tottenham Hotspur sebelum pindah ke Manchester City U-21 pada 2024. Menimbang perkembangannya, menembus tim utama The Citizens seperti bukan angan-angan belaka. Ia pernah dilatih legenda Liga Inggris seperti Yaya Toure, ikut latihan bersama Antonio Conte di Spurs, dan sudah mengikuti latihan tim utama Man City.
Namun perjalanannya jauh dari kata mulus. Serangkaian cedera, termasuk cedera panjang tak lama setelah tiba di Etihad, merusak momentumnya. Ia pun frustrasi karena perkembangannya terus-menerus terhambat. Meski sempat membela Inggris di level U-16 dan berlatih di bawah nama-nama besar sepakbola, Willhoift-King tak pernah benar-benar menemukan ritme yang diperlukan untuk berkembang di level elite.
Di luar cobaan fisik, remaja kelahiran 2006 ini juga kesulitan dengan rutinitas dan motivasi sebagai pemain muda. Siklus berulang latihan–pemulihan–menunggu antar sesi membuatnya merasa bosan dan kurang terangsang, sekali pun kehidupan seorang pesepakbola yang demikian mungkin dicita-citakan banyak orang. Alih-alih terpacu untuk terus berjuang, ia justru semakin merasa bahwa sepakbola profesional tidak lagi memberi kepuasan yang ia cari, dan itu menjadi awal keputusan besar yang mengubah hidupnya.
Getty Images SportIntensitas latihan Guardiola ikut memengaruhi pilihannya
Dalam wawancara dengan The Telegraph, Willhoft-King mengenang pengalaman ikut latihan tim utama Man City bersama Pep Guardiola. Dia berkata: “Tottenham tim bagus, tapi Man City berada di level berbeda. [Kevin] De Bruyne, [Erling] Haaland… mereka pemain terbaik dunia. Tapi Anda juga sadar bahwa mereka manusia biasa. Mereka bercanda, saling menegur kalau salah. Tapi melihat Pep… dia sangat bergariah. Energi yang dia bawa, gerakan tangan, teriakannya. Luar biasa.”
Namun suasana itu justru menjadi beban mental: “Saya bukannya bilang lantas merasa kecewa, tapi jadi sadar ... latihan bareng tim utama menjadi sesuatu yang anehnya sebenarnya tak dinantikan oleh siapa pun, karena kami hanya melakukan pressing. Kami berlari mengejar bola seperti anjing selama setengah jam, satu jam. Bukan pengalaman yang menyenangkan, terutama jika Anda mencoba menekan De Bruyne atau [Ilkay] Gundogan atau [Phil] Foden. Tak bisa mendekati mereka, jadi perasaan capek dan enggan berlatih sudah lebih dulu menguasai sebelum sempat merasa kagum.”
Tentang kejenuhan yang akhirnya membuatnya menjauh dari sepakbola, ia berkata: “Saya tidak menikmatinya. Entah apa itu, mungkin karena lingkungannya. Saya juga sering merasa bosan. Latihan, pulang, lalu tidak melakukan apa-apa. Bandingkan dengan hidup saya sekarang… saya bahkan kekurangan waktu dalam sehari.”
Ia juga membagikan pandangannya soal karier di luar sepakbola: “Saya selalu merasa kurang terstimulus di sepakbola. Jangan salah paham, saya masih mencintainya tapi rasanya saya bisa melakukan lebih banyak hal. Saya seperti membuang-buang waktu setiap hari. Saya membutuhkan sesuatu yang berbeda dan Oxford membuat saya bersemangat. Orang-orangnya juga. Saya rasa itu alasannya.”
“Katakanlah saya memiliki karier di League One atau Championship … gajinya mungkin bagus. Tapi apakah saya menikmatinya? Dalam pikiran saya, saya tidak yakin. Paling banter Anda akan bermain selama 10–15 tahun, tapi setelah itu apa? Saya pikir berkuliah akan memberi saya fondasi untuk melakukan sesuatu setidaknya lebih lama dari 10 hingga 15 tahun ke depan. Jadi, ini juga masalah jangka panjang.”
Willhoft-King berpaling dari sepakbola demi karier baru
Willhoft-King sebenarnya sudah lama dianggap prospek istimewa. Tottenham merekrutnya dari klub akar rumput TFA, tempat ia bermain bersama Myles Lewis-Skelly dan Ethan Nwaneri, duo yang kini gemilang untuk Arsenal. Kemampuan teknik, kecerdasan, serta ketenangannya membuatnya menjadi salah satu gelandang paling diperhitungkan di kelompok usianya.
Bahkan ketika menyandang reputasi sementereng itu, Willhoft-King kerap bertanya-tanya apakah sepakbola saja cukup untuk memenuhi ambisinya. Dengan latar belakang keluarganya yang dekat dengan dunia pendidikan—termasuk sang ayah yang bekerja di bidang akademik—ikut membentuk pola pikirnya. Ia selalu merasakan daya tarik pada karier yang lebih membutuhkan daya intelektual. Ia menuntaskan A-level dengan tiga nilai A* sembari menjalani karier sebagai pesepakbola muda.
Ketika Manchester City menawarinya kontrak pada tahun 2024, ia menerimanya karena tak ingin menyesal seumur hidup. Tetapi cedera dan persaingan membatasi kesempatannya. Setelah mencicipi lingkungan elite di Spurs dan Man City, ia menyadari bahwa intensitas sepakbola profesional tidak selaras dengan tujuan pribadi atau kebahagiaannya. Hal itu mendorongnya untuk banting setir.
Getty Images NewsTetap bermain sepakbola di Oxford tanpa tekanan profesional
Kini Willhoft-King menjalani babak baru kehidupannya di Brasenose College, Oxford, dengan mengambil jurusan hukum. Ia masih bermain sepakbola untuk tim universitas dan tampil dalam duel klasik melawan Cambridge, tetapi tanpa tekanan kompetisi profesional. Hidup barunya memberinya rutinitas yang lebih seimbang dan memuaskan dirinya.
Keputusannya menjadi pengingat akan tantangan psikologis yang dihadapi para pemain muda di lingkungan sepakbola elite. Perjalanan Willhoft-King menegaskan bahwa bakat tidak selalu sejalan dengan kebahagiaan, bahkan di puncak piramida sepakbola sekalipun.
Iklan