Premier League Death of football GFXGOAL

"Saya Takut Sepakbola Akan Mati" - Akankah Liga Primer Inggris Membunuh Sepakbola Eropa?

Mungkin sebenarnya Andrea Agnelli patut diberi respek. Butuh nyali besar untuk naik ke panggung dan mengkritik kondisi sepakbola Eropa, sembari dipaksa resign dari kursi persiden Juventus buntut investigasi kriminal terkait manipulasi laporan keuangan.

"Saya percaya dan masih percaya bahwa sepakbola Eropa membutuhkan reformasi struktural untuk menghadapi masa depan," ucap Agnelli pada pidato perpisahan. "Kalau tidak, sepakbola akan mengalami penurunan tak terhindarkan, terempas oleh satu liga dominan yang selama beberapa tahun ke depan akan terus menimbun semua bakat-bakat di Eropa dan sepenuhnya memarjinalkan liga lain dan mereka yang memang sudah termarjinalkan."

Tentu saja Agnelli merujuk Liga Primer Inggris, dan sejujurnya poin yang ia sampaikan ada benarnya terkait dampak merugikan dari kekuatan ekonomi EPL.

Sehari setelah Agnelli resmi mundur, Deloitte merilis 'Football Money League' termutakhir, peringkat klub sepakbola berdasarkan pendapatan, dan mengungkap ngerinya dominasi klub-klub Liga Inggris.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih dari separuh 20 besar (11) dihuni oleh klub dari negara yang sama, sementara 80 persen anggota Liga Primer Inggris saat ini terwakilkan di 30 besar.

Keberadaan Leeds United sempurna menggambarkan kedigdayaan Liga Inggris. Mereka masih mendekam di Championship (kasta kedua) saat 2020 bergulir, dan tak berpartisipasi di kompetisi Eropa dalam 20 tahun terakhir, tapi mampu menduduki peringkat 18, di atas langganan Liga Champions seperti Benfica dan Ajax.

Bagaimana bisa? Hak siar. Khususnya hak siar internasional, yang nilainya meningkat sebesar €422 juta per musim (naik 26 persen di siklus 2022/23 sampai 2024/25 jika dibandingkan siklus 2019/20 sampai 2021/22).

"Pasar domestik masih cukup datar," kata asisten direktur Deloitte Chris Wood kepada GOAL. "Tapi Liga Primer Inggris mendapatkan lebih dari dua kali lipat dari hak siar dibandingkan anggota 'Lima Liga Besar Eropa' lainnya.

"Yang berhasil mereka lakukan selama 30 tahun terakhir adalah mengembangkan brand yang beresonansi dengan tak cuma pasar domestik, tetapi juga pasar internasional. Anggota lima liga besar lainnya kesulitan menirunya."

"Buntutnya, selama sekitar satu dekade terakhir, klub-klub Liga Primer Inggris unggul jauh dalam hal pendapatan dibandingkan rival-rival Eropa mereka."

Maka, sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana klub-klub Eropa lainnya memperkecil gap tersebut? Atau, mungkin lebih tepatnya: memangnya bisa diperkecil?

  • Florentino Perez Real MadridGetty Images

    "Kita sudah punya Super League kok"

    Penting untuk menggarisbawahi bahwa Liga Primer tidak melakukan aksi ilegal di sini. Mungkin efektivitas 'uji kelayakan' mereka boleh dipertanyakan, jika menilik pergantian kepemilikan yang sama-sama kita saksikan di London barat, Manchester, dan Newcastle semenjak pertumbuhan luar biasa EPL sejak 1992. Tapi sejujurnya, satu-satunya kesalahan Liga Primer Inggris adalah bahwa mereka terlalu sukses.

    "Alasan mengapa orang-orang seperti [presiden Real Madrid] Florentino Perez dan [presiden La Liga] Javier Tebas menebar hujan kritikan adalah karena mereka cemburu," kata Kieran Maguire, penulis "The Price of Football", kepada GOAL. "Dan itu karena sebenarnya kita sudah punya Super League – Liga Primer Inggris namanya."

    "Liga Primer melangkah dengan jitu di berbagai aspek selama bertahun-tahun dan itu terejawantah dalam pendapatan hak siar yang memecahkan rekor ini, yang lantas menciptakan lingkaran cuan. Makin banyak uang, makin menarik untuk pemain berbakat, makin menarik untuk penonton, yang mana makin menarik untuk investasi hak siar, dan lingkarannya berputar lagi..."

    "Saya ingat ketika sepakbola Inggris melihat Italia dengan pandangan penuh cemburu, karena semua talenta-talenta terbaik larinya ke Serie A. Tapi semua itu berubah, dan itu karena Liga Primer mengambil tindakan. Mereka mendatangi semua pasar-pasar luar negeri dan berkata, 'Ini lho, kami punya produk yang hebat' dan memberikannya secara cuma-cuma."

    "Namun lalu hal itu menjadi adiksi dalam hal siaran berbasis langganan. Liga Primer Inggris menjadi satu hal yang tak ingin dilepas oleh para pemirsa TV, sekalipun ekonomi sedang sulit."

    "Iya, penonton zaman sekarang memang suka film, serial televisi kolosal seperti 'Game of Thrones', tetapi sepakbola - mungkin karena bentuknya seperti drama live - memiliki daya tarik kuat untuk memikat penonton."

    "Dan klub-klub Liga Primer cukup cerdas untuk melakukan tur keliling dunia dan berinvestasi di pasar asing demi menuai lebih banyak pengikut dan fans, sehingga kita berada di situasi luar biasa di mana valuasi hak siar internasional Liga Primer Inggris melebihi valuasi hak siar domestik."

    "Coba tengok Serie A, mana ada yang menontonnya di luar Italia. Memang pernyataan hiperbolis, tapi secara relatif, dibandingkan dengan Liga Primer Inggris, pernyataan tersebut tepat."

    "Belum lagi Barcelona dan Real Madrid, yang jadi korban ketamakan sendiri karena mereka dahulu menjual hak siar secara individual, yang berarti pendapatan mereka lebih banyak, tapi rival-rival mereka tak kebagian. Hasilnya, sepakbola Spanyol jadi tidak kompetitif di luar Barca dan Madrid. Mereka menjadi satu-satunya pertunjukkan yang diminati pasar internasional. Jutaan pasang mata memang akan menonton El Clasico, tapi mana mau menyaksikan laga-laga selain laga Barca dan Madrid."

  • Iklan
  • Javier TebasGetty Images

    "Perbedaan budaya"

    Tentu saja Perez mengamini. Sudah berulang kali ia menyesali fakta Madrid tak punya kesempatan menghadapi raksasa-raksasa Eropa seperti Bayern Munich, Chelsea, dan AC Milan secara reguler.

    "Anda harus ingat bahwa Madrid adalah klub multi-olahraga," kata penulis dan komentator sepakbola Spanyol, Andy West, kepada GOAL. "Dan mereka punya tim basket yang bertanding di EuroLeague, yang formatnya sangat mirip dengan proposal Super League yang ngebet diajukan Perez."

    "Mereka bemain di pasar besar Eropa ini tiap pekannya sembari bersaing di kompetisi domestik. Jadi, Perez sudah punya model di depan mata yang berhasil untuk basket dan ia bertanya pada dirinya sendiri, 'Mengapa sepakbola tidak punya yang seperti ini?'"

    "Karena, ingat, Madrid dan Barcelona secara efektif adalah klub yang dimiliki fans jika menilik model kepemilikan mereka. Tentu saja mereka bisa disuntik investasi eksternal, tapi tidak sampai di level klub petro-dolar, di mana anggaran seolah tak terbatas."

    "Ada pula fakta bahwa financial fair play versi La Liga lebih ketat, dan ditegakkan dengan lebih keras, karena mereka ingin menggelar kompetisi yang berkelanjutan (sustainable). Jadi, Madrid dan Barca harus bikin-bikin inovasi, seperti tuas-tuas ekonomi Laporta, hanya demi bersaing di bursa transfer."

    "Jadi, ada faktor keolahragaan dan finansial di sini. Perez ingin Madrid bisa bersaing di dalam dan luar lapangan dengan klub-klub terbesar Eropa."

    "Tapi tentu saja masalahnya adalah derasnya oposisi terhadap Super League dari klub-klub La Liga dan La Liga itu sendiri, yang dipimpin oleh Javier Tebas. Ia mungkin merupakan pengecam Super League paling vokal, dan Anda bisa paham kenapa. Dua klub memfokuskan atensi dan sumber daya untuk Super League, tentu saja itu merusak kompetisi domestik."

    Dalam kondisi saat ini, La Liga mulai terseok. Entah apakah hasil buruk di Liga Champions musim ini (2022/23) menjadi pertanda awal dari tren mengkhawatirkan dari segi keolahragaan (Madrid satu-satunya tim Spanyol yang lolos ke 16 besar).

    Parahnya lagi, La Liga diyakini minim kesempatan bisa memperkecil gap dengan Liga Primer Inggris dalam hal pendapatan hak siar. Kepergian Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi berarti bahwa bahkan El Clasico kehilangan sedikit kilaunya.

    Namun, masih ada elemen budaya yang West bilang harus dipertimbangkan, setidaknya dalam hal valuasi hak siar domestik.

    "Orang Spanyol tidak menonton TV sesering orang Inggris, jadi mereka pengeluaran mereka untuk langganan TV tak sebesar mereka," jelasnya. "Di Inggris, Sky punya 12 juta pelanggan. Di Spanyol, Movistar, yang memegang hak siar La Liga, cuma punya 3 juta."

    "Jadi tentu saja pendapatan La Liga dari hak siar domestik juga lebih kecil karena valuasinya lebih rendah. Begitulah adanya. Ini bukan kritik terhadap La Liga atau Liga Primer. Orang-orang Inggris lebih sering menonton TV – sesederhana itu, perbedaan budaya yang seperti itu penting."

  • Anak muda zaman 'now'

    "Perbedaan budaya" sudah tentu signifikan. Baik Agnelli dan Perez berulang-ulang mengklaim bahwa anak-anak mulai tidak tertarik pada sepakbola; bahwa sepakbola harus berubah, atau setidaknya beradaptasi, jika ingin mendapat perhatian dari generasi muda.

    "Harus ada yang dilakukan karena anak muda zaman sekarang, mereka yang di usia 14 sampai 24 tahun, mulai meninggalkan sepakbola karena mereka menganggapnya membosankan jika dibandingkan dengan hiburan lain yang lebih mereka sukai," kata Tebas kepada AS.

    Marco Bellinazzo, penulis "The New Football Wars", sepakat bahwa ada masalah persepsi, dan berkata bahwa satu-satunya solusi adalah dengan "kembali menempatkan fans sebagai pusat sepakbola dunia."

    "Ada cara-caranya, seperti yang kita lihat di Inggris dengan pengenalan kembali tribun 'safe-standing' di stadion," menurutnya.

    "Ada pula perangkat-perangkat IT, seperti fan token – bukan cryptocurrencies– yang memungkinkan suara fans didengar dalam pembentukan identitas klub kesayangan. Tapi, intinya, harus diakui dan diterima bahwa sepakbola tak bisa direduksi menjadi hiburan belaka."

    "Sepakbola punya sesuatu yang lebih, semua itu berkat hasrat (passion) para penggemar, yang harus dilestarikan dan dipromosikan jika kita tidak ingin itu menjadi sekadar elemen hiburan yang setara serial televisi."

    "Ada risiko nyata mengalienasi anak muda, semua fans baru yang, menurut statistik, semakin bosan dengan format dan presentasi sepakbola klasik. Jadi, jika kita tidak memulihkan elemen emosional dari identitas dan hasrat penggemar muda, saya khawatir sepakbola akan mati – atau paling tidak sepakbola versi sentimental dan populer yang kita alami dari 80-an sampai 2000-an."

  • Lionel Messi Argentina 2022Getty Images

    Engagement & inovasi

    Jangan salah, sepakbola bukan lantas tiba-tiba kehilangan daya magis untuk menarik perhatian seluruh dunia.

    Media sosial menggila saat final Piala Dunia. Ryan Reynold menyebut sepakbola sebagai "sebuah kutukan indah yang jahat," Serena Willimas bercanda nyaris kena "serangan jantung", sementara LeBron James memberi hormat kepada sang GOAT, Lionel Messi.

    Oleh karenanya, cinta terhadap "The Beautiful Game" belum hilang. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa kompetisi seperti Serie A dan La Liga dalam bahaya sepenuhnya hidup di balik bayang-bayang raksasa komersial yakni Liga Primer.

    "Mengingat di mana posisi siklus kesepakatan hak siar saat ini, akan sangat mengejutkan jika empat anggota 'Lima Besar Liga Eropa' lainnya mendapat keuntungan materi yang bisa menutup jurang dengan Liga Primer dalam jangka pendek sampai menengah," aku Woods.

    "Sepakbola Eropa, pendapatan komersial dan pendapatan hari laga masih signifikan, tapi pendorong ekonomi terbesar sepakbola zaman sekarang adalah uang hak siar, uang TV. Jika Anda mendapatkan kesepakatan hak siar yang sangat sukses, dengan produk Anda disiarkan di nyaris 190 negara di seluruh dunia... Ya berarti produk Anda juga atrkatif untuk proposal komersial, makanya mengapa berbagai perusahaan berlomba-lomba menjadi sponsor klub Liga Primer, demi mendapatkan eksposur global."

    "Jadi bukannya liga-liga lain tidak menghasilkan pendapatan, hanya saja Liga Primer yang terlalu cuan, makanya mereka ngebut meninggalkan yang lainnya."

    "Terlebih lagi, menilik perombakan format Liga Champions yang akan datang, ada peluang realistis lima klub Inggris akan berpartisipasi di hampir setiap musim, dan itu akan kian mendorong pangsa pasar ke Liga Primer, yang lantas menyebabkan polarisasi yang lebih besar."

    "Jadi, demi menutup gapnya, liga-liga Eropa lain harus bisa menarik lebih banyak atensi dari penonton internasional. Mungkin itu berarti melibatkan fans luar negeri lewat cara yang agak berbeda, lebih inovatif dibandingkan dengan yang dulu, tapi juga berarti mempertahankan pesepakbola jempolan yang diminati penonton."

    "Jika Anda melihat Ligue 1, mereka punya banyak megabintang, tapi semuanya tergabung di satu klub saja. Selain itu, tak banyak nama yang beresonansi dengan audiens internasional."

    "Menurut saya ini mirip dengan Serie A, jadi ini soal mengembangkan dan mempertahankan pemain bintang. Jika berhasil, Anda bisa mulai membangun profil, bisa membangun cerita dan narasi soal itu, dan itu bisa membantu untuk menarik minat audiens luar negeri."

  • Granit Xhaka 2022-23Getty

    Liga-liga 'feeder'

    Tapi yang namanya ngomong memang gampang. Berkaca dari beberapa jendela transfer terakhir, klub Liga Primer Inggris beroperasi di skala finansial yang sepenuhnya berbeda dengan klub-klub Eropa lain.

    Bagaimana tidak? EPL menghabiskan hampir setara dengan kombinasi empat liga lainnya musim panas kemarin (€2,23 miliar dibanding €2,25 miliar). Mereka juga telah memecahkan rekor sebelumnya (£430 juta) dalam hal pengeluaran kotor di bursa Januari.

    Maka Agnelli benar, bahwa ada risiko nyata Liga Primer Inggris menyedot semua talenta terbaik dari segala penjuru Eropa. Atau bahkan sudah.

    "Gagasan bahwa Bundesliga menjadi liga 'feeder' mungkin sudah menjadi topik perdebatan sejak Granit Xhaka hijrah ke Arsenal pada 2016," kata pakar sepakbola Jerman Abel Meszaros.

    "Namun yang menarik sekarang adalah bahwa bukan cuma klub ngetop Inggris saja yang belanja pemain dari Jerman, klub-klub seperti Brentford dan Nottingham Forest pun juga."

    "Saya kira penutupan stadion dampak Covid-19 menghantam Bundesliga paling parah, mengingat pentingnya pendapatan hari laga bagi mereka. Jadi, di saat Bundesliga masih memulihkan diri dari kerugian besar, klub-klub Inggris sudah sehat lagi dan itu kembali menciptakan masalah di bursa transfer."

    "Menurut saya apa yang kita lihat adalah bahwa jendela kesempatan yang dimiliki klub Bundesliga untuk membeli pemain telah tertutup secara signifikan. Artinya mereka bukannya tak mampu mencari pemain, tapi bahwa waktu untuk merekrut pemain sebelum dicaplok tim-tim papan tengah atau papan bawah Liga Primer semakin sempit. Atau, bahkan ketika berhasil merekrut pemain-pemain ini, mereka tak bisa mempertahankan mereka cukup lama atas alasan finansial yang sama."

    "Yang tak kalah signifikan adalah bahwa bukan cuma pemain yang berbondong-bondong ke Inggris. Talenta-talenta struktural pun juga: pelatih, pemandu bakat, sampai direktur."

    "Maka, Bundesliga berada di posisi sulit. Klub selevel Borussia Dortmund saja kini bersaingnya dengan Leeds alih-alih Arsenal dalam perburuan pemain. Bahkan RB Leipzig juga punya kendala anggaran, dan model bisnis yang lebih diarahkan untuk menghasilkan uang lewat talenta yang mereka kembangkan sendiri."

    "Jadi klub-klub besar Bundesliga, kecuali Bayern Munich, bisa dibilang sudah menjadi klub 'feeder'."

  • Andrea AgnelliGetty

    'Super League satu-satunya solusi'

    Akankah Serie A, dan mungkin bahkan La Liga, menyusul Bundesliga? Rasanya tak terhindarkan jika melihat situasi sekarang.

    "Dari sudut pandang fans, sulit untuk membayangkan akhir bahagia atau kesetaraan ekonomi, karena para stakeholder harus bersatu dan bekerja sama untuk kebaikan yang lebih besar," lanjut West.

    "Harus dari Liga Primer sendiri yang mengakui bahwa dominasi mereka tidak sehat untuk sepakbola Eropa secara umum. Liga-liga lain juga harus mengakui bahwa Liga Primer tak bebuat salah sembari membagi kekayaan mereka dengan kompetitor satu liga demi meningkatkan kualitas kompetisi secara keseluruhan. Dan butuh tidakan dari UEFA untuk merawat semua klub dari semua liga di Eropa, alih-alih cuma berusaha memperkaya diri sendiri dan kompetisi mereka sendiri."

    "Intinya, semua pihak harus terlibat jika ingin mencapai kompromi, dan saat ini itu hanya bisa dianggap sebagai mimpi siang bolong. Yang lebih mungkin terjadi adalah pengadilan yang menentukan akan ke mana sepakbola Eropa melangkah."

    Begitulah. Meski dihajar sana-sini, para penyokong Super League bersikeras bahwa proyek mereka belum mati. "Cuma sedang ditunda," kata Perez dahulu.

    Sementara itu, di konferensi pers perpisahannya, Agnelli berkata ia masih berharap Majelis Agung dari Mahkamah Eropa (Grand Chamber dari European Court of Justice), yang akan merumuskan peraturan soal Super League di musim semi mendatang, "mengakui olahraga profesional sebagai industri", dan bahwa Madrid, Barca, serta Juve pada akhirnya akan dihargai atas "keberanian" mereka dalam menghadapi "ancaman dari UEFA".

    Sepertinya kecil kemungkinan trio pembangkang itu mundur. Mereka putus asa, dan tak melihat ada jalan keluar lain dari masalah masing-masing.

    Bellinazzo sepakat, berkata bahwa Liga Primer adalah "lokomotif yang bergerak dengan kecepatan berbeda dibandingkan yang lain". Menurutnya, mustahil kereta ini bisa disalip, "setidaknya tidak di bawah peraturan Financial Fair Play (FFP) yang sekarang, yang memperbolehkan 70 persen pendapatan dibelanjakan untuk gaji, skuad, dan area lain."

    "Pada dasarnya itu berarti klub dengan pendapatan €500 juta bisa membangun skuad yang lebih kuat dibandingkan dengan yang pendapatannya cuma €100 juta. Jadi, berkebalikan dari apa yang ingin mereka tegakkan, UEFA justru menciptakan liga-opoli lewat peraturan ini yang dihuni 10 atau 11 klub eksklusif, termasuk klub-klub besar Inggris, Bayern, dan PSG, yang terus menang dan menang di pertandingan, dan semakin kaya karenanya."

    "Maka, murni dalam konteks finansial tersebut, satu-satunya solusi untuk bertahan dari gempuran Liga Primer adalah lewat Super League, yang bisa meningkatkan pendapatan sepakbola Eropa. Menurut saya, UEFA semestinya mendukung solusi seperti ini selama ada distribusi pendapatan yang lebih setara. Namun, alih-alih, kita akan mendapati kancah sepakbola Eropa yang relatif semakin miskin dan miskin."

    "Bagaimana tidak, kita bergerak ke arah yang berbanding terbalik dengan olahraga Amerika, yang tak cuma semakin menarik tapi juga semakin kaya. Saat hak siar baru NFL dan NBA berlaku nanti, mereka akan mendapat omset €50 miliar per tahun, sementara sepakbola Eropa secara keseluruhan cuma menghasilkan €30 juta, meski memiliki basis penggemar yang lebih banyak di penjuru dunia. Ilustrasi ini menggambarkan pada Anda, bahwa untuk sepakbola, sebagai sebuah industri, ada sesuatu yang tidak berfungsi dengan benar."

  • Pep Guardiola Premier League trophy

    Perubahan tak terhindarkan lagi

    Harus ditekankan lagi, ini semua bukan salah Liga Primer. Kesuksesan mereka cuma semakin menyoroti kegagalan liga lain. Seperti yang telah terdokumentasikan dengan baik, Serie A, contohnya, dikelola dan dipasarkan dengan sangat buruk selama bertahun-tahun.

    Namun tak bisa dipungkiri ketimpangan ekonomi adalah masalah besar untuk sepakbola, dan bukan cuma di antara 'Lima Besar' liga Eropa saja. Jangan lupa masih ada ribuan klub dan kompetisi yang semakin tertinggal akibat distribusi kekayaan yang timpang dari puncak piramida sepakbola.

    Maka jadi menakjubkan, saat laporan baru dari L'Equipe mengklaim bahwa pengelola Super League kini mempertimbangkan mengundang klub dari negara lain, yang mana akan menjadi langkah cerdik untuk menghidupkan kembali megaproyek tersebut dengan dukungan liga-liga non-'Lima Besar'.

    Perez dan Agnelli juga menegaskan bahwa format baru ini artinya akan ada lebih banyak uang untuk semua pihak, dan bukan cuma untuk partisipan saja. Tapi mengingat keduanya berulang kali sudah terbukti didorong oleh kepentingan pribadi, sulit untuk skeptis terhadap klaim semacam itu.

    Namun, yang pasti, akan ada sesuatu yang dilakukan. Karena sejarah mengajarkan kepada kita bahwa uang dan keserakahan adalah agen perubahan yang kuat. Bukan kebetulan Liga Primer dan Liga Champions lahir di saat yang sama. Terlebih, terserah apa kata orang soal Agnelli, ia benar tentang setidaknya satu hal: sepakbola Eropa butuh REFORMASI.

    Seperti kata West, "Status quo saat ini cuma menguntungkan Liga Primer. Mereka senang dengan situasi sekarang. Dan itu bisa dimengerti. Tapi klub dan liga lain sama sekali tidak senang. Mereka membutuhkan perubahan dan akan melakukan segala cara dalam koridor legalitas untuk mewujudkannya."