Dan kemudian ada satu adegan yang membekas dalam ingatan setidaknya semua penggemar sepakbola Jerman yang hidup pada saat itu: Franz Beckenbauer, rambut ikal cokelat, jaket panjang yang menjuntai, tangan di saku celana panjang berwarna terang, medali emas di lehernya, berjalan perlahan melintasi lapangan Stadio Olimpico, termenung, sementara di sekitarnya para pemainnya merayakan dengan gembira seperti anak-anak, dikejar oleh fotografer. Momen kesendirian dan ketenangan yang intim di tengah kegilaan kolektif.
"Semuanya terasa begitu jauh. Meskipun ada begitu banyak sorak-sorai dan suasana yang begitu meriah. Saya hanya berada di lapangan, saya menyadari bahwa saya bergerak. Tapi saya merasa ada seseorang yang mendorong saya. Seseorang mendesak saya. Seseorang menarik saya. Tapi apa yang saya pikirkan saat itu? Saya tidak ingat. Mungkin saya sedang bermimpi," begitulah Beckenbauer sendiri menggambarkan momen-momen kesepian itu.
Tanggal 8 Juli 1990; Jerman baru saja menjadi juara dunia untuk ketiga kalinya, sebuah prestasi yang sebelumnya hanya diraih oleh Brasil dan Italia, dan pada malam terakhir Piala Dunia yang ajaib di Italia tersebut, sang legenda, Kaisar Franz Beckenbauer, akhirnya menjadi cahaya terang sepakbola Jerman sekaligus presiden tidak resmi sebuah negara yang sedang menemukan kembali jati dirinya.










