Vinicius Junior Real Madrid HIC 16:9Getty/GOAL

Vinicius Jr - Seorang Panutan Yang Tak Boleh Berhenti Menari

Sayangnya, kita mungkin seharusnya tidak terkejut dengan betapa impresifnya Vinicius Junior menghadapi situasinya pekan lalu.

Lagipula, ia memang pernah berada dalam situasi serupa. Beberapa kali. Ia tahu bagaimana harus bersikap pada tahap ini.

Pertama, mengalami pelecehan rasial. Kemudian, permintaan maaf yang tidak berarti dan disertai dengan klaim menyedihkan bahwa ada komentar yang telah disalahartikan atau diambil di luar konteks.

Artikel dilanjutkan di bawah ini

Pedro Bravo mencoba menjelaskan bahwa masalahnya dengan Vinicius Junior adalah kurangnya rasa hormat terhadap lawan-lawannya.

Tapi pemain Brasil itu tak kekurangan hal tersebut. Ia mungkin baru berusia 22 tahun, namun ia telah mengalami cukup banyak masalah rasisme, bahwa masalah Bravo adalah lebih karena warna kulitnya.

"Mereka mengatakan bahwa kebahagiaan yang ada mengganggu," katanya. "Kebahagiaan seorang kulit hitam Brasil yang sukses di Eropa jauh lebih mengganggu."

Sudah lama ada masalah dalam sepakbola dengan individu-individu tertentu yang tersinggung dengan bagaimana pemain kulit hitam mengekspresikan diri mereka, di dalam dan di luar lapangan: bagaimana mereka bertindak, apa yang mereka katakan, apa yang mereka kenakan, bagaimana mereka menata gaya rambut... Dan situasinya juga belum membaik.

Ingat, lebih dari tiga tahun yang lalu, Moise Kean merayakan gol melawan Cagliari dengan diam-diam tapi menantang berdiri di depan suporter dengan tangan terbuka lebar – respon yang kuat terhadap mereka yang telah melecehkannya secara rasial sepanjang pertandingan.

Moise Kean JuventusGetty Images

Namun ketika para penggemar tuan rumah yang marah menanggapi dengan ejekan yang lebih memuakkan, Kean dituduh memprovokasi penonton. Oleh rekan satu timnya sendiri.

"Saya pikir kesalahannya adalah 50-50," kata bek Juventus, Leonardo Bonucci setelah insiden tersebut.

Kurangnya dukungan bisa berdampak buruk. Mario Balotelli pernah mengakui bahwa ia sering merasa "sedikit sendirian" ketika menjadi sasaran pelecehan hingga membuat dirinya lelah, meragukan komitmennya apakah masih mau untuk terus membela Italia.

Syukurlah, rekan-rekan dan teman senegara Vinicius Junior segera melindungi sang penyerang Real Madrid.

Neymar, Eder Militao dan Pele semuanya menyuarakan dukungan mereka, sementara Bruno Guimaraes yang marah menyerukan agar Bravo dipenjara.

Reaksi dari para pemain Brasil tidaklah mengejutkan. Pesepakbola kulit hitam, secara umum, mengalami pelecehan mengerikan setiap minggu, tetapi Vinicius jelas merasa komentar Bravo sangat spesifik.

Pele Vinicius Jr tweetGetty Images

Ada penggemar, pakar dan tidak diragukan lagi beberapa pemain yang merasa pesepakbola Brasil tidak sopan dan tidak profesional, entah bagaimana lebih peduli pada gaya mereka ketimbang menghormati kode etik yang ada.

Bahkan terlepas dari penggunaan kata 'monyet' yang hina dan bermuatan rasial oleh Bravo, yang mendominasi berita utama, klaim bahwa kata samba cuma sekadar dalam 'sambodrome' justru menunjukkan ketidaktahuan sang agen terhadap budaya dan sejarah Brasil.

Seperti yang kemudian ditunjukkan Vinicius, ia tidak hanya menari untuk merayakan gol, ia melakukannya untuk memberi penghormatan kepada para pendahulunya, Ronaldinho.

Namun, ia juga memberikan penghormatan untuk " parapenyanyi funk Brasil dan penari samba, penyanyi reggaeton Latin, dan orang kulit hitam Amerika".

Diakui bahwa menari dan sepakbola adalah dua bentuk ekspresi yang memiliki sejarah bersama di Amerika Selatan.

Vinicius Paqueta Neymar Brazil GFXGetty/GOAL

Memang, bek legendaris Domingos da Guia pernah mengakui bahwa, sebagai anak kulit hitam yang tumbuh di Brasil tahun 1920-an, ia "takut bermain sepakbola".

"Saya sering melihat pemain kulit hitam dipukul, hanya karena mereka melakukan pelanggaran, atau terkadang karena sesuatu yang kurang dari itu," jelas Da Guia.

Namun, kakak laki-lakinya menunjukkan kepadanya bahwa seekor kucing yang terjatuh selalu mampu mendarat dengan kakinya dan bertanya kepada Domingos, "Apakah kamu tidak pandai menari?"

Ia bisa, jadi ia pun menjadikan menari sebagai bagian dari permainannya.

"Saya banyak mengayunkan pinggul saya," jelas Domingos. "Cara menggiring pendek yang saya ciptakan, yang berasal dari meniru miudinho, jenis samba itu."

Sebagaimana diuraikan dalam buku Alex Bellos 'Futebol', penulis Gilberto Freyre kemudian berargumen bahwa jenis inovasi yang diresapi budaya ini mengakibatkan orang Brasil mengambil alih sepakbola, permainan asal Inggris yang diperkenalkan pada awal abad ini, dan mengubahnya menjadi "tarian kejutan irasional" pada 1950-an.

Tentu saja, itu tidak lama sebelum penggemar sepakbola di seluruh dunia terpesona oleh 'Joga Bonito' Brasil, dengan sepakbola samba Selecao bersinar di setiap edisi Piala Dunia.

Garrincha, Pele, Romario, Ronaldinho, Rivaldo, Ronaldo, Neymar dan sekarang Vinicius – semuanya memainkan, atau memeragakan, permainan dengan flamboyan, riang dan penuh keinginan untuk menghibur yang memang melekat khas pada pemain Brasil.

Mereka tidak perlu minta maaf untuk itu, dan memang tidak seharusnya.

Ronaldinho dancingGetty/GOAL

Namun Neymar, misalnya, secara teratur menerima lebih banyak kritikan karena melakukan gerakan dan trik yang diduga tidak sopan yang kerap membuatnya terjatuh.

Jelas ada sesuatu yang sangat salah dengan prioritas sepakbola ketika para pemain dilarang menunjukkan keterampilan mereka atau sepenuhnya mengekspresikan diri mereka karena takut akan pembalasan brutal dari lawan yang malu.

Seperti yang ditulis Pele untuk mendukung Vinicius, "Sepakbola adalah kegembiraan. Ini adalah tarian. Ini pesta yang nyata. Meskipun rasisme masih ada, kami tidak akan membiarkan hal itu menghentikan kami untuk terus tersenyum. Dan kami akan terus memerangi rasisme dengan cara ini: memperjuangkan hak kita untuk bahagia."

Dan Vinicius melakukannya dengan cara terbaik: berfokus pada pendidikan, bahkan membangun sekolahnya sendiri untuk membantu anak-anak dari latar belakang kurang mampu.

"Saya ingin generasi berikutnya siap, seperti saya, untuk melawan rasisme dan xenofobia," katanya.

Karena orang-orang bodoh tidak akan habis dalam waktu dekat, seperti komentar Bravo dan nyanyian keji yang membayangi derby Madrid begitu menyakitkan untuk didengar.

Tapi Vinicius – pencetak gol kemenangan Madrid di final Liga Champions tidak kurang – juga tidak terlalu ambil pusing.

Vinicius Jr Real Madrid 2021-22Getty Images

Tentu saja, tidak sepatutnya ia berlarut memikirkannya, atau pesepakbola kulit hitam pada umumnya, untuk memimpin perang melawan rasisme, tetapi caranya menangani pelecehan itu benar-benar menginspirasi.

Semua kasus menyedihkan ini tidak dapat disangkal menjadi pengingat kasus yang sudah berjalan sudah sejak lama, menandakan tidak ada perkembangan pola pikir yang baik sejak 1920-an. Sepakbola memiliki masalah besar dengan rasisme, dan tinggal bagaimana otoritasnya menanganinya.

Namun, itu tidak menyurutkan semangan Vinicius. Ia menunjukkan bahwa Bravo dan mereka yang berpikiran sama tidak akan bisa menghentikannya. Ia tetap berdiri tegak dan, yang lebih penting, tetap bahagia.

Terlepas dari semua pelecehan yang ia alami, ia tetap tidak takut untuk bermain sepakbola seperti pemain Brasil pada umumnya, atau bahkan melakukan selebrasi dengan khas.

"Saya tidak akan berhenti menari," Vinicius bersumpah, "di sambadrome, di Bernabeu, di mana pun saya mau!"

Sebuah respons yang sempurna untuk para pelaku rasisme, dari sang panutan besar.

Iklan