Emerson Italy North MacedoniaGetty

"Terjebak 60 Tahun Di Masa Lalu" - Kegagalan Italia Menembus Piala Dunia

Italia untuk pertama kalinya dalam sejarah gagal lolos ke Piala Dunia dua kali secara berturut-turut. Kegagalan tersebut didapatkan usai Gli Azzurri dikalahkan Makedonia Utara 1-0 pada play-off di Stadion Renzo Barbera, Jumat (25/3).

Pemain senior Italia Giorgio Chiellini yang bermain selama enam menit dalam laga tersebut tak bisa menutupi rasa sedihnya. Ia sama sekali tidak menyangka Italia gagal melaju ke Piala Dunia Qatar 2022.

“Hanya ada kekecewaan besar tetapi kami harus memulai dari awal. Saat ini bahkan sulit untuk membicarakannya. Akan ada kekosongan besar," kata Chiellini.

Tak ada yang menyangka Makedonia Utara bisa menyingkirkan Italia. Mengingat, negara tersebut menempati peringkat 67 dunia dan Roberto Mancini itu berstatus juara bertahan Euro.

Chiellini pun kehabisan kata-kata untuk membicarakan hasil laga melawan Makedonia Utara. Lidahnya kaku dan pikirannya melayang jauh meratapi gagalnya Italia bermain di Piala Dunia tahun ini.

Sebetulnya Italia memegang kendali permainan dengan mencetak 32 tembakan berbanding empat. Namun semua itu percuma karena gol semata wayang yang dicetak Aleksandar Trajkovski pada 90+2 sudah cukup membawa Makedonia Utara menyingkirkan Italia.

Domenico Berardi punya kans besar untuk mencetak gol setelah kiper Makedonia Utara Stole Dimitrievski melakukan blunder. Akan tetapi, ia melewatkan kesempatan tersebut.

Kendati begitu, Berardi menjadi satu di antara pemain depan yang bersinar dalam pertandingan tersebut. Sedangkan, penyerang lainnya bermain melempem.

Misalnya, Ciro Immobile yang tampil oke bersama klubnya Lazio tapi tak bisa menunjukkan performa serupa di Italia. Pemain berusia 32 tahun tersebut terlihat dalam untuk mengejar bola.

Di sisi lain, Jorginho belum bisa melupakan kegagalan eksekusi dua penaltinya pada penyisihip grup kontra Swiss. Andai satu di antara sepakan 12 pas tersebut Italia tak perlu menjalani play-off.

"Saya masih memikirkan kesalahan-kesalahan itu. Hal Itu akan menghantuiku selama sisa hidupku," ucap Jorginho sambil berlinang air mata.

Bagaimanapun kegagalan Italia bukan karena satu atau dua pemain saja. Melainkan tanggung jawab semua orang yang ada dalam skuad tersebut.

Para pemain membayar harga untuk kesalahan yang dibuat di pertandingan sebelumnya. Ada pula persoalan selama bertahun-tahun yang perlu dibenahi.

"Kami menuai apa yang kami tabur. Kami banyak bicara, tetapi Anda tidak menyelesaikan masalah hanya dengan kata-kata," ujar Arrigo Sacchi.

Langkah kongret perlu dilakukan Italia untuk membenahi masalah ini. Satu di antaranya memproduksi pemain yang berkualitas sehingga siap mengasih kontribusi nyata.

Mancini memberi keputusan mengejutkan dengan memainkan Joao Pedro yang baru dinaturalisasi dari bangku cadangan. Pertandingan versus Makedonia Utara merupakan debutnya berseragam Italia.

Tujuan memasukkan Pedro karena Italia butuh gol. Akan tetapi, Mancini seolah lupa penyerang Cagliari tersebut belum mencatatkan namanya di papan skor Serie A selama dua bulan.

Lebih dari satu dekade permainan Italia tidak istimewa. Walau mereka mampu menjadi kampiun Euro 2020 setelah mengalahkan Inggris pada pertandingan final.

Perlu diingat bukan karena tidak lolos ke Piala Dunia dua kali secara beruntun. Italia belum pernah mencapai babak gugur sejak memenangkan ajang itu pada2006, setelah tersingkir dari grup edisi 2010 dan 2014.

Selain itu, tidak ada klub Italia yang memenangkan gelar Eropa besar sejak Inter Milan asuhan Jose Mourinho mengangkat Liga Champions pada 2010. Bahkan, di musim lalu tidak satu pun klub Italia yang mencapai perempat-final ajang tersebut.

Kesenjangan keuangan acap kali jadi alasan untuk kinerja yang kurang baik tersebut. Klub-klub Italia tidak didukung oleh negara-negara minyak atau didorong oleh kesepakatan hak siar TV raksasa seperti Liga Primer Inggris.

Kegagalan klub-klub besar Italia tidak bisa dimaafkan. Bagaimanapun, Atalanta, dengan anggaran kecil tetapi tetap solid sehingga bisa menembus perempat-final Liga Champions pada 2020. Sebaliknya, Juventus, penghasil pendapatan tertinggi kesepuluh di Eropa, telah tersingkir di babak 16 besar selama tiga tahun.

Tahun-tahun emas telah lama berlalu. Ketidakmampuan, korupsi, salah urus keuangan yang parah, dan kurangnya pandangan ke depan, membuat tim-tim Serie A berebut untuk mencoba memperbaiki posisi yang hilang dengan cara apa pun.

Sebagian besar stadion papan atas adalah aib. Benar-benar berantakan, namun birokrasi Italia membuat renovasi atau pembangunan markas baru yang hampir mungkin dilakukan.

Penggemar menjadi ogah-ogahan datang ke stadion. Mereka lebih memilih menyaksikan klub kesayangannya bermain dari televisi.

Liga Primer tahu betul cara untuk menghasilkan uang karena dipegang ahlinya. Sementara Serie A terlihat kebingungan dalam mempromosikan produk yang dijual.

Sebagai contoh, akun Twitter Serie A yang mestinya memakai bahasa Inggris. Hal tersebut agar menarik minat orang lebih banyak dari negara lain.

Perlu ada perubahan pola pikir yang menyeluruh, dari atas ke bawah. Cara-cara lama sudah tidak bisa dilakukan lagi untuk sekarang maupun masa depan.

"Sepakbola Italia menderita keterbelakangan budaya. Tidak ada ide baru. Negara-negara lain berkembang tetapi kita terjebak 60 tahun di masa lalu," tutur Sacchi.

"Saya akan mengatakannya dengan jelas: yang paling tidak bersalah untuk situasi ini adalah para pemain dan pelatih. Masalahnya di sini adalah institusional," Sacchi melanjutkan.

Satu di antara keluhan utama Sacchi adalah jumlah pemain asing di akademi Serie A dan ini tentu mengkhawatirkan. Seperti yang dikatakan oleh ketua federasi sepakbola Italia (FIGC) Gabriele Gravina, "Hanya sekitar 30 persen pemain tim muda adalah orang Italia."

Seperti yang dikatakan Gravina, persoalan itu tidak akan menjadi masalah besar jika talenta top mendapatkan waktu bermain di tim senior, tetapi nyatanya tidak. Menemukan penyerang berkualitas sangat sulit di klub besar.

Tidak heran jika skuad Mancini untuk melawan Makedonia Utara tak memiliki satu pun penyerang dari AC Milan, Juventus atau Inter Milan. Padahal, ketiga klub tersebut adalah nama besar di Serie A.

Mancini telah dikritik karena menjaga kepercayaan dengan orang-orang yang melayaninya dengan sangat baik di Euro. Akan tetapi itu tidak mengejutkan.

Ini akan menjadi pendekatan yang berani untuk bertaruh pada pemain muda yang jarang bermain di Serie A. Mengingat Mancini hanya punya sedikit waktu buat bekerja dengan mereka.

Sebetulnya, Mancini sempat meminta Serie A dihentikan untuk sementara waktu agar bisa menyiapkan skuad Italia yang oke menghadapi Makedonia Utara. Namun permintaan tersebut ditolak sehingga ia cuma punya waktu sehari penuh meramu pasukannya melakoni laga tersebut.

Investasi harus dilakukan di setiap sektor permainan. Italia bisa mengambil inspirasi dari cara Prancis, Jerman, Spanyol, dan Inggris yang merombak program pemain muda setelah kegagalan pada perhelatan internasional.

Iklan

ENJOYED THIS STORY?

Add GOAL.com as a preferred source on Google to see more of our reporting

0