OLEH YUDHA DANUJATMIKA
Semua orang tentu menginginkan dunia yang damai. Tak ada pertentangan, kesedihan, apalagi pertempuran. Oleh karena itu, banyak orang yang mengutuk adanya pertumpahan darah, tak terkecuali ketika hal tersebut terjadi dalam arena olahraga sepakbola.
Sepakbola, sebagai sebuah olahraga, tentu tidak diciptakan sebagai wadah untuk memicu perselisihan. Dilihat dari sudut pandang pemain, olahraga ini adalah sumber penghasilan. Sementara dari sudut para fans, sepakbola adalah sebuah ruang untuk "mundur" dari hiruk pikuk dunia dan bersorak mendukung tim kesayangan, sembari menikmati indahnya permainan. Singkatnya, tidaklah pantas terjadi pertumpahan darah di dunia sepakbola.
Tragedi di Istanbul, 5 April 2000, menjadi satu momen yang tepat untuk mengingatkan betapa pentingnya perdamaian dalam sepakbola. Kala itu -walau masih sering terjadi hingga sekarang- ada saja yang salah dalam mengarahkan fanatismenya. Mengaku sebagai fans setia sebuah klub, mereka malah mencoreng keindahan sepakbola dengan tindakan bodoh yang menumpahkan darah.
Tragedi jelang laga Galatasaray vs Leeds United
"Ini adalah tragedi! Semenit sebelumnya, saya bicara dengan direktur Galatasaray untuk mempromosikan keakraban antara dua klub dan setelahnya saya mendapat telepon yang mengatakan, ada masalah di kota dan seoranga fan terbunuh!" ungkap pemimpin Leeds United, Peter Ridsdale, saat mengunjungi Taksim Hospital, tempat di mana Christopher Loftus berada.
Semalam sebelum laga di Istanbul yang mempertemukan Galatasaray dan Leeds United, terjadi sebuah insiden berdarah. Menurut kabar, fans Leeds lebih dulu mengejek fans Galatasaray. Bentrok pun terjadi tak lama setelahnya. Dua orang tewas saat terjadi bentrok antar suporter, Christopher Loftus dan Kevin Speight yang menjadi korban adalah fans Leeds.
Sebuah stasiun televisi di Turki meliput bentrok yang terjadi di Taksim Square itu, di tengah-tengah distrik hiburan di Istanbul. Terdapat rekaman fans-fans Leeds yang dikawal oleh polisi dan beberapa skena yang menunjukkan para fans Turki marah dan berteriak pada para fans Leeds. Belakangan, baru dikabarkan Loftus yang tewas ditusuk sementara Speight -yang juga menjadi korban penusukan- tewas di rumah sakit.
Esoknya, laga leg pertama semi-final Piala UEFA [sekarang Liga Europa] itu tetap digelar dan ada waktu hening yang dilakukan oleh para pemain dan fans Leeds. Para pemain pun mengenakan ban lengan berwarna hitam dalam laga yang dimenangkan Galatasaray dengan skor 2-0 itu.
Kendati begitu, tragedi ini tidak mengurangi atmosfer intimidatif di Ali Sami Yen Stadium dan fans tuan rumah dikabarkan mencemooh satu pengumuman di stadion yang memberitakan tentang insiden berdarah tersebut. Polisi pun mencekal aksi ini dan melakukan pencabutan banner-banner yang bertuliskan "Welcome to Hell".
Pasca insiden
Sehari setelah insiden berdarah tersebut, bunga, syal, pakaian, dan penghormatan digelar di sekitar gerbang Elland Road. Patung eks kapten Billy Bremner di laur stadion juga diberi ban lengan hitam. Leeds United juga membangun satu monumen di Elland Road untuk mengingat mereka yang tewas dalam insiden tersebut. Laga Liga Primer kontra Arsenal, Minggu sebelum leg kedua digelar, dibuka dengan bentuk penghormatan pula. Di empat sudut Elland Road, para pemain Arsenal meletakkan bunga dan memberikan waktu hening sebelum laga dimulai sebagai penghormatan.
Leg kedua yang digelar pada 20 April 2000 pun mendapat satu tindak tegas dari UEFA. Fans Galatasaray tidak boleh hadir di Leeds, menyusul pernyataan pihak Leeds yang tidak ingin menjami keamanan para fans. Galatasaray mengajukan banding, meminta leg kedua digelar di tempat netral atau fans Leeds juga tidak diizinkan hadir, namun UEFA menolak.
Pemimpin Galatasaray murka mendengar keputusan ini, tapi Ridsdale jelas lebih murka mendengar tanggapan Galatasaray tersebut. Dengan keras, bos Leeds ini mengkritik pemimpin Galatasaray yang menunjukkan sikap tidak hormat dan memintanya mundur dari Piala UEFA kalau ia tak mau menerima sanksi yang terbilang "ringan" dari UEFA ini.
Bagaimana dengan pelaku penusukan? Mereka diadili dengan hukum kriminal dan sekitar enam orang dipenjara untuk jangka waktu yang cukup lama.
Sejarah kelam
Ketika Ridsdale mengatakan bahwa malam itu adalah malam terkelam dalam sepakbola. Tentunya tidak ada yang membantah. Bentrok yang memakan korban jiwa memang tidak seharusnya terjadi dalam sepakbola. Terlebih, hal tersebut merugikan nama baik kedua tim, dan lebih luasnya lagi membuat malu publik sepakbola.
Hal ini menjadi sebuah pengingat bagi para insan sepakbola. Pertentangan, terlebih yang berkaitan dengan fanatisme berlebihan, kiranya wajib dihilangkan di era sepakbola modern. Sebab sepakbola kini dan nanti adalah milik semua orang, bukan sekadar milik pihak-pihak tertentu.




