Apa Iya GOAT?! Inikah Tahun Terburuk Cristiano Ronaldo? Gagal Di Piala Dunia 2022, Karier Klub Kacau Balau

Akhir dari kampanye Piala Dunia 2022 Portugal terasa seperti yang dialami suporter Manchester United. Itu berakhir dengan Cristiano Ronaldo yang ngacir ke lorong stadion setelah mengalami kekecewaan menyakitkan.

Tidak ada tepuk tangan meriah untuk para pemenang. Tidak ada upaya untuk menghibur rekan satu tim yang kecewa. Tidak menunjukkan rasa terima kasih kepada pendukung di stadion.

Karena ini bukan tentang mereka. Ini semua tentang Cristiano Ronaldo. Seperti yang selama ini terjadi.

Bahkan sebelum turnamen di Qatar dimulai, Fernando Santos dan Bruno Fernandes menunjukkan tanda-tanda frustrasi yang terlihat karena media lebih menyoroti sang kapten Portugal.

Ronaldo bahkan sampai muncul tiba-tiba dalam sebuah konferensi pers untuk meminta para jurnalis berhenti bertanya kepada rekan setimnya tentang dirinya.

Tapi sulit untuk mencegah itu. Ronaldo jelas akan selalu menjadi sorotan. Ia adalah berita utamanya. Terlebih dirinya sendiri yang membuat situasi seperti itu, setelah melakukan wawancara yang eksplosif dengan Piers Morgan hanya beberapa hari menjelang Piala Dunia dimulai.

Tujuan dari wawancara itu tercapai, tentu saja. Dengan mengecam hampir semua orang yang ada di Manchester United, ia berhasil memaksa klub untuk melepaskan dirinya, yang memang sangat diinginkannya sejak musim panas lalu.

Namun, itu tidak disambut baik oleh beberapa rekan satu timnya. Ronaldo menerima sambutan yang sangat dingin dari Fernandes, rekan senegaranya sekaligus di United.

Namun, bahkan ketika Joao Cancelo tampak mempermasalahkan Ronaldo dalam latihan, menjadi jelas bahwa semuanya tidak baik di internal Portugal.

Ronaldo telah menciptakan distraksi yang sebenarnya tidak perlu ada, Portugal sebenarnya bisa menjalani turnamen dengan tenang dan menjaga peluang untuk juara apabila tidak ada semua hingar bingar yang terjadi seperti sekarang ini.

Ada harapan ketika Piala Dunia dimulai, segala kontroversi bisa menjauh dari skuad Portugal. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

Sudah jelas selama beberapa tahun belakangan bahwa usia menggerogoti Ronaldo, yang sebenarnya wajar saja. Ia berusia 37 tahun. Ia tidak bisa lagi melakukan apa yang pernah ia lakukan. Ia sendiri mengakuinya. Jadi, ia membuang trik-trik olah bolanya ketika masih muda dengan fokus pada mengasah ketajaman di muka gawang.

Permainannya ketika masih muda tidak cocok untuk era modern, yang membutuhkan semua pemain terus bergerak dan memberi tekanan pada lawan bahkan untuk posisinya di lini depan.

Namun, yang mengejutkan, penurunan yang dialami Ronaldo terjadi begitu cepat dalam beberapa bulan terakhir.

Ia memang mencetak 32 gol untuk klub dan negaranya musim lalu. Tapi musim ini, ia baru mampu mencetak empat gol sejak Agustus, setengahnya tercipta lawan tim yang relatif lemah, Sheriff di Liga Europa.

Penurunan tersebut sangat dramatis sekaligus menakutkan. Sama seperti kita menonton seorang petinju tua yang kelelahan di atas ring.

Selalu ada anggapan bahwa ia tidak akan cocok dengan skema Manchester United di bawah Erik ten Hag, jadi tidak mengejutkan bahwa manajer asal Belanda itu menilai taktinya berjalan lebih baik tanpa Ronaldo sebagai starter.

Tapi, yang tidak kita duga adalah, Santos, pelatih Portugal, juga berpikiran sama seperti Ten Hag dan terlihat di Piala Dunia kali ini.

Portugal tampaknya memiliki cukup banyak penyerang pekerja keras, seperti Fernandes, Joao Felix dan Bernardo Silva, untuk mengimbangi kurangnya mobilitas Ronaldo.

Namun, terlihat jelas selama babak penyisihan grup, bahwa keberadaan Ronaldo menjadi penghambat alur serangan Portugal.

Ronaldo mungkin memang mencetak gol saat lawan Ghana di laga pembuka fase grup, melalui titik putih, tapi kontribusinya secara keseluruhan sangat minim.

Parahnya lagi, ia tidak lagi bisa memberikan ancaman serangan sama seperti dulu. Waktunya saat menyambut peluang sering terlambat. Berulang kali terperangkap off-side. Bahkan sentuhannya juga mengecewakan.

Malah ada anggapan bahwa Ronaldo menjadi starter saat lawan Korea Selatan di laga terakhir grup hanya karena Santos memilih untuk mencadangkan sebagian besar pemain tim utamanya.

Penggemarnya tentu berharap bahwa penurunan yang dialami Ronaldo disebabkan karena kurangnya menit bermain dalam beberapa bulan terakhir di United karena kerap dicadangkan. Masih banyak yang menganggap Ronaldo sama seperti dulu asalkan sering diberi kesempatan tampil.

Ternyata tidak seperti itu. Ronaldo malah mengalami mimpi buruk, malah menjadi penyebab Korea Selatan bisa membalikkan keadaan dan mengalahkan Portugal.

Ketika ia ditarik keluar, ia bereaksi dengan menunjukkan ketidakpuasan terhadap Santos. "Anda selalu terburu-buru untuk melepasku," gumamnya pada dirinya sendiri.

Momen itu jelas menjadi "makanan" media yang tidak diinginkan oleh Santos. Tapi sebenarnya reaksi buruk Ronaldo itu memang ditunggu oleh sang pelatih, karena bisa memberinya alasan untuk mencadangkan sang kapten dalam duel 16 besar lawan Swiss.

Keputusan Santos itu jelas diperbincangkan banyak orang. Itu menempatkan dirinya dan para pemainnya di bawah tekanan yang sangat besar, tapi mereka justru tampil seolah-olah tanpa beban dan sukses menang besar atas Swiss.

Pengganti Ronaldo, Goncalo Ramos, mencetak tiga gol dan membuat satu assist di Piala Dunia pertamanya. Dengan demikian, tidak ada peluang Ronaldo dipanggil kembali untuk pertandingan perempat-final melawan Maroko.

Memang, ia ada di bangku cadangan ketika Youssef En-Nesyri membuka skor bagi wakil Afrika tersebut dengan sundulan tinggi yang menjadi ciri khas Ronaldo.

Harapan Santos adalah bahwa Ronaldo bisa menghasilkan sesuatu seperti dulu ketika ia dimasukkan di awal babak kedua lawan Maroko. Ia tetap diharapkan menjadi sosok yang penting, tapi cuma memiliki 10 sentuhan bola. Ronaldo jelas sudah bekerja keras. Tapi Ronaldo sekarang bukan Ronaldo yang dulu.

Sekali lagi, tidak perlu malu untuk mengakuinya. Usia memang tidak bohong. Ditambah, seperti yang diutarakan Mesut Ozil, Ronaldo telah memiliki banyak rekor yang luar biasa dan akan sulit untuk dilampaui. Sementara mantan rekannya di Juventus, Merih Demiral bersikeras: "Ronaldo adalah GOAT dan akan selalu seperti itu. Tidak ada yang berubah."

Tapi itu tidak benar, kan? Kedudukannya dalam sejarah sepakbola memang tidak akan tergantikan. Ia adalah Mr. Liga Champions. Ia telah memenangkan lima Ballon d'Or. Tidak ada pemain lain yang mencetak gol lebih banyak darinya di kancah internasional.

Seperti yang suka dikatakannya, statistik yang berbicara.

Tapi tidak ada gol yang tercipta dari permainan terbuka selama Piala Dunia juga menjadi cerita tersendiri, dan ini adalah kisah frustrasi dan petualangan buruk dengan akhir yang mengecewakan dan sukar dilupakan.

Warisan Piala Dunia Ronaldo tidak dapat disangkal telah ternoda oleh kampanye tahun ini yang berakhir dengan bencana, seperti reputasinya di Manchester sebelumnya, karena kita telah melihat keegoisan, kemarahan, dan perilaku tidak profesional yang serupa.

Bahkan mereka yang telah menggambarkan individualisme dan perilaku kekanak-kanakannya sebagai efek samping yang tak terhindarkan dari pengejaran Ronaldo terhadap kesempurnaan tidak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar wawancaranya dengan Piers Morgan.

Qatar 2022, kemudian, dimaksudkan sebagai panggung Ronaldo untuk membungkam kritikan. Maksudnya Ronaldo bisa membalas semua yang mencelanya, tapi malah sebaliknya, ceritanya makin buruk.

Secara tidak langsung, Piala Dunia kali ini menjadi bencana dari sisi pencapaian olahraga dan juga hubungannya dengan publik.

Dan, ia juga mengetahuinya.

Ia sangat ingin meninggalkan lapangan secepat mungkin usai kalah dari Maroko, namun air mata tak kuasa ditahannya bahkan sebelum ia benar-benar keluar dari lapangan.

Ronaldo sangat menyadari pentingnya momen itu. "Mimpi itu berakhir," seperti yang ia katakan sendiri. Semuanya sudah berakhir.

Kampanye Portugal di Qatar. Ambisi terakhirnya untuk memenangkan Piala Dunia. Dan klaimnya atas reputasi sebagai pesepakbola terhebat sepanjang masa. Semuanya pupus.

Akan selalu menjadi momen yang sulit dilupakan oleh Ronaldo, mencapai babak akhir dalam kariernya dengan penuh kekecewaan.

Iklan