PENULIS: YUNITA ARIFIN
Setiap fans sepakbola Inggris kala itu pasti menyimpan ruang khusus di hati mereka untuk Joseph John “Joe” Cole. Alkisah, pria yang lahir dan besar di London tersebut merupakan salah satu harapan terbesar bangsa yang digadang-gadang akan menjadi pemain bintang.
Tidak peduli berapa banyak orang yang memperingatkan agar tidak menumpuk terlalu banyak tekanan di bahu pemain muda, publik sepakbola Inggris tak bisa menahannya.
Dikenal sebagai gelandang serang yang cerdas, serbabisa, dan berbakat secara teknis, Joe Cole mampu bermain di beberapa posisi seperti gelandang serang, ataupun pemain sayap yang andal. Pada masa jayanya, Joe Cole pernah memperkuat klub-klub yang berlaga di kasta tertinggi di Liga Inggris seperti Chelsea dan Liverpool.
Untuk pemain yang kerap dielu-elukan, keputusan bergabung dengan klub Divisi Championship, Coventry City, dengan status pinjaman dari Aston Villa pada 2016 silam, agaknya mengejutkan banyak pihak.
Bahkan akun Twitter resmi Coventry City saat itu tampak tidak percaya kala klub tersebut berhasil mendapatkan jasa Joe Cole.
“Selamat pagi fans Coventry City! Jika Anda baru saja bangun, Anda tidak bermimpi. Ini (transfer Joe Cole) benar-benar terjadi,” cuit akun Coventry City.
Getty ImagesSempat memenangi tiga gelar Liga Primer Inggris, tiga Piala FA, dua Piala Liga Inggris, dan 56 cap di timnas Inggris, sepintas transfer ini terlihat hanya menguntungkan pihak Coventry. Tetapi keduanya, baik Cole dan Coventry memiliki kesempatan emas untuk melakukan sesuatu yang luar biasa. Cole membutuhkan klub usai tak menjadi pilihan utama di skuad Aston Villa, sedangkan Coventry perlu daya gedor Cole untuk memperebutkan tiket promosi ke kasta pertama Liga Inggris. Win-win solution!
Joe Cole adalah pemain jebolan akademi West Ham yang bergabung sejak usia sembilan tahun. Sewindu kemudian, tepatnya pada 1998, Cole berhasil menembus skuad utama The Hammers, namun karena masih berstatus pemain junior sehingga pada musim selanjutnya ia masih berlaga di ajang Piala FA Junior. Di kompetisi itulah pamornya kian meningkat dan menjadi topik pemberitaan di media-media Inggris.
Menekuk Coventry City sembilan gol tanpa balas dalam dua leg pada final Piala FA Junior, Joe Cole bermain menakjubkan dan memamerkan semua kualitas yang dimilikinya sebagai pemain: kreativitas, bakat, kemampuan teknis, visi dan kepercayaan diri yang menggebu. Yang paling berkesan adalah bagaimana dirinya mengologi beberapa pemain Coventry, serta melakukan tendangan rabona. Ia adalah paket komplet pemain trequartista, sang penguasa tiga perempat lapangan.
Setelah membuat beberapa penampilan memukau musim 1998/99, ia menjadi pemain yang tak tergantikan dari tim utama. Joe Cole menunjukkan kepemimpinan yang hebat di West Ham, selalu bersedia menerima umpan dan bertanggung jawab mengawal sektor sayap, terkadang turut berjibaku untuk mempertahankan bola.
Kedewasaan ini membuat pelatih West Ham, Glenn Roeder memberinya ban kapten pada usia 21 tahun. Bakatnya sudah cukup untuk memberinya penghargaan Hammer of the Year pada tahun 2003, tetapi tidak cukup untuk mencegah tim masa kecilnya terlempar ke zona degradasi.
Ia kemudian hengkang ke Chelsea dengan biaya transfer £7,7 juta, di mana Cole diberi label "Gianfranco Zola baru" oleh Claudio Ranieri. Namun pada musim pertama mendarat di Stamford Bridge, penampilan Joe Cole di bawah ekspektasi. Dirinya masih belum menemukan ritme yang tepat dalam skuad The Blues, Cole membuat 50 penampilan di semua kompetisi, dan lebih dari setengahnya dimulai dari bangku cadangan.
Getty ImagesBarulah saat kedatangan Jose Mourinho pada Juni 2004, era terbaik dalam karier Joe Cole dimulai. Setidaknya ada dua hal yang membantu Cole menemukan kembali semangatnya di Chelsea. Pertama, John Terry pada saat itu meminta salah satu analis video untuk mengumpulkan kompilasi semua highlight gelandang top dunia untuk mengingatkan Cole tentang kemampuannya yang unik.
Tapi, titik balik utama datang pada Oktober 2004, saat dirinya berjalan keluar lapangan di Stamford Bridge setelah mencetak gol kemenangan kontra Liverpool, Cole mendapat kritik pedas dari Mourinho karena kurang defensif. “Dia memiliki dua wajah – satu indah dan satunya yang saya tak suka,” kata Mourinho. “Dia harus mempertahankan satu dan mengubah yang lainnya.”
Tipu daya serta kemampuan Cole untuk menghadapi pemain dalam situasi satu lawan satu menjadi sumber gol dan assist yang dapat diandalkan. Dia mengakhiri musim dengan sembilan gol dalam 46 penampilan. Yang terpenting, ia mengantongi medali juara Liga Inggris musim itu.
Musim berikutnya berlangsung dengan cara yang sama, dengan kepercayaan penuh dari Mourinho. Pele pernah memujinya sebagai pemain yang memiliki keterampilan Brasil – tahu kapan harus melakukan trik dan kapan tetap bermain natural, layaknya Ronaldinho.
Catatannya di tim nasional Inggris pun cukup mengilap. Yang paling diingat ialah gol cantiknya ke gawang Swedia pada matchday kedua Grup B Piala Dunia 2006. Saat itu Joe Cole membawa Inggris unggul lebih dulu lewat tendangan voli yang tajam. Sepanjang membela The Three Lions, Cole catatkan 56 penampilan serta sepuluh gol.
Masuk dalam jajaran PFA Player of the Year, musim 2005/06 menjadi puncak karier Cole, ia turut menjadi Chelsea Player of the Year saat mengakhiri musim dengan torehan dua digit gol dan assist.
Musim 2008/09 menandai keterpurukan Cole saat ia menderita cedera lutut yang cukup parah, yang berarti waktunya di lapangan sangat terbatas. Musim berikutnya juga tidak menyenangkan karena dia tidak punya banyak waktu bermain dan menolak untuk perpanjangan kontrak.
Berstatus bebas transfer, Joe Cole kemudian merapat ke Liverpool. Ini menjadi keputusan terburuk yang pernah ia ambil, bahkan Cole secara terang-terangan menyesalinya setelah meninggalkan klub pada 2013. Ia memulai debutnya bersama Liverpool di liga dengan kesan yang sangat buruk, di mana Cole diganjar kartu merah karena menjegal Laurent Koscielny.
Getty ImagesCatatan buruk ini terus berlanjut dengan kegagalan mengeksekusi penalti dalam pertandingan kompetitif berikutnya. Liverpool seharusnya menjadi kesempatan bagi Cole untuk membangun kekuatan kreatif yang selalu dia janjikan, tetapi itu tidak pernah terjadi, Ia hanya tampil kurang dari 30 laga dalam dua musim penuh di Anfield.
Dia kemudian dikirim dengan status pinjaman pada musim berikutnya ke Lille, di mana ia terbukti menjadi sosok yang populer, dan di mana ia bisa dibilang mampu memulihkan potensinya sebagai playmaker.
Sebagai pelengkap skuad Lille di Liga Champions, Cole nyaris tidak pernah mengandalkan kecepatan dan menyerang di belakang bek, padahal dia membutuhkan kecepatan kaki yang memungkinkannya menggocek bola dengan cepat. Hingga saat dirinya kembali ke West Ham pada 2013/14, Cole masih belum bisa mengembalikan kejayaannya seperti saat berkostum Chelsea.
Tampaknya cedera dan faktor usia menjadi kendala utama dalam mempengaruhi performa Cole karena ketajamannya mulai terkikis. Dia lebih mirip spatula dibandingkan sebuah pisau bedah.
Dia mengalami nasib yang sama di Aston Villa. Kans bermainnya di Villa Park bahkan lebih minim ketimbang periode keduanya berkostum West Ham United. Meski begitu, Cole memperoleh pujian dari manajer Tim Sherwood atas pengaruh positif yang diberikannya kepada Jack Grealish.
Dari Villa, Cole lagi-lagi harus pindah dengan status pinjaman, kali ini cukup mengejutkan sebab ia turun dua tingkat ke klub League One Inggris, Coventry City, sebelum dipermanenkan pada musim selanjutnya. Joe Cole bersikeras dia uang bukan faktor yang mendasari transfernya menuju Coventry. Ia bergabung dengan Sky Blues lantaran sangat ngebet untuk bermain lagi.
"Jika saya datang ke sini untuk mendapatkan uang, saya tidak akan berada di sini. Saya telah bermain di era di mana kami sangat beruntung dan kami menghargai itu sebagai pemain sepakbola,” kata Cole kepada The Guardian.
Dua musim membela Coventry City, Joe Cole hanya mampu mencetak dua gol dari 22 penampilannya. Hingga pada akhir musim, ia hengkang ke klub divisi kedua Amerika Serikat, Tampa Bay Rowdies. Memainkan 86 pertandingan, Cole tampil cukup mengesankan dengan 20 gol dan delapan assist meski usianya sudah menginjak 35 tahun.
Saat masih menjadi pemain aktif untuk Tampa Bay, Cole ditunjuk menjadi asisten manajer Neill Collins. Cole memutuskan untuk pensiun bersama klub tersebut pada November 2018 setelah aktif menjadi bermain selama 20 tahun dan memilih menikmati perannya pelatih teknik untuk Tampa Bay Rowdies hingga musim berakhir.
Joe Cole kemudian kembali ke Inggris dan menghabiskan waktu di eks timnya, Chelsea, di mana ia melanjutkan kualifikasi lencana kepelatihannya di akademi mereka sebelum penunjukan resmi sebagai pelatih teknis di klub. Bagi Cole, kariernya di Chelsea merupakan masa-masa terbaik dirinya sebagai pesepakbola.
Getty“Semua mimpi saya telah menjadi kenyataan. Saya berharap dua dekade kedepan sama istimewanya dengan 20 tahun terakhir saya sebagai pesepakbola profesional,” kata Joe Cole kepada BBC 2018 lalu.
“Memenangi trofi di Chelsea jadi sesuatu yang istimewa buat saya. Kenangan itu akan selalu hidup bersama saya, selamanya,” tambahnya.
Dua tahun setelah menjadi pelatih akademi Chelsea, Cole memutuskan untuk hengkang. Ia kembali meninggalkan The Blues karena ingin memperdalam ilmu serta mencari pengalaman baru bersama klub lain sebelum dia memulai karier di bidang kepelatihan.
Jauh dari sisi pembinaan pemain, Cole telah pindah ke dunia media sebagai pundit sepakbola di BT Sport bersama nama beken lainnya seperti Rio Ferdinand, Peter Crouch hingga Michael Owen untuk Liga Premier dan liputan sepakbola Eropa.
“Beberapa saat sebelum lockdown, saya memutuskan untuk pergi dari Chelsea. Di sana, saya memiliki kenangan-kenangan yang sangat indah dan mempelajari banyak hal,” ujar Joe Cole kepada The Guardian.
"Saya yakin akan kembali ke sini suatu hari nanti. Tapi, saat ini saya masih fokus mengembangkan kemampuan sebagai pelatih. Berkeliling dunia dan mendengar berbagai saran dari banyak pelatih adalah keputusan terbaik untuk saat ini,” tutup Cole.
Belum lama ini, Joe Cole melalui akun Instagram pribadinya mengunggah video saat menjajal kebolehannya di arena tinju.
“Benar-benar menyukai debut tinju saya, ini menjadi satu dari kegiatan yang paling mendebarkan bagi saya sejak memutuskan untuk pensiun,” tulisnya pada caption unggahan tersebut.
Cole bahkan dijuluki “Joe Colezaghe” di media sosial setelah pertarungannya melawan Max Thraves di Essex. Mantan gelandang timnas Inggris itu merekomendasikan olahraga ini sebagai cara untuk memulihkan kesehatan mental.
