‘The Next Pele’, ‘The New Pele’, ‘Pele Baru’ atau apalah sebutannya, ini adalah label yang sejatinya mampu menginspirasi setiap pesepakbola muda untuk menjadi hebat. Tapi yang ada justru sebaliknya, selama bertahun-tahun cap itu hanya membebani, bahkan mengutuk, menjadikan mereka lekat dengan predikat medioker.
Edu, Robinho, dan Freddy Adu hanyalah segelintir dari pemain dengan label sama yang–pada angkatan yang berbeda-beda–gagal memenuhi bakat masing-masing.
Meski begitu, tidak satu pun dari mereka yang karier, kehidupan, dan keluarganya sehancur ‘The Next Pele’ yang paling beken, yakni Nii Odartey Lamptey.
Lamptey hadir di skena persepakbolaan kala berusia 14 tahun pada Kejuaraan Dunia FIFA U-16 1989 di Skotlandia. Pasca-penampilan brilian pada laga pembuka melawan tim tuan rumah di Hampden Park, Pele yang hadir di stadion memuji gelandang yang cerdik nan eksplosif itu sebagai penerusnya.
Dua tahun kemudian pada turnamen versi U-17 di Italia, Lamptey menjadi fenomena global. Dia mengalahkan pemain-pemain macam Alessandro Del Piero dan Juan Sebastian Veron untuk mengantar Ghana juara, memenangkan Golden Ball, dan mencetak empat gol di sepanjang turnamen. Itu termasuk serangan menakjubkan atas tim favorit Brasil di perempat final.
Lamptey diselundupkan. Ia keluar dari tanah airnya dengan paspor palsu dengan menyamar sebagai putra kapten Nigeria, Stephen Keshi. Dengan begitu, ia bisa meneken kontrak dengan klub sang bek, Anderlecht, pada usia 15 tahun.
Begitulah bakat yang diberikan Tuhan. Bahkan, aturan batasan usia di Belgia langsung diubah agar Lamptey bisa lakoni debut untuk klub pada usia 16 tahun, usia yang sama di mana ia dipercaya menjadi pemain reguler untuk tim senior negaranya!
Lamptey membangkitkan liga Belgia, mencetak tujuh gol dalam 14 pertandingan dalam musim debutnya. Sementara ia juga menikmati masa pinjaman yang luar biasa di PSV, mencetak 10 gol dalam 22 laga.
Semua dicapai saat ia masih tergolong remaja dengan konsistensi membintangi berbagai turnamen internasional – termasuk Olimpiade Barcelona dan Piala Afrika 1992 di mana Ghana masing-masing meraih perunggu dan perak.
Playing SurfaceTapi kemudian hal-hal mulai salah. Perpindahan bernilai besar ke Liga Primer Inggris pada 1994 berujung bencana. Ya, Lamptey gagal di Aston Villa dan Coventry City – dan dia tidak pernah pulih setelahnya.
Dalam kurun waktu 14 tahun ke depan hingga pensiun pada usia 33 tahun, sang gelandang tercatat bermain untuk 11 klub di 10 negara yang tersebar di empat benua. Pertandingan terakhirnya untuk Ghana terjadi pada usia 21 tahun!
Ada banyak teori mengapa karier Lamptey terjun bebas. Yang paling banal adalah tekanan cap ‘The New Pele’ yang terlalu berat untuk ditangani.
"Ekspektasi pada saya sangat, sangat besar," ucap Lamptey kepada The Observer pada 2008.
Lamptey tidak memiliki sistem dukungan yang layak. Kedua orang tuanya menyiksanya. Ayahnya yang pecandu alkohol–yang kemudian tidak mengakuinya sebagai anak pasca-Nii masuk Islam–memukul dan menyundutnya dengan rokok.
“Saya masih memiliki bekas luka di tubuh saya,” kenang Lamptey.
Tanpa didikan dan jaringan pendukung, Lamptey tidak memiliki siapapun untuk dihubungi selama masa-masa sulit. Miris.
Ketidakmampuan membaca atau menulis membuatnya dieksploitasi tanpa ampun oleh orang-orang yang rakus harta dan manipulatif, khususnya oleh agen nakal asal Italia, Antonio Caliendo.
"Saya ditipu dan begitu banyak dirugikan. Saya bahkan tidak tahu bahwa saya berhak atas biaya penandatanganan kontrak,” kata Lamptey.
“Manajer Aston Villa, Ron Atkinson, memberi tahu saya, dan di kantor klub mereka memberikannya langsung kepada saya,” ujar pria kelahiran 10 Desember 1974 itu.
"Dua pekan kemudian, agen saya datang dan saya pikir dia mendatangi pihak klub untuk meminta uang. Lalu mereka bilang telah memberikannya kepada pemain. Kemudian dia sangat marah kepada saya. Ada begitu banyak orang yang menipu saya, cuma demi kepentingan pribadi,” tambahnya.
Lamptey terhitung bermain secara berlebihan saat tubuhnya justru masih berkembang. Ghana getol menyantumkan namanya untuk mewakili semua tim kelompok umur negara secara bersamaan. Pada saat mencapai usia dua puluhan, sang gelandang pun menderita kelelahan dan masalah cedera yang konstan.
Lalu ada kisah pilu yang berdampak negatif mengiri karier profesional Lamptey. Secara tragis, ia kehilangan dua anaknya, yakni Diego [dinamai Maradona] dan Lisa, karena penyakit paru-paru langka. Maklum, dia bahkan terkadang bertanya-tanya apakah dia dikutuk: “Banyak yang mengatakan ini semua adalah Juju [ilmu gaib yang dipraktikkan di Afrika Barat] dalam sepakbola."
Mengingat suram kehidupannya, akan sangat dapat dimengerti jika Lamptey yang sekarang berusia 46 tahun sekarang menghabiskan hidupnya dengan duduk mengasihani dirinya sendiri, terlebih lagi setelah nestapa perceraian pahit dari istrinya Gloria pada 2013 dengan fakta pilu yang terungkap bahwa ketiga anak mereka yang masih hidup bukanlah anak Lamptey secara biologis.
Namun, sejak pensiun sebagai pemain pada 2008, Lamptey tetap dengan jiwa positif yang membanggakan. Memang, ia mendirikan Sekolah Internasional Glow-Lamp di Accra, Ghana—yang memiliki lebih dari 400 murid—dalam upaya memberi anak-anak kesempatan yang tidak ia miliki saat tumbuh dewasa.
“Pendidikan sangat penting dan itu adalah masalah besar bagi saya,” ucap Lamptey dengan menahan air mata saat diwawancarai Futbol Mundial pada 2014.
“Saya tidak punya waktu untuk pergi ke sekolah. Saya kehilangan banyak hal. Saya tidak bisa membaca atau menulis. Mengingat rasa sakit yang saya alami saat itu, saya tidak ingin anak-anak mengalaminya,” tambahnya.
Yang menarik, setiap ruang kelas di Glow-Lamp dinamai berdasarkan negara tempat ia bermain selama kariernya yang membuana. Ia juga menghabiskan waktu melatih anak-anak muda di akademinya di Elmina.
Lebih spesial lagi, selain mewariskan semua keahlian sepakbolanya, Lamptey mencoba mempersiapkan calon pesepakbola untuk tantangan masalah mental yang ia sendiri masih berjuang untuk mengatasinya.
Lamptey juga telah mewariskan kebijaksanaan dan pengetahuannya sebagai pakar sepakbola di televisi Ghana, bekerja sebagai analis untuk TV3 selama Piala Dunia 2014 bersama mantan bek Bayern Munich dan Ghana Sammy Kuffour.
Kesibukan lainnya, Lamptey juga memiliki dan menjalankan sebuah peternakan di pinggiran Accra, tepatnya peternakan sapi dan domba.
Bahkan, baru-baru ini Lamptey dinaungi kebahagiaan yang menyenangkan untuk didengar. Agustus lalu, ia dan tunangannya, Ruweida Yakubu, seorang aktris dan model, menyambut kelahiran anak kedua mereka ke dunia.
Lamptey telah melewati kehidupan layaknya kereta luncur alias ’roller coaster’. Kariernya menjadi contoh dari segala sesuatu yang bisa salah untuk pesepakbola muda dan mengapa kehati-hatian harus diperhatikan ketika membangun bakat remaja.
Namun, pahlawan Kejuaraan Dunia Remaja FIFA 1991 itu mampu bangkit dari kegelapan dan setiap orang yang iba dan mengetahui kisahnya hanya berharap dia memiliki hidup lebih baik di sisa umurnya.
“Bahkan jika saya mengatakan saya gagal dalam sepakbola, Tuhan tidak akan menghukum saya,” kata Lamptey.
“Saya telah melalui neraka. Tapi, saya menikmati hidup saya sekarang. Saya kini bisa mengurus keluarga. Saya baik-baik saja,” pungkasnya.
Kabar baik lainnya, Lamptey dipercaya sebagai pelatih klub Liga Primer Ghana, Elmina Sharks, sejak Februari lalu.


