Mohamed Salah Liverpool 2022Getty

Raut Muka Mohamed Salah Bukti Remuknya Hati Liverpool Gagal Juara Liga Primer - Tapi Kejayaan Liga Champions Menanti Pasukan Klopp

Setelah melihat muka masam Mohamed Salah, rasanya tidak perlu lagi mendengarkan analisis post-match yang bermuluk-muluk.

Selalu ada sebuah cerita di balik tiap-tiap gambar, tapi yang satu ini bermakna ribuan kata.

Sambil memeluk Sepatu Emas Liga Inggris, sekaligus menasbihkan diri sebagai Playmaker of the Year, Raja Mesir Liverpool memasang raut seolah baru saja hilang nyawa, dengan tatapan kosong lagi nanar.

Nyawanya memang utuh, tetapi jiwanya tercabik-cabik. Salah boleh jadi menambah pundi-pundi penghargaan individualnya, Minggu (22/5) kemarin, tetapi gagal mewujudkan apa yang dia -- dan rekan-rekan satu tim, manajer, dan suporternya -- benar-benar impikan.

Berondongan menit akhir Manchester City ke gawang Aston Villa memastikan bahwa merekalah dan bukan Liverpool yang menutup hari dengan mengangkat trofi Liga Primer Inggris tinggi-tinggi, setelah sebelumnya pekan pamungkas EPL nampak bakal berakhir dengan plot twist abad ini.

Angkat topi buat pasukan Pep Guardiola, yang comeback dengan penuh kedigdayaan dari tertinggal 2-0 jadi menang 3-2 hanya dalam waktu enam menit di paruh kedua di Etihad, mengubur asa Liverpool dan memastikan gol ke-31 Salah sepanjang musim yang fantastis ini tidak berarti apa-apa -- selain menjadikannya topskor Liga Primer bareng penyerang Tottenham, Son Heung-min.

Yah, selamat buat Salah. Tapi penghargaan ini - koleksi ketiganya dari lima musim terakhir di Merseyside - hanya akan terasa seperti penghargaan hiburan. Maunya, dia, dan mereka semualah, yang mendapatkan penghargaan utama.

Rasa bangga dan pantang tunduk adalah emosi yang bisa dirasakan di udara Anfield. Penggawa The Reds mengakhiri hari dengan lap of appreciation di depan puluhan ribu Kopites, dan mereka tak beranjak untuk waktu yang lama usai peluit panjang dibunyikan demi mengelu-elukan pahlawan mereka, dan memang sudah sepantasnya.

Tapi setelah memberikan segalanya di musim yang begitu sengit, dan memangkas jarak dengan Man City yang katanya membikin Liga Inggris jadi Liga Petani, Liverpool bakal merasa hancur lebur karena gagal tepat di depan mata.

Seperti kata Klopp, mereka "dekat, tetapi pada akhirnya tidak cukup dekat." Wow, pasti sakit sekali rasanya.

Hari itu, Liverpool menjaga asa mereka sepanjang malam, dan dengan alasan yang kuat. Aston Villa memberi mereka harapan, meski ternyata palsu. Steven Gerrard mungkin menjadi sosok yang paling sakit hati di Etihad, legenda The Reds itu nyaris saja jadi pahlawan klub yang dia cintai sekali lagi, tetapi pada akhirnya dia kembali terpeleset.

Tugas Liverpool akhir pekan kemarin sederhana sekali: kalahkan Wolves sambil berdoa dan berharap agar ada keajaiban di Etihad. Yang kedua memang rasanya muluk-muluk, tetapi ternyata keajaiban itu benar-benar punya peluang untuk menjadi nyata.

Performa mereka sendiri sebenarnya bikin gemas. Liverpool tertinggal di menit ketiga gara-gara lesakkan Pedro Neto, tetapi berhasil menyamakan kedudukan lewat Sadio Mane pada pertengahan babak pertama.

Lalu, delapan menit sebelum turun minum, raungan berdengung di Anfield, mengabarkan bahwa Villa memecah kebuntuan di Etihad lewat Matty Cash. Ironis bukan? 'Cash' atau uang, untuk pertama kalinya jadi penghalang kejayaan Man City, alih-alih menjadi bahan bakar kesuksesan mereka.

Liverpool lalu harus kehilangan Thiago Alcantara karena cedera, bahkan sempat dikhawatirkan serius dan berpotensi absen di final Liga Champions akhir pekan nanti meski kabar terbaru berkata sebaliknya. Tetapi saat itu mereka tahu, sebiji gol bakal membawa mereka ke posisi puncak. Posisi juara.

Gol tak kunjung datang, tapi raungan kembali terdengar dari Kopites. Lebih gila suaranya, bikin bulu kuduk merinding disko. Villa mencetak gol untuk menggandakan keunggulan, dan betapa puitisnya bahwa Philippe Coutinho yang memperpanjang mimpi mereka, seperti sudah digariskan. Waktu tersisa? 21 menit saja.

Coutinho Aston Villa 2022Getty

Masalahnya adalah, Liverpool tidak bermain dengan cukup bagus. Bahkan Wolves bisa dibilang lebih mungkin kembali memmimpin. Anfield memang meraung, tapi keringat dingin mereka belum kering, dan mereka berdoa. Ayolah. Satu gol lagi. Gol selanjutnya. Please.

Gol selanjutnya benar-benar tiba, tapi di Etihad. Ilkay Gundogan. Raut muka Liverpool sudah cukup untuk menceritakan segalanya: gawat.

Selang beberapa saat saja, satu gol kembali terjadi. Man City Lagi. Rodri. Lalu satu lagi. Gundogan Lagi. Berondongan yang meremukkan doa-doa. Berondongan yang memenangkan gelar liga.

Anda bisa merasakan, bahwa Liverpool tahu sudah tak ada harapan lagi, tetapi mereka pantang menyerah. Semangat yang luar biasa. Salah mencetak gol di depan The Kop, gol ke-23-nya di Liga Inggris, dan armada Klopp memimpin untuk pertama kalinya.

Anehnya, raungan lagi-lagi kembali didengungkan beberapa saat setelah perayaan gol Salah. Meski pada akhirnya mereka langsung sadar kalau Villa tidak menyamakan kedudukan di Manchester. Siapa pun yang menyebarkan hoaks dan menipu satu Anfield sepertinya harus sembunyi dahulu.

Andy Robertson menutup pertandingan dengan satu gol tambahan. Lesakkannya memastikan kemenangan buat The Reds dan, untuk ketiga kalinya dalam empat musim Liga Primer terakhir, tim Klopp mampu menembus 90 poin.

Konsistensi yang dahsyat - "gila," kalau kata Klopp - tetapi usaha mereka 'hanya' membuah satu gelar liga. Kalau itu tidak bisa meyakinkan Anda betapa ngerinya Man City, mesin pemenang rakitan Guardiola, entah apa yang bisa.

Jurgen Klopp Pep Guardiola GFXGetty Images

Liverpool tak perlu menyesal-menyesal amat. Sejak kalah dari Leicester pada 29 Desember, mereka melakoni 19 laga liga dan menang 16 kali. Mereka cuma tak bisa meraih penuh ketika ditahan imbang di kandang Chelsea dan Manchester City, dan ketika Tottenham mencuri satu poin dari Anfield; dengan kata lain, pertandingan ketat kontrak tim-tim yang berada tepat di atas dan di bawah Liverpool.

Memang pasti ada keluhan soal poin-poin yang hilang di paruh pertama musim ini. Terutama laga versus Brentford dan Brighton, dan Klopp pasti menyesali ketika anak asuhnya gagal menjaga keunggulan ketika menjamu Manchester City di Anfield dengan sembilan menit tersisa Oktober lalu.

Mereka juga tak bisa memanfaatkan keunggulan jumlah pemain kontra Chelsea di awal musim, dan membuang-buang keunggulan paruh kedua di Tottenham Desember lalu, ketika beberapa anggota tim utama absen lantaran Covid-19. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi kalau saja wasit Paul Tierney mengartu merah Harry Kane, seperti yang sudah seharusnya, di babak pertama pertandingan tersebut.

"Andai saja", "kalau saja", "mungkin"; mimpi siang bolong seperti itu toh bukan gaya Liverpool, dan meski gagal juara liga bakal terasa menyakitkan, musim The Reds belum berakhir di saat tim-tim lain sudah mulai meliburkan staf dan pemainnya.

Alih-alih berandai-andai, mereka bakal terbang ke Paris untuk kencan dengan Real Madrid, dan berkesempatan mengakhiri musim yang manis-pahit ini dengan Liga Champions ketujuh.

Kesedihan kemarin Minggu bakal segera sirna, karena puluhan -- mungkin ratusan? -- ribu suporter bakal menjajah ibukota Prancis akhir pekan ini.

Tim ini pantas mendapatkannya. Pantas berada di panggung gemerlap itu dan di pagelaran akbar itu. Pantas didukung dengan penuh gelora, kebanggaan, dan pesta pora. Mereka boleh jadi gagal di Inggris, tetapi mereka adalah juara di mata loyalis mereka. Mereka mengajak para pendukung setia dan tercinta untuk menapaki ruang-ruang yang bahkan dulu tak berani mereka impikan.

Pada akhirnya raut muka Salah - nanar, terluka, kosong - yang merangkum segala perasaan kemarin Minggu. Dia tahu betul rasanya. Dia tahu betul betapa nyarisnya Liverpool.

Sekarang mereka ditantang untuk menyulap cemberut jadi senyum di Stade de France. Jangan salah, memang tidak gampang, tidak sepele. Tapi jangan sekali-kalinya meragukan mereka.

Jangan ragukan tim ini.

Iklan
0