Matthias Jaissle tidak akan pernah melupakan kunjungan terakhirnya sebagai pemain ke Allianz Arena. Itu adalah salah satu pertandingan yang paling dinanti dalam sejarah Bundesliga.
Pada Desember 2008, Bayern Munich menjamu Hoffenheim dalam duel papan atas yang terbilang anomali. Sang juara menghadapi tim yang baru dipromosikan dan menempati puncak klasemen.
Hoffenheim, tim 'desa' yang didanai oleh jutawan lokal Dietmar Hopp, melesat dari Divisi Delapan Bundesliga dalam waktu singkat, dan tidak menyembunyikan ambisi menjuarai Bundesliga pada musim debut mereka.
Hoffenheim memainkan gaya sepakbola cepat dan menyerang, memenangkan 11 pertandingan dari 15 pertandingan pertama mereka, dan tiba di Bavaria dengan keunggulan tiga poin atas tim arahan Jurgen Klinsmann. Kalahkan Bayern, dan mereka akan benar-benar menjadi favorit juara.
Itulah yang dilihat oleh pelatih Hoffenheim, Ralf Rangnick. "Saya tidak ingin bertukar baju dengan mereka. Saya ingin kulit kepala mereka," katanya.
Jaissle berada di jantung pertempuran. Bek berusia 20 tahun itu direkrut Rangnick dari akademi Stuttgart dua tahun sebelumnya, dan nama pertama membuktikan dirinya sebagai prospek yang sangat menjanjikan.
Jaissle adalah pilar Hoffenheim pada musim promosi 2007/08, dan dengan cepat membuktikan diri sebagai salah satu bek terbaik di Bundesliga.
Getty/GOALMalam itu adalah kesempatan terbesar dalam karier Jaissle. Sorotan tertuju kepadanya saat ia ditugaskan untuk menghentikan Miroslav Klose dan Luca Toni.
Dalam duel sengit, tempo yang sangat tinggi, banyak tekel keras, Hoffenheim mengambil kendali, dan unggul 1-0 berkat gol Vedad Ibisevic usai jeda, yang memicu selebrasi yang sangat emosional.
Jaissle menikmati permainan yang luar biasa, tapi ia terpeleset saat coba menutup pergerakan Philipp Lahm yang mampu menyamakan kedudukan.
Pada menit tambahan, tekel Andreas Beck kepada Klose justru mengirim bola liar ke kaki Toni, dan Jaissle tidak bisa mencegah striker asal Italia itu untuk memastikan kemenangan dramatis.
Jaissle meninggalkan lapangan dengan frustrasi, tapi juga sangat bangga. Hoffenheim layak berada dalam laga yang benar-benar bersejarah tersebut, dan pelatih Jerman Joachim Low mulai mempertimbangkan secara serius untuk memanggil beberapa bintang mereka.
Jaissle adalah kandidat yang paling diperhitungkan. Pertahanan tengah bukan bagian terkuat dari timnas Jerman kala itu, dan Jaissle dianggap lebih unggul dari Mats Hummels yang baru menjalani debut di Borussia Dortmund pada musim tersebut.
Sang bek dipantau setiap pekan, dan asisten pelatih Jerman, Hansi Flick, berada di tribune suporter ketika Hoffenheim menjamu Hannover pada Maret 2009.
Namun, pada laga itulah karier Jaissle sebagai pemain berakhir. Ia mengalami cedera lutut serius pada babak kedua, dan tidak pernah berhasil benar-benar pulih atau kembali ke kondisi bugar 100 persen.
Masalah tendon meniscus dan achilles merusak upaya ‘comeback’ Jaissle pada 2011, dan ia dengan berat hati mengumumkan keputusan pensiun dini pada awal 2014, setahun lebih sedikit setelah terakhir bermain untuk tim cadangan Hoffenheim.
Getty/GOAL"Saya benar-benar mencoba segalanya, tapi itu tidak bisa terjadi," ucap Jaissle sambil menangis.
"Saya tidak tahu bagaimana tepatnya hal-hal [terkait sepakbola] akan berlanjut. Saya harus membiarkan semuanya beres dulu,” tambahnya.
Musim panas itu, Jerman memenangkan Piala Dunia di Brasil. Di alam paralel, Jaissle akan menjadi bagian dari skuad Der Panzer; tapi sebaliknya, ia mulai mempelajari manajemen tim dan lebih banyak bermain golf.
Beruntung, Rangnick memiliki pekerjaan untuk ditawarkan kepada Jaissle.
“Ralf sudah melihat jiwa pelatih dalam diri saya, bahkan ketika saya tidak memikirkannya sama sekali,” kata Jaissle kepada Kicker dalam interviu baru-baru ini.
Manajer interim Manchester United itu pernah menjabat sebagai direktur olahraga untuk proyek Red Bull di Salzburg dan Leipzig sejak akhir 2012, dan Jaissle diundang untuk bergabung dalam program kepelatihan di tim kelompok umur klub.
Di Leipzig, Jaissle membantu Sebastian Hoeness–kini menjadi manajer Hoffenheim–di tim U-17-nya. Sayang, perjalanan Jaissle kembali ke Allianz Arena sebagai pelatih berakhir dengan kekalahan 7-1, Rabu (9/3) dini hari WIB.
Jaissle berteman dengan manajer Leicester kala itu, Alexander Zorniger, dan ketika nama terakhir mengambil alih Brondby pada 2016, ia menawari Jaissle pekerjaan sebagai asistennya.
Rangnick menyukai apa yang dilihatnya dan pada 2019, Jaissle kembali ke Red Bull untuk menangani tim U-18 Salzburg.
Jaissle dipandang sebagai salah satu pelatih masa depan, juru taktik muda berbakat yang pada akhirnya akan meniti tangga kesuksesan. Tapi, eskalasinya jauh lebih cepat dari yang diperkirakan siapapun.
Pada Januari 2021, Jaissle dipromosikan untuk melatih FC Liefering– tim cadangan Salzburg yang berkompetisi di Divisi Dua Liga Austria–setelah Bo Svensson hengkang ke Mainz.
Tiga bulan berselang, pelatih Salzburg Jesse Marsch—yang kini memanajeri Leeds United—ditunjuk Leipzig menggantikan Julian Nagelsmann yang dibajak Bayern, dan Jaissle langsung diumumkan sebagai pengganti Marsch di tim senior Salzburg.
Getty/GOALPada usia 33 tahun, Jaissle adalah pelatih Salzburg termuda sepanjang sejarah klub. Ia 10 bulan lebih muda dari Nagelsmann, yang telah menjadi tolok ukur pelatih muda Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
"Kualitas Matthias berbicara dengan sendirinya,” ujar direktur olahraga Salzburg, Christoph Freund, saat peresmian Jaissle.
“Saya sudah mengenalnya selama beberapa tahun. Dia masih muda, ambisius, dan sangat cocok dengan visi klub kami,” tutur dia.
"Cara dia bekerja dan mengembangkan pemain muda sangat luar biasa. Dia adalah kandidat ideal kami. Dia belum menjadi nama besar, tapi kami ingin memberikan kesempatan pada pemain muda dan juga pelatih muda,” imbuhnya.
Fans sedikit skeptis pada momen penunjukan Jaissle, tapi pelatih kelahiran Nurtingen itu dengan cepat mampu meyakinkan kemampuannya. Di bawah asuhannya, Salzburg main dengan tempo sangat cepat dan percaya diri yang mengingatkan kita pada Hoffenheim edisi 2008.
Meskipun usia rata-rata skuad hanya 22 tahun, Salzburg tidak takut menghadapi lawan yang jauh lebih berpengalaman – itulah yang mereka tunjukkan saat mencapai target lolos ke fase gugur Liga Champions untuk pertama kalinya pada musim ini.
Jaissle adalah pelatih inovatif, yang mencari inspirasi dari sumber yang tidak biasa, termasuk dari serikat rugby Selandia Baru.
Dia berkaca pada hari-hari sebagai pemain. Maka, ia tidak memaksa timnya untuk melalui hal-hal yang juga dia benci, seperti sesi video yang terlalu lama.
Jaissle adalah pemimpin muda dari skuad yang sangat muda, yang tugas utamanya adalah membangun semangat tim dengan tepat. Anak-anak asuhnya senang bekerja sebagai satu unit, dengan tekanan tinggi yang efektif dan lebih mudah dicapai.
Seperti setiap tim Red Bull, Salzburg bercita-cita untuk merebut kembali bola secepat mungkin setelah kehilangannya dan progresivitas dalam transisi cepat.
Getty/GOALTakdir menempatkan Jaissle untuk berhadapan melawan Bayern-nya Nagelsmann pada babak 16 besar UCL. Meski, timnya gugur dengan agregat 8-2 setelah sempat menahan imbang 1-1 pada pertemuan pertama.
Laga leg pertama di Austria membuktikan bahwa Jaissle tampak membuat timnya benar-benar tampil pede, meski berstatus underdog.
Tampil berani seperti Hoffenheim-nya Rangnick, Jaissle tidak pernah bermimpi untuk bermain bertahan, bahkan melawan salah satu tim dengan lini ofensif terbaik di dunia.
Tapi, ketersingkiran dari Bayern tersebut adalah proses pendewasaan yang bagus bagi Jaissle dalam karier kepelatihannya yang baru seumur jagung.


