Menikmati lekuk goresan seniman lapangan hijau dari Argentina seperti Diego Maradona, Juan Roman Riquelme, hingga Lionel Messi? Itu sudah biasa.
Yang luar biasa adalah bagaimana sesosok yang lahir dari tanah Amerika Selatan, benua yang dikenal sebagai produsen pesepakbola dengan keterampilan nomor wahid, bisa menimbulkan kegilaan yang sampai melegenda.
Adalah Martin Palermo, pemain berjulukan El Loco atau Si Gila, yang mengabadikan kisahnya dalam tinta Biru-Emas Boca Juniors.
Palermo meniti kariernya sebagai pesepakbola di Estudiantes de La Plata, ketika melakoni debutnya di tahun 1992.
Dia memang sempat merantau (meski tak sukses) ke Spanyol selama tiga tahun antara 2001 hingga 2004, tetapi kisahnya bersama Boca Juniors-lah yang membuat namanya melegenda. Palermo dua kali berseragam Boca, yang pertama ketika ‘lulus’ dari kampung halamannya tahun 1997 dan menyeberang menjadi anak kota dengan hijrah ke Buenos Aires, tempat Boca berada.
Pertandingan Berikut
Catatan 91 gol dari 124 penampilan adalah bukti keganasan Palermo dalam balutan seragam Azul y Oro atau Biru Emas antara 1997 sampai 2001. Produktivitas Palermo di depan gawang pun juga menghasilkan gelar buat Boca Juniors, mereka berhasil menjuarai Liga Argentina tiga kali, yakni Apertura 1998, Clausura 1999, dan Apertura 2000.
Penampilan ciamik Palermo praktis menggedor pintu timnas Argentina, dan La Albiceleste memutuskan untuk memanggilnya pada 1999.
Bermain untuk negaranya, Palermo masuk buku Guinness World Record, sayangnya karena alasan yang amat pedih: dia gagal mengeksekusi penalti, bukan cuma sekali atau dua kali, tetapi tiga kali dalam satu laga!
Getty ImagesSaat itu pertandingan fase grup Copa America 1999, di mana Argentina harus menghadapi Kolombia. Diasuh El Loco lain dalam diri Marcelo Bielsa, Palermo dipercaya sebagai algojo titik putih. Eksekusi pertama dia hantamkan bola ke mistar gawang, sebelum melayangkan penalti kedua. Kiper Kolombia kala itu yakni Miguel Calero, menambah beban penderitaan Palermo dengan menepis penalti ketiganya. Gila!
Argentina pun kalah 3-0 saat itu, dan cuma jadi runner-up Grup C, sehingga harus menghadapi juara Grup B yakni Brasil di perempat-final, di mana mereka ditumbangkan rival bebuyutan mereka dengan skor 2-1, dan Tim Samba melaju terus hingga jadi juara.
Laga itu (hampir) menjadi akhir karier Palermo di Albiceleste, mengingat dia tak lagi dipanggil timnas hingga bertahun-tahun kemudian.
Namun bak rollercoaster, puncak 'kegilaan' Palermo bersama Boca Juniors tiba pada Milenium baru, dan untungnya merupakan kegilaan yang positif.
Tak cuma menjuarai Apertura 2000, dia membawa Boca Juniors mengangkat trofi Copa Libertadores, atau yang bisa dibilang sebagai Liga Champions-nya klub-klub Amerika Selatan.
Kemenangan itu berarti Boca dan Palermo berhak ikut kontes Piala Interkontinental di tahun yang sama, yang mempertemukan kampiun Liga Champions Eropa dengan juara Copa Libertadores – gampangnya, Piala Dunia Antarklub versi lawas, meski di tahun tersebut kompetisi itu juga memulai edisi perdananya.
TOSHIFUMI KITAMURA/AFP/Getty ImagesTak tanggung-tanggung, lawan Boca saat itu adalah Real Madrid, yang sejak dulu memang jamak didapuk sebagai rajanya Eropa. Tetapi di hadapan sang penguasa, El Loco membangkang. Belum genap tujuh menit, Boca sudah unggul 2-0 atas Madrid yang diperkuat nama-nama tersohor seperti Roberto Carlos, Raul Gonzalez, Fernando Hierro, hingga Luis Figo. Tetapi Palermo mengerdilkan mereka semua dengan dua gol dalam tiga menit.
Pada akhirnya Los Blancos cuma bisa membalas satu gol lewat Roberto Carlos, dan Azul y Oro berhasil keluar sebagai juara, dan melahirkan sesosok legenda dalam diri Palermo.
Kebolehannya di panggung terbesar melawan raja Eropa, membuat klub-klub La Liga Spanyol lain terkesan. Adalah Villarreal yang berhak meminangnya dengan mahar €7,6 juta pada Januari 2001. Saat inilah perantauan Palermo di Negeri Matador diterpa kemalangan demi kemalangan.
Pada 29 November 2001, dalam sebuah laga Copa del Rey antara Villarreal melawan Levante, Palermo mencetak gol di babak tambahan tepatnya di menit 98. Kegembiraan pun menyelimuti striker jangkung Argentina itu, dan dia merayakan golnya dengan memeluk kerumunan loyalis The Yellow Submarine. Tembok stadion ternyata tak kuat menahan beban banyaknya fans Villarreal, sehingga runtuh menimpa Palermo, menghancurkan tulang kering dan fibulanya.
Cedera tersebut memaksa El Loco absen sampai dua bulan, tetapi toh setelahnya dia tak pernah benar-benar bisa mereplikasi performa yang membuatnya jadi legenda di Argentina, dan akhirnya memutuskan kembali ke La Bombonera pada 2004 setelah sebentar mampir di Real Betis dan Alaves.
Kembali ke zona nyaman, kegilaan Palermo seolah bangkit lagi. Antara 2004 sampai 2011, dia sukses bermain 280 kali dan membukukan 145 gol. Total 236 lesakkan, El Loco resmi jadi topskor sepanjang masa Boca Juniors hingga saat ini.
Gol-golnya pun membuahkan prestasi seperti saat pertama berbakti buat Si Biru Emas. Boca meraih Liga Argentina tiga kali (Apertura 2005 & 2008 serta Clausura 2006), dan kembali menjadi yang terbaik di Amerika Selatan saat juara Copa Libertadores 2007. Selain itu dia juga mengangkat trofi Copa Sudamericana (Liga Europa-nya CONMEBOL) pada 2004 dan 2005, dan trofi Recopa Sudamericana (Piala Super-nya CONMEBOL) tahun 2006 dan 2008.
Getty ImagesTapi kisah Palermo belum berakhir, dia dianugerahi kesempatan untuk menyelesaikan redemption arc-nya oleh "Si Tangah Tuhan".
Mungkin, sejatinya Palermo menularkan kegilaannya kepada Diego Maradona. Mendiang Maradona pada tahun 2009 berstatus sebagai manajer timnas Argentina, dan mengemban tugas untuk lolos ke Piala Dunia 2010.
Dia mengambil keputusan 'gila' dengan memanggil Palermo masuk skuad Albiceleste, satu dekade setelah ia membuat rekor memalukan di hadapan Kolombia.
Namun keputusan pencetak gol 'Tangan Tuhan' itu berbuah manis. Menghadapi Peru pada babak kualifikasi zona Amerika Selatan pada Oktober 2009, Palermo bikin gol menit akhir untuk memenangkan Argentina 2-1, membantu mereka lolos ke turnamen utama.
"Un milagro más de San Palermo," ungkap Maradona, yang berarti: "Satu lagi keajaiban dari Santo Palermo".
Di Piala Dunia 2010, Palermo pun kembali unjuk gigi. Bermain sebagai pengganti melawan Yunani di panggung termegah, El Loco berhasil menjebol gawang kampiun Eropa 2004 itu untuk memastikan kesempurnaan Argentina di fase grup.
Pada akhirnya kisah rollercoaster Santo Palermo berakhir dengan cukup bahagia. Meski gila, tetapi mereka di Buenos Aires (tentunya bukan mereka yang mendukung River Plate) akan mengenang nama El Loco dengan penuh kecintaan.