Kontroversi memang selalu melekat pada sepakbola Indonesia, tak terkecuali PSSI, dengan kekisruhan yang mereka timbulkan beberapa tahun lalu melahirkan apa yang kita kenal dengan nama konflik dualisme.
Itu berawal dari 2011, ketika menguatnya desakan publik agar ketua umum PSSI saat itu, Nurdin Halid untuk mundur dari jabatannya. FIFA lantas pada bulan Maret menginstruksikan PSSI untuk menggelar kongres luar biasa (KLB) guna memilih pemimpin baru.
Di bulan April, FIFA membentuk komite normalisasi PSS dengan menunjuk Agum Gumelar sebagai ketuanya. KLB PSSI berhasil diselenggarakan sebulan berselang, namun tiada hasil karena menemui jalan buntu.
Selang dua bulan, atau tepatnya pada Juli, KLB kembali digelar di Solo. Hasilnya adalah terpilihnya Djohar Arifin Husin sebagai ketua umum PSSI periode 2011-2015.
Ketika PSSI berada di bawah pimpinan Djohar Arifin Husin, sebuah kompetisi bertajuk Indonesia Premier League (IPL) dibentuk. Tujuan awal pembentukan kompetisi baru itu dimaksudkan agar membawa kultur sepakbola tanah air menjadi lebih profesional, namun justru menimbulkan ketidakpuasan.
Dari sinilah titik perpecahan di tubuh PSSI dimulai. Mereka yang tidak puas dengan kebijakan tersebut diwakili oleh empat anggota komite eksekutif (exco) PSSI, membentuk komite penyelamat sepakbola Indonesia (KPSI) yang dipimpin oleh Tony Apriliani sebagai ketua dan La Nyalla Mattalitti sebagai wakil.
Goal / Abi YazidLahirnya IPL membuat dualisme jadi sebuah warna di kompetisi Indonesia. Hal ini ditambah dengan pengangkatan posisi PT Liga Prima Indonesia Sportindo selaku operator resmi liga, menjadikan PT Liga Indonesia dan operator Indonesia Super League menjadi sesuatu yang tidak resmi di sepakbola Indonesia.
Kasus ini diperkuat dengan laporan PSSI pada FIFA perkara ISL yang mereka anggap sebagai kompetisi breakaway alias tak resmi, meski sebenarnya terdiri dari klub-klub tradisional.
Buntut dari konflik dua kubu tersebut merembet ke pengurus klub, beberapa pecah untuk ikut ke masing-masing kubu dan yang paling ekstrem "membelah diri" demi mempertahankan kepentingan mereka. Banyak klub menjadi korban dualisme, yang paling terkenal adalah perpecahan Persebaya Surabaya dan Arema Malang.
Dualisme yang juga berimbas pada tim nasional itu berlangsung selama bertahun-tahun, sampai akhirnya mencapai rekonsiliasi, secara tidak langsung para pentolan KPSI mengambil alih PSSI, dengan penyatuan kompetisi pada 2014 dengan 18 klub peserta ISL ditambah empat klub IPL.
Persebaya yang asli, dibentuk pada 1927, sempat dibuat "mati suri" oleh PSSI era La Nyalla Mattalitti selama lebih kurang lima tahun, setelah klub kebanggaan arek-arek Surabaya itu setelah keterlibatan mereka dengan IPL sebagai kompetisi resmi sebelumnya, sementara eksistensi mereka di ISL digantikan oleh "Persebaya" tandingan.
AntaraNamun, pembentukan "Persebaya" tandingan tersebut tidak berjalan mulus. Resistensi kuat dari Bonek, para pendukung Persebaya yang sangat loyal terhadpa klub kebanggaan mereka praktis membuat klub tandingan tersebut tidak bertahan lama.
Mereka bahkan beberapa kali terusir dari Surabaya dan harus mengganti nama menjadi Persebaya United, Bonek FC hingga Bhayangkara Surabaya United dan jejak mereka sekarang diwarisi oleh Bhayangkara FC yang berlaga di Liga 1.
Sementara untuk Arema, konfliknya lebih rumit. Mirip dengan Persebaya, Arema yang sudah dibentuk sejak juga memilih untuk bermain di IPL ketika masih menjadi kompetisi resmi dan mengubah nama dari Arema Malang menjadi Arema Indonesia.
Abi Yazid - GoalUntuk mengisi kekosongan slot yang ada di ISL, maka ada pihak yang membentuk Arema baru dengan nama Arema Cronus. Tapi ketika kompetisi disatukan lagi musim 2014 silam, dualisme ini tak selesai. Arema FC yang dulunya berlaga di ISL kini tetap eksis di kasta tertinggi.
Sementara Arema Indonesia yang awalnya main di IPL, harus memulai kompetisi dari kasta terendah atau Liga 3 sejak 2017, meski sejatinya mereka dianggap mewakili entitas resmi Arema sebagai klub.
Sampai saat ini, seruan agar Arema bersatu kembali sering menggema, namun dengan rumitnya konflik kepentingan di kedua kubu maka rekonsiliasi pun tak kunjung tercapai. Bahkan, PSSI seolah-olah sudah merestui eksistensi dua Arema sejak 2017 lalu.
Itu karena ada dua tim dengan nama Arema yang berkompetisi di bawah naungan PSSI. Arema FC, yang merupakan pewaris Arema ISL sekarang berada di kasta tertinggi, Liga 1, sedangkan Arema Indonesia yang merupakan kelanjutan dari Arema IPL kini ambil bagian di Liga 3.




