OLEH JOSH THOMAS PENYUSUN SANDY MARIATNA
“Dunia telah berubah. Kota paling berisik, ramai, dan semrawut di Eropa mendadak sepi." Itu adalah kalimat dari antropolog Italia Amalia Signorelli ketika ia menjelaskan suasana kota Naples pada sore hari tanggal 10 Mei 1987.
Saat itu, Napoli sedang menjamu Fiorentina. Hasil seri akan mengantarkan Partenopei mengamankan gelar Serie A pertama mereka sepanjang sejarah. Laga berakhir 1-1, misi tuntas.
Di bawah bayang-bayang Gunung Vesuvius, seisi kota ini kemudian mengalami "erupsi". Sebuah ledakan kegembiraan terjadi. Saking gembiranya, sampai-sampai seorang suporter Napoli menuliskan "Kalian rugi karena mati lebih cepat!" di sebuah dinding pemakaman lokal di Naples.
Ini bukan cuma momen bersejarah buat Napoli, sebab seluruh Italia selatan ikut bersorak karena berhasil mengangkangi rival-rival utara mereka yang angkuh. Seperti diketahui, tim-tim utara seperti Juventus, AC Milan, dan Inter Milan telah lama mendominasi sepakbola Italia. Perbedaan kelas antara utara dan selatan juga memperuncing rivalitas ini.
Namun, di tengah malam yang menggembirakan ini, satu nama selalu ada di benak para penduduk Naples: Diego Maradona. Sang legenda Argentina benar-benar mendalangi keajaiban ini, sebuah musim yang tidak akan pernah terlupakan.
Tiba di San Paolo pada 1984 dari Barcelona, Maradona memang jadi katalis utama dari kesuksesan puncak Napoli ini. Namun, ia dan Napoli butuh waktu tiga tahun untuk bisa mengklaim Scudetto yang didambakan.
Musim pertama Maradona di Italia berakhir tak memuaskan seiring Napoli finis kedelapan, sepuluh poin di belakang pemenang kejutan Hellas Verona. Di musim kedua ada banyak peningkatan dan Partenopei mampu finis ketiga.
GettySeiring Napoli terus membenahi skuadnya, Maradona tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi di Napoli. Sejak kedatangannya pertama kali di Naples, ia sudah disambut dan dipuja seperti dewa.
Di musim pertamanya di Serie A, ia langsung mencetak 14 gol, hanya empat gol lebih sedikit dari sang Capocannoniere Michel Platini. Gelontoran gol terus mengalir lancar di musim berikutnya di mana Maradona mencetak 11 gol seiring Napoli mulai menunjukkan tanda-tanda sebagai penantang serius Scudetto.
Barulah di musim 1986/87 segalanya terasa "klik". Dilatih oleh Ottavio Bianchi, sosok berapi-api tapi pragmatis yang lima tahun sebelumnya membawa Atalanta menjuarai Serie C, Napoli memiliki kekuatan merata di tiap lini dengan Maradona jadi pusat permainan.
Ciro Ferrara mencuat sebagai bek sentral setelah dipromosikan dari tim akademi, sementara Fernando De Napoli dan Andrea Carnavale terbukti jadi rekrutan musim panas yang sukses. De Napoli bersama Salvatore Bagni bekerja tanpa kenal lelah di lini tengah sehingga Maradona bisa fokus di sepertiga akhir lapangan.
Maradona mampu mencetak 10 gol, tapi dia bukan satu-satunya tumpuan di lini depan. Ada Carnavale yang mencetak delapan gol, sementara Bruno Giordan menambah enam gol.
GettyPara loyalis Napoli juga punya peran penting karena Napoli tidak terkalahkan di kandang sepanjang musim 1986/87. San Paolo jadi benteng tangguh. Rival-rival seperti AC Milan dan Juventus takluk dengan skor identik 2-1 ketika bertandang ke Naples. Enam poin itu terbukti krusial karena Napoli finis tiga poin di atas Juve.
Selebrasi gila pun dilakukan para penduduk Naples setelah Scudetto resmi dikunci. Mereka berpesta di jalanan kota dan bahkan seisi kota secara kompak memutuskan libur kerja pada keesokan harinya.
Tak ketinggalan adalah ejekan kepada Juventus, lengkap dengan peti mati dan obituari, menunjukkan betapa sengitnya rivalitas kedua tim kala itu. Sembari merayakan "kematian" Juventus, kisah dongeng Napoli terus berlanjut dengan sejumlah gelar mampu mereka raih dalam beberapa tahun berikutnya.
Sekali lagi, Maradona jadi pusat semesta Napoli dalam perjalanan mereka menuju puncak kesuksesan. Namun, tak ada yang menandingi kenikmatan Scudetto 1987.


