OLEH JOSH THOMAS PENYUSUN SANDY MARIATNA
"Teman-teman, apa yang kita raih saat ini tidak mungkin nyata."
Itulah kata-kata dari gelandang bertahan Domenico Volpati ketika berbicara kepada rekan setimnya setelah Hellas Verona membuat kejutan besar dengan menyegel gelar Serie A Italia pada 1985. Inilah momen puncak dari sebuah klub yang lebih akrab dengan rasa sakit karena degradasi ketimbang manisnya menjadi juara.
Meski saat ini berada di Serie A setelah musim lalu promosi, Verona tidak pernah asing berkecimpung di Serie B. Bahkan tiga tahun sebelum momen Scudetto yang mengejutkan itu, Verona masih bergulat di Serie B dan menjadi juara sekaligus mendapat jatah promosi pada 1982
Serie A 1984/85 bukan hanya dikenang karena hasil akhirnya yang menghebohkan, tapi juga dikenang karena permulaannya. Menyusul skandal Calcio Scommesse pada awal 1980-an, di musim itu wasit ditugaskan secara acak guna mencegah terjadinya penyuapan atau membuat keputusan berat sebelah di sebuah pertandingan.
Meski dampak dari keputusan itu masih diperdebatkan efektivitasnya, klasemen akhir Serie A benar-benar tak terduga. Juara bertahan Juventus finis keenam dan Verona berhasil mengklaim Scudetto. Sebuah bukti bahwa sekumpulan pemain dengan determinasi tinggi, meski tanpa sokongan finansial kuat, sanggup meraih kejayaan.
Di musim itu, Verona adalah tim yang energik di segala lini. Masuknya gelandang Jerman Hans-Peter Briegel dan striker Denmark Preben Elkjaer terbukti krusial di sepertiga akhir lapangan, dengan keduanya total menyumbangkan 17 gol.
Sementara itu, penyerang Italia Giuseppe Galderisi mengakhiri musim sebagai topskor klub dengan 11 gol. Pengalamannya meraih Scudetto bersama Juventus membuat Galderisi sangat bisa diandalkan
Hellas VeronaDengan gol-gol yang mengalir lancar, tim berjuluk The Mastiffs ini juga punya lini belakang yang amat tangguh dengan hanya kebobolan 19 gol saja dari 30 laga. Skema pragmatis dan sederhana yang diterapkan pelatih Osvaldo Bagnoli jadi kunci.
"Sepakbola adalah permainan simpel. Konsep bermain seperti pressing atau zonal tidak diperlukan," kata Bognali. "Yang paling penting adalah menemukan pemain yang tepat, dan menaruhnya di posisi yang tepat, lalu biarkan dia bebas mengeskpresikan diri."
"Kemauan dari diri sendiri akan melampaui segalanya. Saya memimpin sekumpulan pemain yang memang pantas meraih Scudetto tanpa perlu menemukan taktik baru, tanpa Machiavellianisme, dan tanpa rahasia. Sepakbola adalah tentang satu pertandingan saja, tidak lebih," jelasnya.
Pendekatan seperti ini, dikombinasikan dengan kemampuan Bagnoli untuk mengeluarkan kemampuan terbaik para pemainnya pada akhirnya terbukti sukses besar. Verona tampil mengesankan di sepanjang musim, dengan hanya kalah dua kali. Laga paling berkesan, tentu saja adalah saat mereka menang 2-0 atas Juve.
Laga itu menjadi salah satu momen ikonik dalam sejarah Verona. Gol yang dicetak Elkjaer, misalnya, terjadi lewat aksi individual apik dari sayap kiri. Meski salah satu sepatunya sempat copot, ia tetap mampu melesakkan bola ke gawang Juve. Itu adalah pembuktian dari ketekunan dan kerja keras Verona di sepanjang musim.
Jika Napoli bergantung pada Diego Maradona, Juventus punya Michel Platini, Inter diperkuat Alessandro Altobelli, maka Verona tak punya pemain bintang. Bagnoli membangun skuad yang terdiri dari pemain-pemain yang tak diinginkan di klub lain.
Getty Images"Ini seperti puzzle yang lengkap, satu bagian di tempat yang tepat," kata Bagnoli. "Semua ini bisa terjadi karena setiap pemain merasa lapar dan ingin membuktikan diri kepada mantan klub bahwa mereka belum habis."
"Kami harus selalu bersama selama beberapa tahun, untuk bisa saling mengenal, lalu hasil baik akan mengikutinya. Kami terus bekerja keras bersama para pemain tangguh, tapi tidak ada satu pun dari mereka adalah seorang fenomena atau alien dari planet lain."
Verona mengakhiri musim itu dengan keunggulan empat poin atas Torino, yang finis kedua dan juga mampu memanfaatkan jebloknya performa tim-tim raksasa Serie A di musim itu.
Sayang, kisah dongeng Verona cuma singkat. Di musim berikutnya, mereka finis di urutan ke-10, terpaut 17 poin di belakang sang juara Juventus. Bahkan di musim 1989/90, mereka harus terdegradasi ke Serie B, hanya lima tahun setelah meraih Scudetto.
Tiga dekade berikutnya, kisah sukses seperti Verona menjadi semakin sulit terjadi di Serie A. Sesuatu yang mungkin hanya terjadi sekali selama berpuluh-puluh tahun.


