Pada akhir pekan kemarin, Raul Jimenez dan Hwang Hee-chan saling melengkapi untuk memberikan kemenangan bagi Wolverhampton Wanderers atas Newcastle United di Molineux.
Bersamaan dengan itu di Turf Moor, Norwich City melanjutkan uji coba formasi baru 5-3-2 versus tuan rumah Burnley.
Malamnya, sementara itu, Brighton and Hove Albion menempatkan Leandro Trossard dan Neal Maupay di depan dalam hasil imbang 0-0 dengan Arsenal, sebelum Leicester City mencoba skema 4-4-2 di kandang Crystal Palace, serta Aston Villa yang sekali lagi memulai laga dengan formasi duo Danny Ings dan Ollie Watkins di depan saat menghadapi Tottenham Hotspur, lalu Bryan Mbeumo dan Ivan Toney menjadi duet ujung tombak Brentford yang menang mengesankan 2-1 atas West Ham United.
Maka, aman untuk mengatakan formasi dua striker mulai kembali populer.
Sepuluh klub Liga Primer Inggris mulai sering menggunakan formasi dua pemain depan, sementara hanya empat tim yakni Manchester United, Arsenal, Leeds United, dan West Ham yang belum mengadaptasi formasi duet maut secara langsung dalam pertandingan di liga selama 12 bulan terakhir.
Ada berbagai macam alasan taktis untuk bermain dengan dua striker di depan, dan 10 tim tersebut tentu saja tidak bisa serta merta mendefisikan satu jenis skema yang paten.
Burnley (dan sebelumnya Crystal Palace di bawah Roy Hodgson) mengandalkan kekuatan pada empat barisan tengah di belakang striker, sementara Wolves secara teknis bermain dengan formasi 4-3-3 pekan lalu, namun dengan Francisco Trincao yang kerap melebar ke kanan dan Hwang yang aktif menusuk ke dalam, pada dasarnya mereka bermain dengan dua penyerang. Spurs, dengan pergerakan Son Heung-min dan Harry Kane, juga serupa.
Namun demikian ada faktor-faktor umum di antara tim-tim tersebut yang bisa menjelaskan mengapa formasi dua penyerang sekali lagi bisa sukses di kasta tertinggi Inggris.
Konsekuensi dari kembalinya skema tiga bek
Burnley dan Southampton adalah satu-satunya tim yang secara teratur menggunakan dua striker sambil juga memainkan skema empat bek, dan, oleh karena itu adalah salah satu alasan mengapa tren tersebut hanyalah konsekuensi alami dari para manajer yang ingin memainkan skema tiga bek - formasi yang dapat menyimpan banyak keuntungan dalam permainan modern.
Saat peran bek sayap semakin menonjol, memaksimalkan lebar lapangan dalam penyerangan, masuk akal bagi para manajer untuk memaksimalkan sektor bek sayap dan tiga bek tengah untuk memastikan adanya perlindungan yang cukup di belakang sekaligus membatasi daya serang lawan.
Chelsea asuhan Thomas Tuchel adalah contoh terbaik dari hal ini, meskipun Brentford juga mengerahkan 3-5-2 untuk membuat Sergi Canos dan Nico Henry menguasai bola di area berbahaya.
Getty/GoalFormasi tiga atau lima bek memiliki keuntungan defensif yang nyata, terutama ketika berhadapan dengan dua atau tiga pemain depan lawan yang condong ke sentral (karenanya mengapa Newcastle dan Norwich sering bermain dengan dua di depan), dan memang skema tiga bek cenderung banyak digunakan setelah ada bukti nyata keberhasilannya.
Cara termuda untuk menghadapi skema unik dari 3-5-2 adalah dengan menirunya, dan begitu sukses diterapkan, maka banyak tim mulai mencontohnya, demikian juga dengan lawan-lawan yang akan datang dan seterusnya seperti itu.
Pertarungan di lini tengah tidak sepenting dulu
Prevalensi 3-4-3 dan 3-5-2 memberikan petunjuk lain mengapa begitu banyak manajer senang menggunakan kembali peran striker kedua setelah puluhan tahun mengorbankan posisi nomor sembilan untuk seorang gelandang.
Kerumitan taktis sepakbola di Liga Primer telah meningkat secara dramatis selama setengah dekade terakhir ketika para juru taktik elite ramai memasuki persaingan di liga, dan efek langsungnya adalah adanya ultra-kompresi di antara lini.
Tim dapat berkerumun dengan formasi bertahan dan menekan tinggi tanpa kehilangan keseimbangan, mempertahankan bentuk yang sempurna di tengah lapangan baik dalam fase build-up atau dalam transisi, mengurangi kebutuhan akan gelandang tengah ketiga.
Tidak ada lagi ruang besar di sini yang menuntut adanya keunggulan jumlah pemain agar tidak kewalahan dalam menghadapi permainan lawan.
Terlebih lagi, ketika mayoritas tim mengompresi ruang ini dan memasang garis tinggi di fase permainan tertentu, bola lebih banyak bergulir di kedua sisi lapangan, dan karena itu maka pertarungan yang biasanya terjadi di lini tengah hanyalah menjadi bagian di masa lalu.
Jadi ada ruang untuk menambahkan seorang pemain lagi di lini depan. Wolves, Southampton, Man City (ketika mereka kadang-kadang menggunakan double false nine dalam formasi 4-4-2), dan Everton semuanya telah memberikan contoh dalam beberapa bulan terakhir.
Skema 4-4-2 Leicester di Palace pada akhir pekan lalu memang tidak mulus berjalan, namun menjadi bukti bahwa Brendan Rodgers berasumsi bisa memercayai hanya dua gelandang, Youri Tielemans dan Hamza Choudhury untuk mengontrol lini tengah tim.
Garis tinggi memunculkan dua pelari yang menekan bek lawan
Konsekuensi lain dari detail taktis akhir-akhir ini - dari garis tinggi dan bentuk terkompresi - adalah bahwa ruang kosong tidak lagi ada di sepertiga yang membentang di tengah melainkan di belakang setiap garis pertahanan.
Hal terbaik yang harus dilakukan, kemudian, adalah memastikan Anda memiliki banyak pemain yang mampu berlari memberikan tekanan pada bek lawan.
Tuchel memainkan Timo Werner dan Romelu Lukaku bersama-sama melawan Man City untuk membuat kesulitan, dengan beberapa laju dan umpan panjang yang dilakukan pada tahap awal permainan sebelum pasukan Pep Guardiola bisa mendominasi permainan.
Penggunaan Ings dan Watkins oleh Dean Smith tampaknya memiliki niat yang sama, dan kemitraan Jamie Vardy dan Kelechi Iheanacho yang sempat diabaikan pada akhir musim lalu memungkinkan Leicester bermain tajam secara vertikal dengan bola diarahkan ke ruang kosong di depan.
Getty/GoalSebagian besar tim sekarang bertahan dengan dua tembok sebagai bek
Hampir setiap tim besar di Eropa kini bertahan dengan dua tembok sebagai bek. Ini telah menjadi cara yang sangat populer, efektif untuk membolokir aliran bola dari tengah yang ditujukan kepada duet striker di depan.
Satu striker saja tidak bisa memaksimalkan operan-operan dari gelandang, tapi dengan kehadiran striker kedua maka lawan dipaksa untuk lebih fokus menghalau serangan-serangan yang terkadang bisa langsung masuk ke kotak atau dialirkan kembali ke para bek sayap.
Banyak tim cenderung memaksakan seorang gelandang serang untuk memainkan peran sebagai striker kedua (Bruno Fernandes membantu Cristiano Ronaldo; Martin Odegaard juga menjadi pembantu Pierre-Emerick Aubameyang) namun tidak mengherankan bahwa banyak yang beradaptasi seperti itu.
Sepakbola elite semakin dimainkan di ruang yang sempit, lapangan semakin pendek dari waktu ke waktu dan para pemain semakin universal dalam keahlian mereka.
Dengan kata lain, formasi tradisional lebih plastis daripada sebelumnya - yang telah membebaskan ruang bagi duet striker untuk kembali unjuk gigi.
