Ketika Klaas-Jan Huntelaar pindah ke Real Madrid dari Ajax pada Januari 2009, itu adalah puncak dari buah penampilan positifnya selama bertahun-tahun.
Hanya saja, ia seperti tidak berjodoh dengan raksasa Spanyol tersebut. Hanya bertahan selama enam bulan dan gara-gara beberapa penampilan mengecewakan, ia harus angkat kaki dari Santiago Bernabeu.
Jalan Huntelaar menuju puncak itu panjang dan berliku, dan semuanya dimulai di tanah kelahirannya di Belanda.
Awal karier 'Si Pemburu'
Si Pemburu, begitulah Huntelaar dijuluki, mulai bermain sepakbola pada usia dini dengan saudara-saudaranya Niek dan Jelle, dan menandatangani kontrak pemuda pertamanya dengan De Graafschap saat berusia 11 tahun.
Selama beberapa tahun berikutnya ia dicoba di berbagai posisi, sebelum menemukan panggilan sejatinya sebagai striker.
Pada 2000, bakat Huntelaar dipantau oleh PSV Eindhoven. Meski pun punya rekor produktif di level junior, ia tidak mendapat kepercayaan lebih lanjut untuk bermain di skuad senior dan harus menjalani masa pinjaman di De Graafschaap dan AGOVV.
Terobosan besarnya muncul ketika bermain untuk Heerenveen pada 2004/05. Torehan 33 gol selama satu setengah musim menjadi bukti ketajaman 'Si Pemburu' hingga akhirnya memikat perhatian klub idola masa kecilnya, Ajax yang merekrutnya pada musim panas 2005.
GettyLangkah terbesar dalam karier Huntelaar
Ketajaman Huntelaar berlanjut selama tiga musim bersama Ajax, mencetak 76 gol dari 92 penampilan. Ia dibeli klub asal Amsterdam itu senilai €9 juta dan ketika ada tawaran tiga kali lipat dari Real Madrid pada 2009, Ajax tidak berpikir panjang untuk melepasnya dan sang pemain menyambut baik prospek pindah ke La Liga.
Awalnya tampak sempurna. Huntelaar tiba di ibukota Spanyol sebagai pengganti Ruud van Nistelrooy yang cedera, rekan senegaranya, tetapi dia hanya bisa mencetak delapan gol di paruh kedua musim dan Manuel Pellegrini, yang mengambil alih klub selepas musim 2008/09, tidak mau mempertahankannya.
Mungkin itu bukan salahnya. Tak lama setelah kedatangannya, presiden Madrid Ramon Calderon mengundurkan diri dari jabatannya menyusul skandal korupsi dan Bernd Schuster dipecat sebagai pelatih. Di luar itu, klub hanya diizinkan untuk mendaftarkan satu rekrutan musim dingin di Liga Champions dan lebih memilih Lassana Diarra ketimbang 'Si Pemburu'.
Terpilihnya Florentino Perez menandai era baru bagi Madrid dan Huntelaar dipandang sebagai pembelian gagal karena cuma mengemas delapan gol dari 20 laga hingga dikorbankan untuk membuka jalan bagi proyek Los Galacticos jilid dua dengan mendatangkan nama-nama seperti Karim Benzema, Cristiano Ronaldo dan Kaka.
Getty ImagesPeriode kebangkitan hingga gantung sepatu
Huntelaar tak lantas mampu bangkit ke performa terbaiknya selepas dari Madrid, ia mencoba peruntungannya di Italia bersama AC Milan namun lagi-lagi kesulitan dan cuma bertahan semusim di sana.
Barulah pindah ke Schalke pada musim panas 2010, Huntelaar menemukan kembali jati dirinya sebagai 'Si Pemburu'.
Di Jerman, ia memulihkan reputasinya sebagai striker oportunis nan tajam, mampu bertahan lama dan menghabiskan tujuh tahun di mana pada akhirnya menjadi favorit penggemar dan menemukan tingkat stabilitas dalam kariernya.
Cedera menjadi momok baginya di musim terakhir bersama Schalke, hingga pada 2017 ia memutuskan untuk pulang ke klub yang membesarkan namanya, Ajax.
Empat musim di klub lamanya, Huntelaar masih produktif meski sudah memasuki usia senja. Striker yang menjadi andalan tim nasional Belanda dari 2006 hingga 2015 dengan torehan 42 gol dari 76 laga itu sukses mengangkat dua titel Eredivisie dalam periode keduanya bersama Ajax.
Tapi di Schalke-lah ia menutup karier sebagai pemain. Sempat rehat selama enam bulan setelah dilepas oleh Ajax, klub Bundesliga itu merekrutnya untuk kali kedua pada Januari 2021 dan masa singkatnya hingga akhir musim ditandai dengan torehan sebagai pencetak gol tertua dalam sejarah Schalke di Bundesliga, yakni pada usia 37 tahun dan 234 hari.


