"Moral sepakbola adalah lebih baik kalah terhormat daripada menang curang," kata monsinyur Luis Ladaria Ferrer sebelum laga uji coba antara tim nasional Vatikan dan Monaco pada 2014.
Bukan filosofi seperti yang dianut manajer modern seperti Jose Mourinho, melainkan doktrin yang dipegang teguh oleh timnas sepakbola Vatikan, yang dalam sejarah mereka sama sekali belum pernah memenangkan sebuah pertandingan.
Dibentuk pada 1972, timnas Vatikan saat ini berada di posisi ke-220 dari 239 negara yang terdaftar dalam daftar peringkat ELO, diapit oleh Makau dan Laos.
Vatikan merupakan salah satu dari sembilan negara berdaulat yang bukan anggota FIFA, meski pun UEFA mengatakan akan menerima bentuk pendaftaran apa pun untuk bergabung dengan mereka.
Namun, keanggotaan bagi mereka tidak memungkinkan karena negara 'Takhta Suci' bagi umat Katolik tersebut tidak memiliki begitu banyak pemain untuk bisa dipilih - PBB memperkirakan saat ini hanya ada 801 jiwa yang tinggal di negara yang juga berbentuk kota tersebut. Kendati memiliki populasi sedikit, mereka memiliki liga yang terdiri dari delapan klub, yang menjadi sumber daya timnas mereka.
Sepak mula pertandingan persahabatan pada 2014 dengan Monaco sempat tertunda karena masalah lalu lintas, ketika ada acara ceramah Paus Fransiskus. Sang pemimpin Gereja Katolik di seluruh dunia memang diundang untuk menghadiri pertandingan karena ia juga penggemar sepakbola, tumbuh sebagai pendukung San Lorenzo di Argentina.
Beberapa bulan kemudian, presiden FIFA kala itu, Sepp Blatter mengungkapkan bahwa Paus Fransiskus mengikuti perjalanan negaranya, Argentina hingga final Piala Dunia 2014.
"Ia jelas tidak senang dengan kekalahan Argentina [dari Jerman]," ungkap Blatter seperti dikutip laman Catholic Times, "Tapi ia mengatakan kepada saya bahwa sepakbola itu baik karena menyatukan semua orang."
Meski kental akan nuansa keagamaan, timnas Vatikan tidak hanya terdiri dari romo-romo yang ada di gereja, namun siapa saja yang tinggal di negara yang terletak di dalam kota Roma, Italia, itu memenuhi syarat untuk bermain.
Pemain bintang mereka pada 2014 adalah Alessandro Quarta yang berusia 35 tahun, seorang pegawai pemerintah yang sebelumnya bermain sebagai pesepakbola semi-profesional di kasta rendah kompetisi Italia, sementara lainnya adalah Bruno Mariotti, yang pernah bekerja di kantor pos Vatikan dan bermain hinga usia 50-an.
Mereka bahkan pernah punya pelatih ternama, dengan mantan juru taktik Juventus dan timnas Italia, Giovanni Trapattoni menangani tim pada 2010 untuk pertandingan amal melawan tim yang terdiri dari polisi Italia.
Sejak debut internasional mereka pada 1994, saat itu bermain imbang tanpa gol lawan San Marino B, timnas Vatikan telah memainkan puluhan pertandingan melawan timnas, klub, organisasi dan badan amal lainnya. Mereka telah lima kali bermain lawan Monaco, tapi hanya mampu mencetak satu gol.
Pertandingan terkini mereka adalah hasil imbang 2-2 melawan Raetia, sebuah provinsi di perbatasan Italia, Swiss, Austria dan Jerman, yang pernah berkompetisi di Piala Dunia CONIFA, bersama tim-tim lain yang tidak terdaftar di FIFA seperti Siprus Utara dan Irak Kurdistan.
Laga itu, seperti sebagian besar pertandingan kandang mereka, dimainkan di Campo Pio XI, stadion berkapasitas 500 kursi yang terletak di luar perbatasan Vatikan, di Roma, namun jaraknya hanya 400 meter dari Basilika Santo Petrus, salah satu situs tersuci dalam Kekristenan.
Lapangan Campo Pio XI sendiri digunakan oleh tim usia muda AS Roma untuk menggelar turnamen kecil dan menjadi saksi satu-satunya kemenangan dalam sejarah sepakbola Vatikan, yakni saat menang 5-1 atas klub amatir Swiss, SV Vollmond pada 2005 dan 1-0 atas klub amatir Jerman, Lutherstadt Wittenberg pada 2015.
Selain itu, hampir semua pertandingan timnas Vatikan berujung kekalahan dan beberapa di antarnya dialami dengan skor besar, kalah 8-1 dari Azzurri Schaan, klub kasta kedelapan Liechtenstein dan Weisweiler Elf, tim yang terdiri dari para pensiunan pemain Borussia Monchengladbach.
Pada 2019, timnas wanita pertama Vatikan sedianya akan bertanding melawan Mariahilf dari Austria, tapi dibatalkan beberapa saat sebelum permainan dimulai setelah lawan mereka memprotes sikap gereja terhadap aborsi dan hak-hak kaum homoseksual atau LGBT.
Fans di tribune membentangkan spanduk yang tegas bertuliskan "Melawan Homofobia" saat lagu kebangsaan Vatikan dikumandangkan, sementara seorang pemain Mariahilf menunjukkan kostum yang mengandung kata-kata "Tubuh saya, aturan saya."
"Pertandingan dibatalkan karena kami di sini untuk melakukan olahraga, dan bukan untuk pesan politik atau lainnya," kata juru bicara Vatikan, Danilo Zennaro kepada QRF.
Timnas pria bisanya juga menghindari momen-momen serupa, namun menolak untuk bergabung dengan CONIFA (Federasi non-FIFA) karena alasan politik, karena mereka enggan terlibat dalam masalah beberapa anggota yang berasal dari wilayah sengketa dengan negara-negara berdaulat.
Pertandingan persahabatan lainnya melawan Monaco kemungkinan akan kembali berlangsung setelah sepakbola bergulir lagi pasca COVID-19, dengan Vatikan masih mencari kemenangan pertama mereka melawan negara lain.
