Bergamo hospitalGetty

Kala Covid-19 Mengubah Malam Magis Atalanta Jadi Neraka Bergamo


OLEH  MARK DOYLE     PENYUSUN  SANDY MARIATNA

"Malam yang luar biasa, sebuah mimpi yang indah," kata kapten Atalanta Papu Gomez kepada Sky Sport Italia setelah timnya meraih kemenangan gemilang 4-1 atas Valencia di hadapan 40 ribu publik Bergamo yang bergemuruh riang di San Siro.

"Jujur, saya tidak menyangka ada sebanyak orang itu datang kemari dari Bergamo. Rasanya fantastis, unik, dan akan terus kami kenang selamanya dalam hidup."

Malam itu, kerumunan massa yang kegirangan saling berpelukan dan bersalaman saat melihat Gomez, Josip Ilicic, dan Hans Hateboer menggilas Valencia. Sayang, sebulan berlalu, malam magis di leg pertama babak 16 besar Liga Champions itu kini telah berbeda 180 derajat.

Dengan berselebrasi seperti itu, fans Atalanta secara tidak sengaja ikut ambil bagian dalam penyebaran Covid-19, virus mematikan yang telah menghancurkan Bergamo dan Italia. Per Senin (23/3), jumlah korban meninggal di Italia sudah melebihi 6000 jiwa. 

Duel Atalanta-Valenia tersebut kini telah dijuluki sebagai "Partita Zero", pelesetan dari ground zero yang mengindikasikan titik mula bencana. Sedangkan dokter kepala bidang pulmonolgi di rumah sakit utama Bergamo menyebut bahwa "bom biologis" telah meledak di San Siro.

Francesco Le Foche, seorang dokter imunologi, juga sepakat dengan hal itu. "Ada banyak pemicu utama atau katalis dalam penyebaran virus. Pertandingan Atalanta-Valencia bisa jadi salah satunya," ungkap Le Foche kepada Corriere dello Sport.

"Sebulan telah berlalu sejak pertandingan itu, jadi jarak waktunya memang tepat. Gabungan dari ribuan orang, yang hanya berjarak satu sentimeter, terlibat dalam euforia seperti memeluk dan berteriak. Kondisi yang ideal untuk penyebaran virus."

"Saya bisa membayangkan, ada banyak orang yang tidak ingin melewatkan laga itu jika punya tiket, bahkan jika mereka merasa sedikit demam. Melihat ke belakang, rasanya gila jika saat ini digelar laga dengan kerumunan seperti itu. Ketika itu, memang belum ada kejelasan. Kini, membayangkan saja sudah tidak mampu."

Hans Hateboer AtalantaGettyAtalanta fans San SiroGetty

Saat itu memang belum ada perhatian terhadap pandemi ini, yang masih berpusat di Wuhan, Tiongkok. Pasien pertama di Italia baru terdeteksi di Codogno, dua hari sebelum pertandingan. Codogno sendiri jadi kota pertama di Italia yang dikarantina dan hanya berjarak satu jam perjalanan dari Bergamo.

Bek sayap Atalanta Robin Gosens mengakui, tak seorang pun menyadari adanya ancaman bahaya di San Siro di mana sepertiga dari populasi penduduk kota Bergamo berkerumun. "Kami semua meremehkan Covid-19, termasuk saya" kata Gosens kepada La Gazzetta dello Sport.

"Saya berpikir bahwa itu cuma flu biasa. Saya pergi keluar, ke restoran, bertemu teman-teman. Kami tidak tahu betapa bahayanya virus ini. Kami hanya memahmai bahwa sudah ada banyak kasus," kata pemain asal Jerman itu.

Ketika leg kedua digelar di Valencia, virus corona tipe baru ini sudah menyebar luas di utara Italia, dan Bergamo jadi salah satu kota yang paling parah terdampak. Sempat ada keraguan Atalanta bisa berangkat ke Spanyol meski laga digelar tertutup.

Pada akhirnya, laga tetap digelar. La Dea menyegel tempat di perempat-final dengan kemenangan 4-3 alias unggul 8-4 secara agregat. Seusai laga, para pemain berkumpul di tengah lapangan Mestalla yang kosong dan membentangkan spanduk kecil: "Bergamo, ini untuk kalian. Jangan pernah menyerah."

Sebelum pertandingan, para pemain mendapat dukungan dari walikota Bergamo dan bahkan dari sejumlah kepala rumah sakit lokal yang saat itu sudah kewalahan menangani lonjakan kasus virus corona.

Kemenangan itu memberikan kelegaan kepada publik Bergamo di tengah krisis kesehatan yang mengancam. "Mereka memberikan kami dua jam penuh hiburan dan kegembiraan kepada Bergamo dan Italia," kata presiden Atalanta Antonio Percassi.

Pertandingan itu seharusnya tidak dimainkan. Gosens bertanya-tanya, mengapa digelar laga tertutup jika pada akhirnya para suporter Valencia tetap berkerumun di luar Mestalla.

Sementara itu, fans Atalanta yang sudah mendonasikan seluruh uang tiket tandang ke rumah sakit Bergamo, diwanti-wanti untuk tidak menyambut para pahlawan mereka di bandara maupun merayakan kemenangan bersejarah itu di pusat kota.

Bergamo funeralGetty

Namun semuanya sudah terlambat. Dampak yang ditimbulkan dari berkerumunnya penonton di leg pertama sudah terasa. Bermain di leg kedua di Valencia juga menambah masalah, karena 35 persen dari staf Atalanta positif mengidap virus corona.

Tentu mustahil untuk mengetahui dengan persis apakah penularan Covid-19 itu terjadi di Milan, Mestalla, atau di tempat lain. Namun yang pasti, dua pertandingan itu seharusnya tidak digelar.

Ketika pulang ke Italia, Gian Piero Gasperini dan para pemainnya seperti tiba di sebuah negara yang berbeda. "Kami tiba hari Kamis pukul 3:30 dini hari dan saya langsung menyadari bahwa kami berada di realita yang mengerikan," kata Gasperini kepada Corriere dello Sport pada 12 Maret lalu.

"Perubahan yang terjadi sungguh signifikan. Empat hari yang lalu dengan hari ini seperti dua dunia yang berbeda. Wabah pes. Ini seperti wabah pes. Kehidupan kami benar-benar berubah."

Gasperini, staf, dan pemain Atalanta kini terkurung di rumah. Setiap kali bangun pagi mereka akan mendengar berita kematian dan kasus positif yang lebih banyak. Isi dari surat kabar lokal L'Eco didominasi obituari, sementara televisi menayangkan truk militer mengangkut peti mati dari kamar mayat yang penuh untuk dibawa ke krematorium.

Namun, masih ada orang-orang yang tidak merespons lockdown alias isolasi di Italia ini. Bahkan sejumlah virologi berspekulasi bahwa Covid-19 telah bermutasi di Lombardia, wilayah utara Italia, yang membuatnya makin mematikan dan sulit diatasi.

"Ada sesuatu di Lombardia yang tidak bisa kami pahami," ungkap Maria Rita Gismondo dari rumah sakit Sacco, Milan kepada AdnKronos. "Jumlah kematian di sana melampaui jumlah kematian di Tiongkok, di daerah yang jauh lebih kecil dan dengan jangka waktu yang lebih singkat. Sesuatu yang aneh sedang terjadi."

Pada akhirnya, tak ada yang tahu kapan ini semua berakhir, terlebih mengetahui kapan Atalanta akan beraksi kembali. Sebuah kota dan penduduknya yang sebulan lalu bersukacita dalam mimpi indah, kini terperangkap dalam mimpi buruk yang entah sampai kapan.

Iklan

ENJOYED THIS STORY?

Add GOAL.com as a preferred source on Google to see more of our reporting

0