Ketika Frank Lampard dipecat di awal 2021, sebagian fans Chelsea murka dan mengutuk keputusan Roman Abramovich, sebagian lainnya lega mereka tak perlu lagi melihat sang pahlawan berubah menjadi penjahat.
Bagaimana tidak? Sebagai pemain, Lampard menghadirkan berbagai kenangan manis buat loyalis The Blues. Dia mencetak gol yang mengakhiri penantian 50 tahun Chelsea meraih gelar Liga Inggris. Ketika John Terry absen, dia yang menjadi kapten di malam bersejarah Chelsea di Munich, ketika Si Singa London meraih trofi Liga Champions pertama mereka.
Sebagai pelatih, ia sigap menerima pinangan Chelsea ketika mereka dijatuhi hukuman larangan transfer dan ditinggal sosok Eden Hazard. Kepercayaannya kepada pemain akademi seperti Reece James dan Mason Mount pun menelurkan generasi baru bagi The Blues, yang nantinya menjelma pilar utama mereka. Sederhana: Lampard adalah legenda Chelsea, pahlawan Chelsea. Lampard adalah Chelsea. Fans sudah tahu bahwa Abramovich memang terkenal bengis urusan pemecatan, tapi ketika sang legenda yang jadi korban, hati tersayat juga.
Thomas Tuchel, pahlawan Chelsea
Namun, datanglah seorang pria, yang melipur segala lara suporter The Blues saat itu. Enam bulan diangkat menggantikan peran Lampard yang begitu dicintai, Thomas Tuchel membuktikan kepantasannya dengan persembahan trofi terbesar yang pernah ada: trofi Liga Champions. Pelatih berkebangsaan Jerman itu langsung menjadi pahlawan baru bagi panji-panji Si Biru.
Getty ImagesTuchel juga melengkapi koleksi trofi Chelsea dengan kemenangan di Piala Super UEFA dan Piala Dunia Antarklub. Ia membawa klub yang dibesarkan Roman Abramovich selama dua dekade terakhir itu ke level yang tak pernah tersentuh sebelumnya.
Paruh pertama musim lalu, penampilan anak asuh Tuchel mulai membuat fans Chelsea bermimpi. Mungkinkan trofi Liga Primer Inggris ke Stamford Bridge? Mendobrak duopoli Manchester City-Liverpool yang begitu mendominasi?
Badai cedera, Covid-19, dan sanksi Abramovich
Sayangnya, mimpi hanyalah mimpi dan bulan madu selalu berakhir. Itulah yang terjadi pada Tuchel hampir satu tahun setelah menjadi manajer Chelsea.
Dimulai dari badai cedera dan Covid-19, performa anak asuhnya berantakan sejak pertengahan musim lalu. Sudah jatuh tertimpa tangga, The Blues kembali geger usai Abramovich disanksi buntut kedekatannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di tengah-tengah invasinya terhadap Ukraina. Kekacauan pun kembali hadir di Stamford Bridge.
Getty/GOALAbramovich akhirnya harus melepas kepemilikannya terhadap Chelsea, dengan konsorsium pimpinan Todd Boehly menjadi penggantinya.
Di bawah era transisi kepemilikan baru dan inkonsistensi performa di lapangan, Tuchel tetap teguh dan gigih berjuang. Sayangnya musim mereka berakhir pahit, dengan kekalahan di kedua final piala domestik. Dia memang sukses membawa Chelsea finis ketiga dan lolos ke Liga Champions, tapi tak bisa dipungkiri bahwa fans berharap lebih dari sekadar performa angin-anginan, apalagi setelah mimpi yang secara tak langsung Tuchel obral di paruh pertama.
Tapi loyalis Chelsea tegas: percayai proses!
Turbulensi era baru Chelsea
Bursa transfer The Blues selalu menegangkan dan seru untuk diikuti. Pergantian pemilik pun tidak membuat ciri khas tersebut sirna begitu saja dari Chelsea musim panas ini.
Boehly dilaporkan bertekad untuk mendukung Tuchel sepenuhnya, dan ingin melibatkannya di proses rekrutmen seperti pemilihan target. Tapi, mungkin justru inilah kesalahan pertama.
Sang manajer berkali-kali bilang bahwa dia tidak senang dengan tanggung jawab ekstra tersebut di bursa transfer musim panas, dia mengaku sebagai seorang pelatih bukan pemandu bakat. Tuchel juga terus mengeluhkan kepergian Petr Cech dari posisi penasihat performa dan teknis.
Tapi ketidaksenangan tersebut tak mencegah Boehly menghadiahi Tuchel dengan berbagai pemain yang dilaporkan sebagai pilihan sang manajer, sampai £200 juta lebih pula totalnya. Raheem Sterling, Pierre-Emerick Aubameyang, dan masih banyak lagi.
Bursa transfer ditutup, musim kompetisi dimulai. Fans Chelsea menanti dengan tak sabar melihat wajah baru tim kesayangan mereka yang dipilih langsung oleh sang manajer.
Hasilnya? Bencana.
(C)Getty ImagesTiga kekalahan dan satu kali imbang dari tujuh pertandingan bahkan tak mewakili segalanya. Menjadi klub paling boros di bursa transfer, Chelsea justru tampil seperti masa-masa kelam kepelatihan Frank Lampard: minim kreativitas, pertahanan keropos, striker mejan, pemain tidak padu satu sama lain.
Kekalahan 1-0 atas Dinamo Zagreb Selasa (6/9) pun menjadi akhir perjalanan sang pahlawan Chelsea dari Jerman. 100 hari menjadi pemilik, konsorsium Boehly memutuskan untuk mencopot Tuchel dari posisinya, hanya satu pekan setelah bursa transfer ditutup, bursa di mana mereka mendukung sang manajer habis-habisan. September saja baru genap satu pekan.
Tak cuma fans Chelsea, kancah sepakbola di seluruh dunia pun mungkin syok berat.
Chelsea pecat Tuchel - kebengisan sesat atau bukti ketegasan?
Menurut Telegraph, kepemilikan Chelsea memang telah berencana mendepaknya sejak sebelum laga versus Zagreb, alasan utamanya adalah komunikasi sang pelatih yang tidak terbuka.
Contohnya ketika pertimbangan transfer Cristiano Ronaldo dari Boehly ditolak mentah-mentah oleh Tuchel. Alih-alih menjaga komunikasi dengan baik, sang manajer justru terheran-heran mengapa dia harus menjelaskan kepada sang pemilik bahwa dia tak menginginkan bintang Portugal itu.
Dengan Boehly ingin menciptakan kultur yang serba transparan di antara para pemegang kekuasaan di Stamford Bridge, sikap tersebut menjadi rapor merah untuk Tuchel.
Yang jadi pertanyaan besar, apakah keputusan ini merupakan bukti ketegasan sang pemilik baru, atau kebengisan salah arah belaka? Bagaimana bisa Anda memasrahkan bisnis transfer kepada seorang manajer, kemudian memecat manajer tersebut begitu krisis bermunculan. Hanya sampai situ kah kepercayaan mereka?
Jangan salah, Tuchel harus bertanggung jawab atas menurunnya tren performa Chelsea di bawahnya, dia sangat layak dikritik, dan capaian Liga Champions tak lagi bisa menjadi tamengnya.
Mungkin dia memang layak dipecat, andai dirinya sendiri yang memaksa memegang kendali rekrutmen.
Masalahnya adalah dia dibebani tanggung jawab yang terang-terangan tak ia nikmati. Klub yang waras tentu akan menunjuk direktur sepakbola atau pemandu bakat pilihan terlebih dahulu sebelum memasrahkan £200 juta lebih kepada satu orang manajer.
Getty ImagesKini dengan didepaknya Tuchel, bagaimana nasib pemain-pemain baru itu? Pemecatan terasa sebagai sebuah solusi radikal, yang tak mustahil membuat langkah Chelsea semakin gontai bahkan hanya satu bulan setelah musim baru bergulir.
Di sisi lain, kita bisa berhusnuzan dan memandangnya sebagai bentuk komitmen Boehly dalam menegakkan budaya baru di Chelsea. Dia ingin The Blues dipimpin pelatih yang tak cuma andal di lapangan, tapi juga piawai menjaga harmoni dalam struktur kepemimpinan Chelsea.
Kendati demikian, sulit untuk tak mengkritik konsorsium pimpinan Boehly atas kegagalan mereka mengatur skala prioritas. Harapannya, mereka sudah menemukan pengganti Tuchel dan/atau seorang direktur sepakbola yang bisa membersamai seorang manajer dalam membangun dinasti yang bisa menyaingi kejayaan Kekaisaran Roman, dan tidak cuma menyamai kebengisannya saja.


