Burnley, Luton Town, dan Sheffield United. Selain sama-sama berstatus klub promosi Liga Primer Inggris 2023/24, tiga klub ini memiliki kesamaan lain: performa payah di awal musim ini.
Jika kita tidak menghitung sanksi 10 poin yang baru saja dialami Everton, maka ketiga klub promosi itu teronggok di tiga terbawah klasemen sementara.
Tak hanya itu, mereka juga terbilang mengecewakan secara statistik dalam 13 pertandingan. Jika digabung, ketiganya sudah kebobolan 89 gol dan baru mengumpulkan 18 poin. Masing-masing klub juga baru meraih satu atau dua kemenangan.
Penjelasan singkat di atas secara langsung bisa menggambarkan terjadi jurang kualitas yang melebar antara klub-klub EPL dan klub-klub Championship, yang terwakilkan oleh Burnley, Luton, dan Sheffield.
Selama ini, sepakbola Inggris masih setia pada prinsip piramida di kompetisi liga mereka, mulai dari liga regional di tiap daerah hingga naik ke EPL sebagai pucuk kasta tertinggi.
Sistem ini memang menjanjikan kestabilan dan kontinuitas. Namun, di satu sisi bisa menimbulkan kesenjangan, khususnya jika kita melihat jomplangnya perputaran uang antara klub-klub EPL dan Championship.
Itulah mengapa terdapat parachute payments atau pembayaran parasut, supaya klub yang terdegradasi dari EPL ke Championship tidak mengalami ketimpangan terlalu jauh di sektor finansial mereka dan dapat menyesuaikan diri.

Jika kualitas antardivisi tidak begitu jauh, seharusnya kita akan lebih sering melihat tim promosi yang rutin merangsek ke papan tengah atau bahkan lebih tinggi. Sayangnya, kita sudah jarang melihat kisah heroik tim promosi seperti di era 1990-an.
Blackburn Rovers (1992/93), Newcastle United (1993/94), dan Nottingham Forest (1994/95) menjadi contoh terbaik dari keberhasilan tim promosi EPL menembus empat hingga tiga besar klasemen di akhir musim.
Namun, cerita semacam itu nyaris mustahil terjadi di era sekarang. Paling banter adalah Wolverhampton di musim 2018/19. Saat itu, Wolves yang diasuh Nuno Espirito Santo dan dibekali banyak pemain berbakat Portugal itu sanggup finis ketujuh dan lolos ke Eropa.

Memang naif untuk berpikir bahwa tim-tim promosi akan mengejutkan klub-klub kaya dan melejit ke papan atas. Akan tetapi, sama naifnya untuk berpikir bahwa tim promosi EPL akan langsung terpuruk.
Di musim ini, itulah yang terjadi. Baik Burnley, Luton, maupun Sheffield nyaris tidak berkutik di EPL. Sheffield sempat dihancurkan Newcastle 8-0 hingga dihajar Arsenal 5-0.
Sementara Luton, dengan stadion mungil berkapasitas 11 ribu, juga tak bisa berbuat banyak. Barangkali ambisi terbaik mereka adalah menikmati pengalaman debut di EPL dan belajar untuk berbenah lagi di masa depan.
Burnley jadi yang paling disayangkan. Di musim lalu, tim asuhan Vincent Kompany itu mendominasi Championship dan menjadi juara lewat permainan rapi nan atraktif. Kini, tim yang disponsori W88 itu seperti tim yang sama sekali berbeda dan baru menang sekali, itu pun melawan sesama tim promosi, Luton.
.png)
Lantas, apakah kita masih percaya EPL adalah liga di mana siapa pun bisa mengalahkan siapa pun? Apakah kita masih percaya EPL sekompetitif itu jika Manchester City saat ini sedang menuju gelar liga keenam mereka dalam tujuh tahun terakhir?
Kondisi Burnley, Luton, dan Sheffield membuat kita berpikir ulang. Barangkali inilah cara sepakbola modern bekerja. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Terakhir kali kejadian tiga tim promosi EPL langsung terdegradasi ketiga-tiganya ke Championship terjadi di musim 1997/98 (Barnsley, Bolton Wanderers, Crystal Palace). Bukan tidak mungkin sejarah terulang kembali di musim ini.
