Andrea AgnelliGetty

Apakah Presiden Juventus, Andrea Agnelli Sosok Paling Berbahaya Dalam Sepakbola?

Andrea Agnelli adalah pimpinan Asosiasi Klub Eropa (ECA). Status itu bisa dibilang menjadikannya sosok paling kuat dalam dunia sepakbola, namun itu berarti ia juga bisa menjadi ancaman terbesar.

Dan, karena itulah Agnelli merasa memiliki masalah. Dan, solusinya adalah membunuh persaingan.

Agnelli adalah presiden Juventus, klub terbesar di Serie A. Dalam daftar peringkat Deloitte Money Football League terbaru, Bianconeri berada pada posisi kesepuluh, setelah menghasilkan pendapatan €459.7 juta pada musim 2018/19.

Agnelli belum merasa puas, karena masih ada pihak-pihak lain yang memiliki penghasilan lebih banyak.

Setelah meminta para pemegang saham Juve untuk menyetujui peningkatan modal €300 juta pada Oktober lalu, Agnelli menerangkan: "Angka-angka tersebut tampak sangat besar jika dibandingkan dengan kenyataan yang ada di Italia, namun titik referensi kami adalah klub-klub besar Eropa."

"Kami dapat menegaskan bahwa Juventus adalah klub terbesar di sepakbola Italia, serta juga salah satu klub terbesar di Eropa."

"Pertumbuhan kami dapat dilihat pada peringkat UEFA kami - kami saat ini berada pada posisi kelima, namun memiliki alasan yang kuat untuk berpikir mengincar posisi keempat."

"Ketika melihat klub-klub utama Jerman, Inggris dan Spanyol, kami melihat bahwa omset mereka berkisar mulai €489 juta di Borussia Dortmund hingga hampir €1 miliar yang dibuat Barcelona tahun ini. Realitas itu harus menjadi patokan kami."

"Tingkat perputaran uang kami saat ini, tidak termasuk transfer pemain, adalah tingkat seperti yang dimiliki Real Madrid ketika saya mengambil alih kepemimpinan Juventus pada 2010."

"Jelas bahwa tingkat pertumbuhan yang kami kembangkan lebih tinggi daripada Real Madrid, namun masih ada celah, yang jelas harus kami tutup."

Pertanyaannya adalah bagaimana Agnelli melakukan itu, karena kenyataannya jika dari sudut pandang finansial, Juve telah berkembang sangat pesat di Italia.

Juve telah memenangkan delapan gelar juara Serie A terakhir secara beruntun, hanya saja itu membuat Serie A tidak lagi menarik seperti dulu, yang berarti Juve tidak bisa mendapatkan jumlah uang yang sama dari hak siar televisi domestik seperti Barcelona dan Real Madrid di Spanyol, atau klub-klub besar Liga Primer yang bergelimang uang.

Bagi Juve, pemasukan yang nyata harus dibuat dalam kompetisi Eropa dan, dengan demikian, perhatian Agnelli sekarang difokuskan pada usaha reformasi Liga Champions.

Karl-Heinz Rummenigge Andrea AgnelliGetty

Saat menghadiri Financial Times Business of Football Summit di London pekan lalu, Agnelli mengungkapkan pandangannya tentang Liga Champions, membidik kisah sukses dari partisipasi musim ini.

"Saya sangat menghormati segala yang dilakukan Atalanta, tapi tanpa sejarah internasional dan berkat satu musim yang hebat, mereka punya akses langsung ke kompetisi klub utama Eropa. Apakah itu benar atau tidak," tanya sang pimpinan ECA.

"Saya memikirkan Roma, yang berkontribusi dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan koefisien Italia. Mereka mengalami satu musim yang buruk dan tersingkir, dengan segala kerugian yang diakibatkan itu secara finansial."

"Kita semua harus melindungi adanya investasi dan biaya-biaya."

Agnelli, tentu saja, tidak sendirian dalam memandang sepakbola semata-mata dalam bentuk bisnis ketimbang sekadar olahraga. Ia bukan kembali terpilih sebagai pimpinan ECA tanpa alasan. Pandangannya yang meremehkan klub-klub kecil tentu juga dimiliki oleh rekan-rekannya.

Pada Februari 2015, presiden Lazio, Claudio Lotito, terdengar meratapi fakta bahwa ada dua klub kecil, Frosinone dan Carpi yang dalam jalur persaingan promosi ke Serie A.

"Jika ada tim yang promosi tidak bernilai satu sen, dalam dua atau tiga tahun kami tidak akan memiliki satu sen," ujarnya kala dikutip La Reppublica.

"Saya berhasil menjual hak TV kami, menghasilkan €1.2 miliar berkat kemampuan saya..."

"Jika dalam tiga tahun kita memiliki Latina dan Frosinone, siapa yang akan membeli hak-hak siar yang ada? Mereka [sponsor] bahkan tidak tahu di mana Frosinone berada!"

Atalanta pada dasarnya ibarat Frosinone bagi Agnelli: simbol sisi tak terduga dalam olahraga. Dengan anggaran terbesar ke-13 di Serie A, Atalanta telah merusak pesta Liga Champions dan Agnelli tidak terkesan akan hal itu.

Memang, ia tidak percaya bahwa tim yang menempati posisi ketiga Serie A musim lalu - di atas Inter Milan serta AC Milan - layak mendapat tempat di papan atas Eropa.

"Apakah karena itu Atalanta memiliki lebih sedikit peluang bermain di level tinggi [Liga Champions]?" ia merenung. "Saya tidak punya jawaban untuk itu. Ini hanya tentang menyiapkan proses transpadan dalam membuat keputusan ini."

"Ada tim yang memenangkan liga atau piala domestik dan juga lolos hanya berdasarkan peringkat liga negara mereka. Intinya adalah bagaimana kita menyeimbangkan kontribusi untuk sepakbola Eropa dan kinerja satu musim."

Menariknya, reaksi terhadap komentar Agnelli terdengar instan. Bahkan surat kabar Tuttosport yang berbasis di Turin menampilkan kata-kata "Agnelli, apa yang Anda bicarakan?" pada halaman depan mereka.

Pandangannya tidak sepenuhnya mengejutkan, meski pun yang dikatakannya memang sesuai dengan kenyataan yang ada tentang masa depan sepakbola selama satu dekade terakhir.

Tentu saja, seseorang sepertinya bisa dimaafkan karena merasa iri pada Atalanta. Lagipula, Atalanta sebenarnya memainkan sepakbola yang menarik, tidak seperti Juventus sekarang ini.

Ada ironi dalam kenyataan dalam usaha membuat Liga Champions lebih menarik, Agnelli akan mengesampingkan tim terbaik yang paling enak ditonton di Italia saat ini. Mereka adalah tim tersubur di Serie A dan telah mencetak tujuh gol dalam tiga pertandingan musim ini.

Josip Ilicic Atalanta celebrating ValenciaGetty Images

Mereka juga membuat sejarah di Liga Champions. Agnelli mempertanyakan apakah mereka layak bermain di level tertinggi - namun Atalanta hampir menembus perempat-final, setelah lolos dari fase grup yang berisi Manchester City, meski sempat kalah dalam tiga pertandingan pertama mereka.

Mereka juga memenangkan leg pertama babak 16 besar, sementara Juve tidak.

Tapi jangan mengabaikan inti bahasan. Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi di lapangan. Ini bukan tentang sepakbola, ini soal finansial.

Dan, seperti yang dikatakan presiden Torino, Urbano Cairo pekan lalu, "Jika kita meninggalkan kompetisi hanya untuk beberapa klub, maka kita akan kehilangan esensi olahraga." Sebenarnya, sepakbola sudah melakukan hal itu sejak lama.

Mungkin kita harus melihat kembali ke sejarah pembentukan Liga Champions, ketika para elite Eropa memutuskan untuk mereformasi Piala Eropa setelah Real Madrid bermain imbang lawan Napoli pada musim 1987/88.

Tersingkirnya sang juara dari salah satu pasar TV terbesar di Eropa terlalu berat untuk ditanggung oleh para pemangku kepentingan utama turnamen ini, sehingga ada upaya yang dilakukan agar menghindari hal-hal seperti itu terjadi lagi.

Liga Champions kemudian diluncurkan pada 1992, memperkenalkan babak grup yang memberikan kesempatan bermain lebih banyak bagi para peserta. Sejak itu, format asli tidak lagi digunakan, bahwa turnamen hanya bisa diikuti oleh tim-tim juara negara masing-masing, yang ternyata juga sempat mengundang perdebatan.

Namun itu tidak berarti bagi para elite Eropa, yang mereka inginkan hanyalah sepotong kue (uang). Bagaimana pun, Barcelona dan Real Madrid tidak bisa sama-sama memenangkan gelar pada tahun yang sama jika memakai format lama, jadi solusinya adalah memastikan keduanya bisa lolos dengan menambah peserta.

Jadi, dalam konteks itu, ada rencana pamungkas Agnelli, yakni adanya liga baru yang mencakup seluruh Eropa, bernama European Super League, yang akan menjamin tim-tim top dari benua tersebut berkompetisi secara eksklusif dan akan ada lebih banyak pertandingan, itu bisa menjadi langkah evolusi selanjutnya Liga Champions.

Agnelli telah mencoba untuk menggambarkan gagasan reformasinya sebagai upaya untuk meningkatkan persentase kejutan dalam turnamen.

"Jika kita memikirkan babak penyisihan grup Liga Champions, kita semua dapat menebak 15 dari 16 tim yang akan lolos ke 16 besar," katanya dengan yakin.

"Dua tim pertama di masing-masing grup Liga Champions mungkin sudah masuk prediksi. Kami ingin menemukan format pertandingan yang lebih relevan."

Namun, ia bermaksud menerapkan gagasan itu ke dalam format baru yag akan mempertemukan kumpulan inti klub super Eropa yang sama setiap tahunnya.

Partisipasi bagi klub-klub di luar jajaran elite akan semakin sulit, dalam hal ini visi Agnelli juga berarti Leicester City yang di luar dugaan menjuarai Liga Primer pada 2016 lalu bakal tetap dipandang tidak layak berpartisipasi karena hanya baru menjalani satu musim yang hebat.

Jadi, nikmati tim-tim seperti Atalanta di Liga Champions musim ini selagi Anda bisa karena Agnelli dan koleganya akan terus berusaha melakukan reformasi kompetisi... dan mengurangi esensi olahraga itu sendiri.

Iklan

ENJOYED THIS STORY?

Add GOAL.com as a preferred source on Google to see more of our reporting

0