Seorang pemain yang disebut sebagai Serge Hamadou adalah pesepakbola asal Kamerun yang bermain di liga amatir di Ukraina, dan ia baru-baru ini menceritakan pengalaman mencekamnya untuk pergi dari negara tersebut.
Kita semua mengetahui bahwa Rusia telah melakukan invasi ke Ukraina, yang membuat semua mata tertuju pada krisis tersebut.
Dan sepakbola menjadi salah satu yang terdampak. Hamadou pun menceritakan bagaimana ia bertahan hidup selama invasi dan ia pun mengakui bahwa dirinya mengalami pelecehan rasisme selama berusaha keluar dari Ukraina.
Hamadou sebenarnya sangat senang ketika melangkahkan kakinya di Eropa pada 2020 untuk bermain bersama tim amatir Dnipro, sebuah kota di Ukraina tengah.
"Inilah tempat yang selalu saya impikan," kata Hamadou. "Bermain sepakbola di Eropa tengah."
"Meskipun kondisi saya, saya tidak akan menyerah. Saya melihat diri saya di puncak dan saya harus mencapai itu."
Ketika invasi terjadi, Hamadou tidak langsung meninggalkan Ukraina. Dan barulah ketika ada ledakan di Kiev, ia dan teman-temannya berusaha mengungsi ke Polandia.
Meski seluruh dunia memberikan dukungan kepada Ukraina, ternyata masih saja ada orang-orang yang rasis, dengan memilih-milih siapa yang diperbolehkan masuk ke Polandia.
Ia mengaku bahwa keamanan Polandia hanya mempersilakan orang-orang kulit putih untuk memasuki negara tersebut, sementara ia dan rekan-rekannya kulit hitam harus terjebak di perbatasan selama beberapa hari.
Getty Images"Tempat itu penuh sesak dengan banyak orang, banyak orang Afrika, termasuk rekan pemain sepakbola saya dari Kameru," kata Hamadou.
"Otomatis, ongkos transportasi naik karena para pengemudi bus itu melihatnya sebagai peluang untuk mencari uang. Kami berempat membayar $200 untuk jarak 71km. Pengemudi hanya menempuh jarak 15km dan menurunkan kami. Kami kemudian berjalan sejauh 56km."
Hamadou menambahkan ketika telah sampai di perbatasan: "Keamanan menempatkan orang Afrika di sisi lain dan hanya mengizinkan orang kulit putih untuk menyebrang."
"Kami terdampar di perbatasan selama satu hari. Beberapa orang selama dua hari, ada juga yang tiga hari. Kondisi itu tidak berubah. Kami kemudian kembali ke stasiun kereta."
Ia dan rekan-rekannya akhirnya memutuskan untuk berjalan ke stasiun, berharap bahwa mereka bisa mendapatkan transportasi untuk keluar dari Ukraina.
Namun, lagi-lagi ia dan teman-temannya mendapat pelecehan rasisme. Hamadou menjelaskan bagaimana ia mendapatkan ancaman, bahkan ditodong senjata selama berada di stasiun.
Getty Images"Prosesnya sangat mengerikan. Saya merasa bahwa saya harus menangis saat menjelaskan karena saya mengalami kesulitan," ungkapnya.
"Hanya wanita kulit putih dan anak-anak mereka yang diizinkan pergi. Mereka mendorong kami dan bahkan mengancam kami dengan senjata. Mereka melontarkan hinaan kepada kami. Kami harus berjuang untuk mendapatkan tempat di dalam kereta, untuk melewati penjaga dengan aman."
"[Ketika di dalam kereta] Kami orang kulit hitam tidak diizinkan duduk. Kami melakukan perjalanan dari Lviv [kota di dekat perbatasan Polandia] selama 24 jam berdiri di tempat yang sangat sempit sementara para wanita duduk bersama anak-anak, anjing dan kucing mereka."
"Mereka lebih suka memberikan kursi untuk anjing daripada pria kulit hitam."
Rasisme memang masih menjadi persoalan yang sensitif, termasuk di dalam sepakbola. Hamadou pun juga mendapatkan pelecehan rasisme selama menjadi pesepakbola di Ukraina.
"Mereka melecehkan Anda karena melanggar mereka selama sesi latihan. Mereka membuat Anda merasa seperti Anda tidak tahu cara bermain sepakbola, dan pelatih tidak mengatakan apa-apa," katanya.
Ditanya apakah ia akan kembali ke Ukraina, Hamadou dengan tegas mengatakan: "Tidak!"
"Saya tidak akan pernah. Saya tidak pernah menyukai Ukraina, tetapi sebagai pesepakbola Anda wajib pindah dan ketika Anda pindah. Anda mengalami banyak hal."
"Ukraina beru saja mengajari saya pengalaman pahit dan saya tidak ingin mengalaminya lagi."
