OPINI: Ardiyanto Pramono*
Kekalahan timnas Indonesia dari Irak dan Arab Saudi pada Oktober lalu dianggap sebagai salah satu bencana terbesar dalam sepakbola nasional, terutama karena masyarakat menaruh harapan tinggi pada kelolosan bersejarah Garuda ke Piala Dunia 2026.
Akibat kekalahan itu, popularitas Ketua Umum PSSI Erick Thohir dinilai menuju ke arah negatif. Sosok yang kini merangkap jabatan sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga itu dituding paling bertanggung jawab karena telah memecat pelatih timnas yang disukai masyarakat, Shin Tae-yong, dengan legenda Belanda yang diragukan kecakapannya sebagai pelatih, Patrick Kluivert.
Padahal, sebelum kekalahan menyesakkan itu, pamor Erick Thohir diprediksi akan meroket andaikan timnas Indonesia berhasil melangkah jauh. Bahkan, Erick dianggap sedang bertaruh dengan mengganti pelatih timnas agar popularitasnya naik dan dia bisa menjadi bakal calon presiden atau wakil presiden di 2029.
Namun, kita tidak akan membahas naik-turunnya elektabilitas Erick Thohir karena prestasi timnas Indonesia. Kita akan membahas apakah sepakbola, khususnya sepakbola Indonesia, memang benar bisa memenangkan pertarungan politik dan posisi ketua umum PSSI dapat menjadi batu loncatan untuk karier yang lebih tinggi.
Asumsi
Sejauh ini, itu semua sekadar asumsi. Edy Rahmayadi memang menjadi Gubernur Sumatera Utara (2018-2023) setelah menjadi Ketua Umum PSSI (2016-2019). Namun, keterpilihan Edy sulit dilihat hubungannya dengan posisinya di PSSI. Prestasi PSMS Medan, klub kebanggaan masyarakat Sumatera Utara, di masa kepemimpinan Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI juga tidak terlalu menonjol.
Selain Edy, tidak ada sejarah Ketum PSSI yang kemudian mendapat jabatan publik yang dipilih rakyat melalui pemilu. Malah, beberapa politisi mendapat sentimen negatif setelah menjabat sebagai Ketum PSSI seperti La Nyalla Mattaliti dan Nurdin Halid. Jika PSSI dilihat sebagai mesin politik, PSSI adalah mesin politik yang buruk.
Namun, mengapa masih banyak politisi ingin menjadi bagian dari PSSI? Berdasarkan Goodstats.id, masyarakat Indonesia yang mengaku sebagai fans sepakbola adalah 165,4 juta jiwa atau hampir 60 persen dari masyarakat Indonesia. Ini adalah ceruk pemilih yang sangat besar. Tidak ada politisi yang melewatkan angka ini.
Sementara itu, berdasarkan penelitian dari Andrew Healy dari Loyola Marmount University, Los Angeles sejak 1964 menemukan bahwa keterpilihan kandidat dari partai petahanameningkat 2,8 persen ketika tim sepakbola Amerika di kota tersebut memenangkan pertandingan dalam jangka waktu 2 minggu sebelum pemilihan.
Meski belum pernah terjadi, prestasi monumental di sepakbola dianggap memangbisa menaikkan keterpilihan dan bahkan meletakkan seseorang di tampuk kekuasaan tertinggi.
Tidak Logis
Apakah logis jika menjadikan PSSI sebagai batu loncatan untuk karier jabatan publik yang lebih tinggi? Faktanya, prestasi timnas kita mentok. Jangankan bermimpi ke Piala Dunia, untuk level Piala AFF saja kita hanya terus berharap dan tidak kunjung berhasil meraih trofi. Kegagalan demi kegagalan meletakkan posisi ketua umum PSSI hampir seperti public enemy.
Dilihat dari struktur dan cetak biru perkembangan sepakbola Indonesia pun, dapat dikatakan bahwa timnas Indonesia masih jauh panggang dari api. Sebelum berbicara mengenai juara Piala AFF maupun tampil di Piala Dunia, kita harus berdiskusi mengenai liga kita.
Liga Indonesia harus diakui bukan liga yang baik. Sekadar menjadi entitas bisnis yang profesional dan berkelanjutan pun belum. Ini bisa dibuktikan dengan tunggakan gaji para pemain serta permasalahan pertandingan kandang dan tandang yang hampir setiap saat jadi polemik karena isu keamanan.
Sepakbola adalah olahraga dengan antusiasme besar di Indonesia, akan tetapi mimpi-mimpi sepakbola Indonesia jauh dari kata realistis. Menjadi ketua umum PSSI seharusnya dikaitkan dengan proyek jangka panjang, membenahi sistem dari bawah, bukan tiba-tiba bermimpi ke Piala Dunia.
Ibarat kata, bagaimana bisa punya pemain timnas yang bagus kalau kolam pembibitannya yaitu liga Indonesia saja masih begitu-begitu saja? Bagaimana bisa PSSI menjadi kuda politik yang menjanjikan kalau prestasi timnas saja masih dihantui ekspektasi tidak logis dari publik?
*Penulis adalah peneliti bidang hukum dan politik dari Basagita yang memiliki ketertarikan pada Manajemen Pemilu dan Isu-Isu Sosial Masyarakat
Redaksi GOAL Indonesia menerima opini dari pembaca. Silakan kirim artikel disertai identitas diri ke alamat email kami: indonesia@goal.com.
