Matthijs de Ligt - AjaxGetty

Tidak Ada Cerita Indah, Berikutnya Ajax Amsterdam Bakal Sibuk Dengan Kegiatan Jual Pemain

Menjamu Tottenham Hotspur di Cruyff Arena, Ajax sebenarnya tinggal selangkah lagi menuju sejarah berlaga di final Liga Champions untuk pertama kali sejak 23 tahun. 

Sayang, nasib berkata lain karena Ajax yang begitu muda dan perkasa dibwa pulang ke bumi dengan keras oleh Tottenham hingga hancur berkeping-keping. 

Kegemilangan Matthijs de Ligt ditambah dukungan hebat dari staf tim pada para pemain menjanjikan ini membuat tim Belanda tersebut berada di posisi menguntungkan, tetapi aksi heroik Lucas Moura yang pada akhirnya mencuri headline. 

Air mata tak terelakkan, tuan rumah dipaksa menelan pil pahit dan membuang kesempatan tampil di final kompetisi antarklub paling elit di Eropa. Sebuah kesempatan yang jarang menghampiri. 

Pada Mei 1995, Ajax berhasil merajai Benua Biru dengan mengalahkan AC Milan 1-0 di Vienna. 

12 bulan kemudian kapten Danny Blind nyaris mengangkat trofi yang sama namun Juventus berjaya melalui adu penalti. Sementara itu di luar lapangan aturan Bosman mengubah wajah sepakbola selamanya. 

Berkat aturan Bosman, pesepakbola punya kebebasan baru yang menampar tim-tim dengan finansial yang kurang memadai. Ajax adalah ikan besar di kolam kecil Eredivisie dan mereka merasakan dampaknya. 

Dalam tiga tahun berikutnya, kekuatan sebuah tim yang dua kali bertarung di final Liga Champions secara sistematis berkurang. Edwin van der Sar, Marc Overmars, De Boer brothers, Edgar Davids dan Patrick Kluivert meninggalkan Belanda untuk kompetisi yang lebih gemerlap di Inggris, Italia dan Spanyol. 

Fenomena seperti ini terlihat di seluruh Eropa. Sejak 1996 sampai 2018, tercatat 42 tim dari Inggris, Itlia, Spanyol dan Jerman tampil di final Liga Champions dengan pengecualian pada edisi musim 2003/04 yang mempertemukan Porto dan Monaco. 

Musim ini Ajax menggeliat lagi hingga mengundang decak kagum dunia. Tida tanggung, Juventus dan Real Madrid dilempar keluar dari kompetisi hingga raksasa Belanda ini dipandang layak tampil di final. 

Sayang, Tottenham punya ide lain. Pasukan Mauricio Pochettino mengikuti jejak Liverpool dengan mengejar ketertinggalan tiga gol untuk kemudian merayakan pesta kemenangan. 

Pada awalnya De Ligt adalah pahlawan.

Pada usia 19, bek tengah ini punya kualitas permainan luar biasa. Dia mencetak gol pembuka melalui sundulan kepala. Tuan rumah lalu menggandakan keunggulan melalui serangan rapi yang dituntaskan Hakim Ziyech. 

Mimpi akan mengulang kejayaan di masa lalu semakin menggelora di Cruyff Arena tetapi Lucas punya ide lain. 

Andre Onana tiga kali takluk di hadapan bintang asal Brasil ini, yang terakhir tercipta di ujung pertandingan. Mimpi indah sontak buyar. Para pemain muda Ajax ini gagal mengulang atau bahkan melewati prestasi pada pendahulunya. 

Sangat mudah untuk menarik garis, menyambungkan dua generasi emas Ajax tetapi sesungguhnya sikap ini bisa dikatakan keliru. 

Pada 1995 dan 1996, para superstar akademi Ajax sudah mendekat ke periode puncak mereka. Van der Sar, dua De Boers dan Overmars sudah bisa dikatakan berstatus veteran sarat pengalaman pada usia 24 dan 25. 

Dua generasi ini tidak bisa dibandingkan karena banyak di antara mereka baru mencicipi musim pertama atau kedua di tim reguler. Para pemain ini kebanyakan tidak terbiasa dengan sepakbola level elit Liga Champions apalagi di babak gugur. 

Faktor kurang pengalaman mungkin penyebab keruntuhan Ajax. Mereka gagal memastikan sebuah hasil yang sebenarnya bisa diraih. Tim ini membiarkan atau memberi kesempatan pada lawan yang berbahaya untuk bangkit. 

Dan satu hal yang pasti, nasib 'negatif' Ajax belum akan berhenti. 

De Jong sudah dipastikan berkostum Barcelona pada musim depan dan aksi heroik De Ligt hanya berujung pada semakin seriusnya minat tim-tim besar Eropa pada sang bintang. 

Musim luar biasa Ajax tak hanya akan diakhiri oleh kekalahan sakit di hadapan Tottenham Hotspur tetapi tim istimewa mereka juga perlahan bakal digerogoti, sementara pemain pengganti mereka belum tentu memiliki kualitas yang sama. 

Karena alasan itu juga ada terselip perasaan menyesalkan kekalahan Ajax di hadapan para aristokrat sepakbola. Mereka nyaris menang dan mungkin menjadi kegemilangan terakhir sebelum berhasil menciptakan generasi hebat lainnya. 

Meski pada akhirnya gagal, sekarang mari kita nikmati sisa-sisa harumnya kisah kehebatan Ajax musim 2018/19 untuk kemudian menanti cerita hebat berikutnya dari sang raksasa Eredivisie itu.

GFXID Banner Liga Champions 2018/19
Iklan