NEYMAR &
KEBANGKITAN BRASIL
oleh Mark Doyle
alih bahasa Agung Harsya
Seisi negara menahan napas. Neymar terkapar di rumput Estadio Castalao di Fortaleza tak berdaya.
Penyerang Brasil itu mengerang kesakitan setelah jatuh akibat punggungnya ditabrak lutut bek Kolombia, Juan Camilo Zuniga.
Tuan rumah sedang memimpin 2-1 pada laga perempat-final Piala Dunia yang ketat. Tapi masih ada sisa empat menit pertandingan. Neymar ingin bangkit. Dia masih ingin melanjutkan pertandingan.
Marcelo memintanya, "Jangan, jangan bergerak. Tunggu dokter datang!"
Neymar masih berupaya bangkit, tapi tidak mampu. "Aku tak bisa merasakan kakiku," ujarnya meringis.
Marcelo yang ketakutan langsung meminta pertolongan medis. Di tengah kebingungan dan kekacauan, staf medis berupaya masuk lapangan. Marcelo terlihat panik.
Neymar akhirnya ditandu keluar lapangan lalu dilarikan ke ruang medis di area stadion untuk langsung menjalani pemeriksaan.
Neymar yang malang. Staf medis menduga dia menderita cedera punggung serius. Sang pemain dikirim ke Rumah Sakit Sao Carlos di Fortaleza, di mana kerumunan orang sudah menyambut di luar untuk memberikan doa sambil cemas menanti kabar ikon nasional mereka.
Brasil mampu mengatasi perlawanan Kolombia, tapi ada rasa gentar bahwa mereka harus menghadapi semi-final melawan Jerman tanpa diperkuat sang pemain andalan.
Rumor mulai berhembus, "Dia baik-baik saja. Dia bisa bermain untuk final." Atau "Tidak, turnamennya sudah selesai. Lebih buruk lagi, dia bisa menghabiskan sisa hidup di kursi roda."
Pada saat itu, Neymar menanti hasil sejumlah pemeriksaan yang telah dijalani. Para dokter pun datang. Salah satunya mengatakan, "Ada kabar baik dan buruk. Mana yang ingin Anda dengar lebih dulu?"
Neymar memilih kabar buruk. "Piala Dunia Anda selesai."
"Lalu kabar baiknya?" tanyanya sambil gelisah apakah ada kabar positif di balik semua peristiwa ini.
"Anda masih bisa berjalan. Anda mengalami retak tulang belakang, tapi dua centimeter lagi ke kanan, Anda akan lumpuh. Karier Anda selesai."
Neymar merasa beruntung, tapi itu tidak cukup menghentikan air matanya. Dia dan orang-orang terdekatnya menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan menangis, tidak percaya mimpi membawa Brasil menuju kejayaan Piala Dunia harus berakhir dengan cedera.
Lalu pada malam 8 Juli 2014, seluruh bangsa ikut menangis bersamanya.
Penulis drama legendaris Brasil Nelson Rodrigues pernah mengatakan, "Semua tempat memiliki bencana nasional yang tak bisa disembuhkan, sesuatu mirip Hiroshima. Bencana kami, Hiroshima kami, adalah kekalahan dari Uruguay pada 1950."
Dengan hiperbola itu, entah apa yang dikatakan Rodrigues jika mengetahui kekalahan 7-1 dari Jerman di Belo Horizonte.
Dari segi sepakbola, hasil itu merupakan kekalahan memalukan nan bersejarah. Itu lah kekalahan terbesar Brasil di Piala Dunia sekaligus kekalahan kandang pertama mereka pada pertandingan kompetitif selama 39 tahun terakhir.
Mereka sudah tertinggal 5-0 hanya dalam 29 menit. Beberapa fans meninggalkan tempat duduk sebelum jeda. Beberapa yang bertahan mencemooh tim mereka. Pada babak kedua, mereka bahkan merayakan gol-gol Jerman.
Sejumlah fans membuang seragam mereka dengan rasa muak, beberapa membakarnya, sedangkan satu orang lain anehnya memilih untuk mengunyah-ngunyah bendera.
Ada kekhawatiran munculnya kerusuhan massal di seluruh Brasil. Apalagi, mereka sudah menghabiskan tak kurang dari US$11 milyar untuk menggelar Piala Dunia, yang memicu protes besar-besaran saat penyelenggaraan Piala Konfederasi setahun sebelumnya.
Apakah semua dana itu habis hanya untuk menyaksikan Brasil dipermalukan di hadapan seluruh dunia? Meski demikian, tidak ada kekacauan massal, hanya kesedihan yang merebak, ketidakpercayaan dan kebingungan.
"Sejak saat diputuskan Piala Dunia digelar di Brasil, jelas sudah akan ada beban emosional yang besar," bilang mantan gelandang Selecao Mauro Silva kepada Goal.
"Bermain di sebuah Piala Dunia di mana saja sudah sulit, apalagi di Brasil dengan semua ekspektasi dari fans, bakal sangat sulit. Tim berhadapan dengan momen itu dan mengalami hasil negatif."
"Kita tidak pernah menyaksikan Brasil bermain dengan tenang, dengan penuh rasa gembira. Kita melihat tim yang diliputi ketegangan, tekanan, banyak momen memperlihatkan kecemasan para pemain, yaitu saat mereka menangis menyanyikan lagu kebangsaan."
Air mata itu dapat dianggap sebagai bukti semangat para pemain. Pada kenyataannya, itu gejala awal bahwa tim sedang mengalami gangguan mental.
Neymar, David Luiz, dan Julio Cesar menangis sebelum adu penalti melawan Chile. Kondisi Thiago Silva tidak begitu baik sampai dia harus menolak mengambil penalti dan sang kapten duduk sendirian di pinggir lapangan ketika adu penalti sedang berjalan.
Pelatih Luiz Felipe Scolari khawatir dan memanggil seorang psikolog. Namun, tidak ada yang sanggup merangkul para pemain Brasil setelah Neymar mengalami cedera pada akhir pertandingan perempat-final melawan Kolombia yang berakhir kemenangan 2-1.
Kondisi sang No.10 menjadi berita nasional. Pemberitaan media membirukan emosi seisi negeri. Semuanya terlalu berat untuk ditanggung skuat Scolari.
"Kinerja Felipão tidak jelek," ujar striker Jo kepada Goal. "Saya rasa kami hanya kehilangan konsentrasi saat pertandingan Jerman. Semuanya di bawah kewajaran."
"Persiapan menghadapi pertandingan itu tidak begitu baik. Reaksi setelah kehilangan Neymar mestinya cepat berlalu. Kami terlalu sibuk memerhatikan cederanya sehingga fokus kami pada pertandingan sangat buruk."
"Tapi harus diakui kekalahan itu sulit dijelaskan, karena benar-benar fatal."
Publik dan kalangan media tidak berkenan. Cercaan mereka brutal. GloboEsporte menyebut kekalahan dari Jerman sebagai "aib dari segala aib". Lance! mengklaimnya, "Noda terbesar dalam sejarah".
Brasil masih memiliki satu pertandingan lagi, yaitu perebutan peringkat ketiga melawan Belanda. Mereka tidak dalam kondisi fit untuk bermain, tetap tampil setengah sadar, dan kalah 3-0.
Scolari langsung menyatakan mundur, sadar meski dirinya lah yang membawa Brasil memenangi Piala Dunia kelima, yaitu pada 2002, reputasinya sudah hancur lebur.
"Saya akan dikenang sebagai pelatih yang kalah 7-1, tapi saya tahu risiko seperti itu ketika setuju melatih," ujarnya dalam konferensi pers perpisahan.
"Orang yang memutuskan line-up, taktik, adalah saya. Itu adalah pilihan saya. Tapi kami seperti pingsan. Sungguh sebuah bencana, momen terburuk dalam hidup saya."
Butuh delapan tahun bagi Brasil untuk bangkit dari kekalahan 2-1 dari Uruguay di kandang sendiri pada laga penentuan juara Piala Dunia 1950. Setidaknya, di atas lapangan.
Rasa sakit yang ditimbulkan dari "Maracanazo" tak pernah benar-benar pulih. Beberapa pemain merasakannya. Kiper Moacir Barbosa Nascimento menjadi kambing hitam kekalahan karena media menuding seharusnya dia bisa mencegah gol kemenangan Alcides Ghiggia bersarang. Zizinho bahkan menyalahkan media atas wafatnya rekan setimnya itu.
Muncul kekhawatiran bahwa hasil 7-1 akan menjadi beban berat bagi seisi skuat 2014. Lalu, tentu saja, pengunduran diri Scolari tidak serta-merta langsung menyembuhkan penyakit Brasil.
Pelatih disiplin seperti Dunga dipercaya kembali menjadi pelatih usai Piala Dunia, tapi saat Mauro Silva bergabung sebagai asisten, dia mendapati tim masih berupaya memulihkan diri dari kegetiran Belo Horizonte.
"Benar-benar periode yang sulit," ungkapnya kepada Goal. "Hasil 7-1 itu merupakan pukulan terberat yang diderita Brasil sepanjang sejarah."
"Sayangnya, Dunga tak mampu mengatasi sehingga akhirnya harus melepas jabatan, begitu pula dengan [koordinator teknik] Gilmar. Saya senang bisa membantu, tapi sayangnya proyek itu tidak berhasil."
"Pada Copa America 2015, tim mengalami banyak tekanan. Hasil 7-1 membebani tim dan mereka merasa bertanggung jawab. Rasanya seperti ada trauma. Tim terlihat sangat terdampak secara emosional."
Terlebih Neymar, yang memicu kekisruhan antarpemain pada akhir kekalahan Brasil melawan Kolombia, setelah melempari Pablo Armero dengan bola.
Sang No.10 beberapa kali berbenturan selama 90 menit dengan musuh lamanya, Zuniga. Pada satu kejadian, dia menuduh bek Kolombia itu sengaja mencederainya di Fortaleza sebelum menambah, "Lalu kamu meneleponku untuk minta maaf, bajingan?"
Luka fisik 2014 sudah sembuh, tetapi luka emosi tidak.
Brasil akhirnya tersingkir di perempat-final. Pada Copa America edisi perayaan seabad di Amerika Serikat setahun berselang, Selecao untuk kali pertama sejak 1987 tersingkir di fase grup.
Kepelatihan Dunga sudah kehabisan waktu dan dia digantikan Tite, musim panas 2016. Mantan pelatih Corinthians itu tidak terlibat apa pun bersama Selecao pada 2014. Dia juga tidak pernah menangani timnas mana pun sebelumnya.
Tapi, seperti orang Brasil lain, kekalahan dari Jerman membekas di hatinya. "Saya sedang di rumah menonton pertandingan dengan istri dan begitu gol ketiga terjadi, dia mulai menangis," ungkap Tite kepada wartawan awal tahun ini. "Itu memicu saya!"
"Kekalahan 7-1 itu seperti hantu. Terjadi baru saja. Orang-orang masih membahasnya, tapi makin sering dibahas, makin sulit 'hantu' itu menghilang."
Membahas Jerman tidak mungkin dihindari. Pada Olimpiade Rio 2016, kedua tim bertemu di final. Sebelumnya Brasil tidak pernah memenangi medali emas Olimpiade.
Neymar, yang rela tidak mengikuti Copa America tahun yang sama demi mengejar medali emas, membawa Brasil memimpin, tetapi gol penyeimbang Max Meyer memaksa terjadinya adu penalti.
Kedudukan 4-4 ketika eksekusi Nils Petersen dimentahkan Weverton. Siapa yang mengambil tendangan kelima Brasil? Neymar, tentu saja.
Dia maju ke depan, mengambil bola, menciumnya, dan menempatkannya di titik penalti dengan hati-hati. Dia mengambil ancang-ancang yang jauh sebelum mengirim Tim Horn ke arah yang salah. Kerumunan penonton larut dalam kegembiraan.
Air mata mengalir deras di wajah Neymar bahkan sebelum tubuhnya jatuh berlutut di tanah. Itu bukan kegembiraan, melainkan rasa lega. Tidak hanya baginya, tapi bagi masyarakat Brasil. Kebanggaan bangsa sudah pulih.
Tite sadar dia mesti memanfaatkan gelombang rasa positif yang dihasilkan dari keberhasilan Olimpiade.
Dia pernah sekali mengajak Neymar berbicara usai Olimpiade, tapi sifatnya lebih informal, bukan diskusi membahas masa depan. Pada pertemuan kedua, baru lah Tite membahas taktik.
"Saya bilang saya akan memainkannya di posisi yang ditempatinya di Barcelona," ujar sang pelatih kepada Goal, "karena dia lebih sering berlatih seperti itu bersama klubnya dan dia sudah terbiasa, itu posisi alamiahnya."
"Lalu, saya bilang kita akan memainkan 4-3-3 dari segi angka, tapi 4-4-2 dari segi peranan. Itu juga sama seperti yang dijalaninya dalam latihan. Mungkin itu mempermudahnya."
Dukungan Tite sebenarnya jauh lebih penting daripada penyesuaian taktik.
Ketika beredar spekulasi bahwa Neymar mempersulit pekerjaan Unai Emery di Paris Sain-Germain, sang pemain muncul menjernihkan suasana pada konferensi pers usai kemenangan uji coba atas Jepang, November lalu.
Tite mengambil alih, melancarkan pembelaan sepenuh hati kepada pemain bintangnya.
"Orang-orang selalu bilang saya punya masalah dengan Neymar," paparnya kepada wartawan. "Kami muak mendengarnya."
"Kami tidak lah sempurna, kami hanya manusia biasa. Terkadang reaksi kami salah. Saya juga melakukannya dalam karier."
"Tapi kita harus berhati-hati jika menyinggung karakter dan tabiat seseorang. Saya hanya bisa memberi pujian buat karakter, tabiat, dan hati yang besar pada diri Neymar."
Neymar menangis terharu mendengar kalimat Tite dan memeluk sang pelatih sebelum meninggalkan ruangan. Kejadian ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa pelatih Brasil itu bertekad meringankan beban sang pemain termahal dunia.
"Hal lain yang saya ungkapkan pada pertemuan pertama kami," bilang Tite kepada Goal, "adalah kita harus berbagi tanggung jawab di antara pemain lain dan memastikan Neymar bukan lah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap seluruh tim. Bahwa dia bukan satu-satunya yang harus disalahkan saat Brasil kalah."
Untuk menggambarkan maksud ucapan itu, sebelum pertandingan perdana mereka, yaitu kualifikasi Piala Dunia melawan Ekuador di Quito, September 2016, Tite menunjukkan video aksi LeBron James untuk Cleveland Cavaliers di final NBA menghadapi Golden State Warriors.
Dia fokus pada satu klup ketika Kyrie Irving gagal melepaskan tembakan dan James, alih-alih memarahi rekan setimnya itu, berupaya merebut kembali bola dan memberikannya lagi kepada Irving. Kali ini kesempatan kedua itu berhasil.
"Inilah jenis suasanya yang diperlukan untuk meraih sukses," ujar Tite kepada para pemain. "Semua orang berjuang satu sama lain, meski para bintang."
Tite juga berupaya memperbaiki kualitas para pendukung Neymar. Gabriel Jesus bersinar bersama sang bintang saat Olimpiade dan Tite menjadikannya prioritas utama sebagai pemain inti menghadapi Ekuador. Jesus mengemas dua gol untuk kemenangan 3-0. Namun, Tite tidak mau cepat puas.
"Saat menangani Corinthians, menghadapi Gabriel yang tampil untuk Palmeiras, saya tahu betul tim lawan kewalahan," ujarnya kepada Goal.
"Hal-hal seperti ini yang membentuk tim."
"Tapi saya tak pernah bayangkan hal ini bisa mulus terjadi, atau penampilan Gabriel yang begitu alamiah. Penampilannya pada pertandingan pertama merupakan sebuah kejutan."
Begitu juga dengan cepatnya proses transformasi Brasil. Tim asuhan Tite awalnya berada di tempat keenam pada klasemen kualifikasi zona Amerika Selatan.
Namun, mereka berhasil memenangi sembilan laga beruntun bersama pelatih baru itu, termasuk kemenangan mengesankan 3-0 atas Argentina dan 4-1 atas Uruguay, dan pada akhirnya bertengger di puncak klasemen Conmebol dengan selisih sepuluh poin.
Keyakinan Brasil kembali.
"Tite dan Edu Gaspar, mantan pemain Arsenal yang bekerja bersamanya, layak mendapatkan kredit tersendiri," puji Juliano Belletti kepada Goal.
"Ini masalah kepercayaan. Kami mampu melakukannya saat ini, Dua tahun lalu, tidak terjadi."
"Tapi sekarang, bersama Tite sebagai pelatih, Neymar sudah pulih, Philippe Coutinho dalam performa yang bagus, begitu juga dengan Willian, dan juga kami punya beberapa pemain yang berpengalaman bermain di Piala Dunia."
Tentu saja, bagi kebanyakan pemain, pengalaman di Belo Horizento menyisakan trauma. Mengingat hal itu, mampu mengalahkan Jerman di Berlin, Maret lalu, merupakan langkah penting. Mungkin hanya uji coba, tapi sangat bermakna bagi Selecao.
"Hasil pertandingan itu berdampak besar bagi kondisi psikologis. Tidak perlu membohongi diri sendiri," kata Tite.
"Bukan hanya soal sepakbola, tetapi juga mengatasi tantangan emosional."
Mereka sukses mengatasi kedua hal itu dengan mengalahkan sang juara dunia berkat gol Jesus pada babak pertama. Tite mengatakan dirinya lebih suka memiliki lebih banyak waktu bersiap untuk turnamen. Atau mungkin lebih tepat, lebih banyak waktu guna memastikan Neymar benar-benar fit untuk memimpin tim di Rusia setelah musimnya di klub berakhir akibat cedera metatarsal, Maret lalu.
Bintang PSG itu tampak baik-baik saja. Dia langsung mencetak gol pada laga perdana usai cedera, yaitu saat uji coba melawan Kroasia di Anfield, 3 Juni lalu. Kemudian, dia menyarangkan gol ke-55 bersama timnas saat mengatasi Austria, sepekan berselang.
Sebagai tambahan, Tite telah mengurangi ketergantungan Brasil terhadap Neymar. Sekarang dia bisa membanggakan fakta bahwa setiap pemain kini mengutamakan kepentingan tim.
Thiago Silva adalah contoh sempurna. Tidak ada pemain lain yang ingin membantu Brasil memulihkan reputasi di Rusia. Namun, tidak ada jaminan bermain sebagai pemain inti tidak membuatnya kesal. Bek veteran itu hanya ingin agar Brasil menang.
"Lihat lah gol kedua kami melawan Uruguay," kata Tite kepada Goal, "ketika Roberto Firmino memperoleh bola dan ada beberapa pemain yang melakukan pemanasan di belakang gawang."
"Siapa pemain pertama yang sadar gol akan terjadi? Thiago! Dia tepat berada di pinggir, dia tahu itu akan terjadi, dan dia orang pertama yang merayakannya."
"Anda lihat, kami semua punya tugas. Hubungan dua arah. Lihat lah Thiago, merayakan gol, paham apa yang diperlukan untuk membuat tim lebih kuat."
Bahkan lebih kompak.
Saat Neymar berbicara di depan rekan-rekan setimnya setelah kekalahan 7-1 dari Jerman, dia bilang, "Kita semua memulainya bersama-sama, jadi kita semua sama-sama mengakhirinya juga."
Rusia menunggu. Isyarat kebangkitan telah muncul. Seisi negara menahan napas.
